Keraton Solo Segera Direvitalisasi

Saat ini ada beberapa bangunan di Keraton yang kondisinya masih baik.

ANTARA/Maulana Surya
Abdi dalem melakukan perawatan rutin dan membersihkan bangunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Solo, Jawa Tengah, Ahad (28/3/2021).
Rep: Binti Sholikah Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo bakal direvitalisasi dalam waktu dekat. Anggaran revitalisasi berasal dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, mendampingi Dijen Cipta Karya Kementerian PUPR, Diana Kusumastuti, meninjau langsung kondisi Keraton Solo, pada Kamis (7/10). Rombongan berkeliling kawasan Keraton ditemani oleh istri Raja Keraton Solo, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Paku Buwono.

Gibran mengatakan, hasil dari peninjauan tersebut masih akan dirapatkan dulu dengan Kementerian PUPR. "Ya nanti satu per satu kami carikan solusinya. Revitalisasi, sesuai arahan langsung dari Sinuhun (Paku Buwono XIII)," kata Gibran kepada wartawan seusai peninjauan.

Gibran menyatakan, revitalisasi bakal dilakukan secara bertahap. Dia menilai ada cukup banyak bangunan fisik yang perlu direnovasi.

"Yang mendesak bagian yang paling kelihatan, di depan. Renovasi Gladag, Alun-alun kesini. Nanti kami rapatkan dulu dengan Bu Dirjen," ujarnya.

Dia berharap, renovasi Keraton Solo bisa segera dilaksanakan. Sebab, Keraton Solo sebagai cara budaya dinilai memiliki aset yang luar biasa. "Anggaran dari pusat, ini belum. Bu Dirjen baru saja masuk, difoto-foto kerusakan apa saja. Targetnya kalau bisa ya secepatnya," ucapnya.

Dijen Cipta Karya Kementerian PUPR, Diana Kusumastuti, mengatakan, dalam peninjauan tersebut dirinya melihat dulu kondisi Keraton seperti apa, serta lokasi titik-titik kerusakan. "Kelanjutannya nanti saja. Tentunya namanya bangunan tua, lama, jadi banyak yang rusak," ujarnya singkat.

Sementara itu, Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KGPH Dipokusumo, mengatakan, pada dasarnya Sinuhun Paku Buwono XIII sudah mengizinkan adanya upaya konservasi dan revitalisasi bangunan Keraton.

"Tapi nanti kan menyangkut skala prioritas mana saja. Setelah dibangun nanti kepentingan untuk kegiatan apa saja," terang Dipokusumo.

Dipokusumo menjelaskan, bangunan di Keraton memiliki lima fungsi, tempat tinggal, tempat untuk upacara, tempat menyimpan pusaka, tempat kegiatan peribadatan, serta tempat-tempat pendukung misalnya kantor dan sebagainya.

Berdasarkan Undang-undang Cagar Budaya, skala prioritas tersebut terdiri dari empat aspek, antara lain, pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, dan perlindungan.

Menurutnya, saat ini ada beberapa bangunan di Keraton yang kondisinya masih baik, tetapi ada juga yang sudah kurang layak. Bangunan yang menjadi skala prioritas misalnya Panggung Sanggabuwana. Sebab, bangunan itu menjadi salah satu identitas kota, serta memiliki nilai pengertian sejarah secara filosofis. Makna dan nilai Panggung Sanggabuwana itu berkaitan dengan makna kehidupan. Saat ini, kondisi bangunan tersebut dari luar tampak jendela mesti diganti kayunya lantaran lapuk. Bangunan tersebut dibangun pada 1708 tahun Jawa atau 1782 Masehi.

"Terakhir direnovasi sekitar tahun 2002. Terus pernah mengalami pengecatan juga. Tapi untuk memperbaiki kayunya sekitar 2002," jelasnya.

Bangunan lainnya yang dinilai kondisinya kurang layak, yakni Purwokanti yang digunakan untuk meronce bunga setiap Kamis oleh abdi dalem keputren. Lantaran kondisinya tidak layak, maka sementara ini kegiatan meronce dialihkan ke lokasi lain. Meski secara fisik bangunannya masih bagus, tetapi Dipokusumo menyatakan sarana pendukung kesana dan kiri kanannya perlu diperbaiki.

"Tadi Bu Dirjen juga bilang, selain dari PUPR nanti juga menggandeng dari Kementerian Kebudayaan. Karena ini juga termasuk cagar budaya, dalam hal ini cagar budaya yang bersifat nasional," ungkapnya.

Dia menambahkan, kegiatan revitalisasi terakhir kali dilaksanakan pada 2017-2018 yang menyasar Museum Keraton Solo. Sedangkan bangunan lainnya belum.

"Sebenarnya memerlukan kajian serta naskah akademis. Apalagi kalau cagar budaya menurut Undang-undang Cagar Budaya kan harus ada kajian akademis, naskah, kemudian semacam diseminarkan menyangkut tadi apakah kawasannya, bangunan, benda, termasuk situs, karena teorinya beda-beda nanti," kata Dipokusumo.

 
Berita Terpopuler