KH Muslih Al-Maraqi, Ulama Berjiwa Patriot (II)

KH Muslih al-Maraqi termasuk ulama dengan jiwa rela berkorban.

google.com
Santri tempo dulu tengah mengaji.
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, KH Muslih al-Maraqi termasuk ulama dengan jiwa rela berkorban. Keteladanannya sangat layak diikuti generasi saat ini. Dalam sejarah perjuangan Indonesia, dirinya tercatat pernah menjadi anggota Laskar Hizbullah. Kiprahnya mengemuka terutama dalam masa revolusi, yakni ketika RI berupaya mempertahankan kemerdekaan.

Baca Juga

Seorang santri Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Moh Salapudin, dalam tulisannya meng ungkapkan profil perjuangan sang alim. Kiai Muslih diketahui pernah mengikuti pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusahkini bagian dari Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sang ulama dipercaya sebagai ketua regu. Salah seorang anggotanya adalah Kiai Abdullah Abbas Buntet dari Cirebon, Jawa Barat.

Seorang saudara Kiai Abdullah Abbas, yakni Kiai Mustamid Abbas, pernah nyantri bersama Kiai Muslih di Tremas Pacitan. Darinya, terdapat cerita bahwa Kiai Muslih mirip Sentot Ali Basya, salah seorang panglima perang yang memihak Pangeran Diponegoro.

Sepulang dari latihan di Cibarusa, Kiai Muslih segera mengonsolidasikan Hizbullah di Mranggen. Ia merekrut santri-santri seniornya dan para pemuda lokal. Tercatat, beberapa tokoh muda, semisal, Suroso dan Sukaimi, turut menjadi anggota Laskar Hizbullah. Sukaimi bahkan gugur dalam sebuah pertempuran di Semarang Tenggara. Jenazahnya dimakamkan di lahan dekat Masjid Besar Mranggen.

 

 

Perannya kira-kira sama seperti yang dilakukan Kiai Subkhi Temanggung. Kiai Muslih kerap memberikan bekal kepada para anggota laskar, yakni berupa doa-doa dan wirid. Amalan yang sama juga diajarkannya kepada para santri. Doadoa tersebut tak hanya memberikan ketenangan batin. Rasa percaya diri para pejuang juga disebut meningkat setelah merapalkan doa itu.

Saat terjadi peristiwa G-30-S/PKI pada 1965, Kiai Muslih juga membekali santrinya dengan doadoa. Karena, saat itu banyak anggota atau simpatisan komunis yang mengincar para santri Futuhiy yah. Alhasil, banyak pemuda Muslimin diterpa ketakutan.

Namun, mereka kembali tenang setelah dikumpulkan oleh Kiai Muslih di pelataran masjid pesantren. Ia berpesan, Para santri tenang, tidak usah khawatir, tidak usah takut. Saya kasih ijazah ini. Baca 'maliki yaumiddin' tiga kali sambil tidak bernapas; hentakkan kaki ke tanah; nanti kamu bisa menghilang. Musuh tidak melihat kamu.

Sang kiai juga menyuruh mereka untuk menuliskan lafaz Allah di telapak tangan masing-masing. Saat di medan pertempuran, terus genggam telapak itu. Terus genggam. Kalau (tangan) dipakai un tuk memukul musuh, dia akan tersungkur, kata nya.

Sesudah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, situasi berangsur-angsur kondusif. Maka, banyak anggota Laskar Hizbullah diangkat menjadi tentara. Bagaimanapun, Kiai Muslih bersama dengan para ulama lainnya lebih memilih kembali ke pesantren. Ia berfokus untuk menyebarkan ilmu-ilmu agama di tengah masyarakat. Semua itu dilakukannya dalam rangka mengamalkan keikhlasan.

 

Dalam mengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah, Kiai Muslih al-Maraqi mengambil inspirasi dari Pesantren Tremas. Sebab, dalam pandangannya lembaga yang beralamat di Pacitan, Jawa Timur, itu dipandangnya berdiri dengan pengelolaan yang baik sekali. Awalnya, Kiai Mushlih mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah pada 1936. Kemudian secara perlahan, ia juga membangun Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan bahkan Fakultas Syariah UNNU.

Setelah zaman revolusi kemerdekaan, Kiai Mushlih tambah leluasa mengembangkan Pesantren Futuhiyyah. Selama menjadi pengasuh di sana, dirinya tercatat sebagai manajer pendidikan yang brilian. Ini terbukti dari keahliannya dalam mengelola lembaga dengan model Trisula, yaitu mengembangkan pendidikan formal dan tradisional sekaligus pengajian tarekat.

Meskipun tergolong sebagai ulama yang progre sif, tapi Kiai Muslih tetap memiliki komitmen tinggi untuk mempertahankan tradisi. Ini terbukti di tengah hiruk-piruk dan rutinitas proses pembelajaran di pendidikan formal, ia tetap mengajarkan kitab-kitab kuning. Tambahan pula, dirinya aktif mengembangkan Tarekat Qadariyyah wa Naqsabandiyah di pesantrennya.

Semangatnya dalam belajar pun tak pernah padam. Misalnya, saat dirinya berkesempatan naik haji. Selama di Tanah Suci, Kiai Muslih menyempat kan diri untuk belajar kepada Syekh Yasin al- Fadani. Selain itu, sebagai salah satu bentuk komitmen Kiai Mushlih dalam mempertahankan tradisi, setiap santri yang lulus Madrasah Aliyah diharuskan sudah hafal kitab Alfiyah. Itulah sebabnya, Pesantren Futuhiyyah juga terkenal sebagai Pesantren Alat dengan menitikberatkan penguasaan ilmu nahwu dan sharaf. 

 
Berita Terpopuler