Gus Dur di Mata Gus Nadir: Kiai, Budayawan atau Politisi?

Menurut Gus Nadir kedudukan Gus Dur untuk eksisten NU sangat krusial

Dokumen Pribadi
Peneliti Nadirsyah Hosen menyatakan kedudukan Gus Dur untuk eksisten NU sangat krusial
Rep: Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), Prof Nadirsyah Hosen mengungkapkan sosok Presiden keempat RI, KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Karena, selama hidupnya Gus Dur tidak hanya menjadi seorang kiai, tapi juga seorang budayawan dan politisi.

Baca Juga

Bahkan, menurut Gus Nadir, saat menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Dur juga menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Jabatan Gus Dur ini sempat membuat sejumlah kiai sepuh murka.  “Masak ketua NU ngurusi ketoprak!”

Banyak yang kemudian juga terkaget-kaget ketika Gus Dur dengan enteng memimpin Forum Demokrasi dan sering mengeluarkan pernyataan mengkritik penguasa Orde Baru. Karena itu, menurut Gus Nadir, sulit untuk memasukkan Gus Dur ke dalam satu katogeri saja.

“Sulit kemudian untuk memasukkan jimat NU ini ke dalam satu kategori saja,” ujar Gus Nadir dikutip dari tulisannya dan dikonfirmasi Republika.co.id, Jumat (8/10).  

Selain itu, menurut Gus Nadir, Gus Dur juga sangat menggemari musik klasik dan jago mengulas pertandingan sepakbola. Belum lagi ia rajin menulis kolom di berbagai media massa. 

“Apalagi kalau sudah ngebanyol, rasanya pelawak beneran pun kalah lucu sama Gus Dur,” kata Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia dan Selandia Baru ini.

Gus Nadir mengatakan, bagi banyak orang, Gus Dur ini juga dimasukkan ke dalam manusia paling aneh dalam sejarah pesantren. Tapi keanehan itu bukan cuma dimiliki Gus Dur sendirian. KH A Mustofa Bisri yang biasa disapa Gus Mus, misalnya.

 

Menurut Gus Nadir, sulit juga untuk memasukkan Gus Mus ke dalam satu kategori saja. Karena, menurut dia, selain menjadi seorang kiai, Gus Mus juga merupakan seorang budayawan, penyair, pelukis, cerpenis, kolumnis, mantan politisi, kiai kampung, dan kiai modern.

“Sebetulnya keanehan kedua beliau itu karena kita sendiri yang aneh, yaitu memaksakan memandang orang hanya dengan satu kategori saja. Kalau seorang masuk kategori kiai, maka kita akan merasa aneh kalau tiba-tiba kiai mengulas musik klasiknya mozart atau lukisan Monalisa-nya Leonardo Da Vinci,” jelas Gus Nadir.

“Atau misalnya ada anak muda bergaya metal yang ternyata fasih membaca Alquran. Kita terkejut mendapati kenyataan bahwa kategori yang kita pakai untuk menilai orang lain itu ternyata terlalu sempit atau kaku,” imbuhnya.

Dengan kategori yang kaku itu pula, menurut Gus Nadir, orang akan menjadi bingung ketika mendapati seorang profesor hukum yang ternyata di rumahnya dia jago masak. 

Profesor itu tidak menganggap kemampuannya menganalisa pasal dalam undang-undang itu bertentangan dengan kemampuan dia meracik bumbu masakan. Dua-duanya bisa jalan sendiri-sendiri tanpa pernah tertukar antara pasal dan bumbu.

“Begitulah kawan, sebenarnya diri kita ini sangat multi fungsi dan dapat berperan sesuai dengan kemampuan dan situasi yang kita hadapi. Dan berbagai peran itu sebenarnya saling terhubung satu sama lain,” kata Gus Nadir.

Menurut Gus Nadir, Nabi Muhammad Saw juga menyadari hal itu, sehingga ketika para sahabat bertanya mengenai amalan apa yang paling utama, Nabi memberikan jawaban berbeda-beda tergantung konteks dan tergantung siapa yang bertanya.

Dalam satu kesempatan Nabi SAW menjawab bahwa amalan yang paling utama itu beriman kepada Allah. Di lain kesempatan Nabi menjawab “al-shalatu ala waqtiha”, atau pada waktu lain Nabi menjawabnya dengan “zikrullah”.

Nabi pernah pula menjawab pertanyaan yang sama dengan ”Engkau bersedekah makanan dan mengucapkan salam kepada yang kau kenal dan yang tidak kau kenal.” 

Suatu waktu Nabi menjawab, “Berjihad di jalan Allah” dan juga ada riwayat lain dimana Nabi mengatakan “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar dan mengajarkan Alquran”.

 

“Begitulah kawan, Nabi Muhammad tahu bahwa kondisi kita berbeda-beda sesuai dengan perbedaan peran dan kapasitas kita. Maka banyak sekali pilihan amal yang bisa kita lakukan. Tidak perlu memaksa orang lain mengikuti amalan kita, atau mencemooh karena orang lain memilih prioritas amal yang berbeda dengan kita. Semakin banyak peran yang kita jalankan, semakin banyak ladang amal yang bisa kita kerjakan,” jelas Gus Nadir.

 
Berita Terpopuler