Muslim Assam Terguncang Pascatragedi Penggusuran Mematikan

Polisi India menembaki warga yang memprotes pemindahan paksa.

AP
Keluarga Muslim yang menjadi korban kekerasan etnik di kamp pengungsi Desa Bhot Gaon, Kokrajhar, Assam, India.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, DHALPUR -- Tragedi penggusuran yang terjadi pekan lalu di negara bagian Assam, India, masih membuat warga Muslim setempat terguncang. Sesaat setelah sholat Jumat di serambi masjid yang dihancurkan, Ainuddin berupaya menceritakan urutan peristiwa pada hari sebelumnya ketika kakak laki-lakinya Mainal Haq diduga ditembak mati oleh polisi di distrik Darrang di timur laut negara bagian India itu.

Baca Juga

"Polisi menembaknya di bagian dada. Fotografer memukulinya. Mereka terus memukulinya bahkan setelah dia meninggal," kata Ainuddin kepada Aljazirah, Kamis (30/9).

Ainuddin menceritakan bagaimana beberapa anak tertangkap dalam huru-hara tersebut. Ia mengatakan, Mainal pertama tertembak di kaki. Dia kemudian kembali dengan membawa tongkat bambu di tangannya ke arah polisi.

"Mungkin dia berpikir karena dia sudah ditembak di kaki, dia harus mengambil risiko bahkan dengan harga terbunuh. Dia kemudian ditembak di dada," ungkap Ainuddin.

Menurutnya, Mainal begitu emosional pada momen saat itu, ketika dia mencengkeram satu set dokumen yang berisi kartu identitas Desa Mainal, kartu pemilih dan kartu identitas resmi. Ainuddin mengatakan namanya ada di Daftar Warga Nasional (NRC).

"Jika orang-orang mengambil tindakan hukum di tangan mereka, mereka dapat mengikat mereka (warga) dan membawanya ke kantor polisi. Tetapi mereka mulai menembak," lanjutnya.

Aksi penginjakan tubuhnya yang telah terkena peluru oleh seorang fotografer itu kemudian menjadi viral. Di sampingnya, anggota keluarga lainnya termasuk istri Mainal dan anak-anaknya terisak-isak di tempat penampungan sementara yang terbuat dari dua lembaran kecil atap seng bergelombang yang mereka dirikan di tepi sungai pada Kamis.

Mereka mengungsi setelah rumah mereka dihancurkan sebagai bagian dari upaya anti perambahan atau pelanggaran batas. Hingga kini 1.300 keluarga kehilangan tempat tinggal dan tinggal di rumah-rumah seng darurat.

Ayahnya mengatakan mayat Mainal dibawa pergi oleh polisi. Mayatnya kemudian dikembalikan pada malam hari berikutnya.

Mainal Haq adalah seorang petani berusia 28 tahun. Ia merupakan salah satu dari dua orang yang tewas dalam penggusuran pemerintah di desa Dhalpur Bagian 3 yang terletak di pulau sungai di sungai Brahmaputra di distrik Darrang.

Baca juga : Sultan Agung dan Ottoman: Membedah Kekaburan Sejarah Bangsa

 

Sheikh Farid yang berusia 12 tahun adalah korban lain dari polisi yang menembaki warga yang memprotes apa yang mereka sebut pemindahan paksa. Banyak keluarga telah tinggal di sana selama 40 tahun. Menurut keluarganya, Farid terkena peluru polisi ketika dia sedang dalam perjalanan untuk mengambil kartu identitas nasionalnya dari kantor pos setempat.

Catatan resmi menunjukkan 11 lainnya, termasuk delapan warga sipil dan tiga personel polisi, masih dirawat di Guwahati Medical College and Hospital, sekitar 70 Km (43 mil) ke selatan setelah mereka mengalami luka-luka pada Kamis (23/9). Menurut buletin medis yang dirilis pada Ahad (26/9), masih terdapat peluru di perut Rejia Khatun (27) dari Dhalpur.

Sebuah video viral dari insiden itu menunjukkan Mainal berlari ke arah polisi dengan tongkat bambu. Potongan video itu menunjukkan dia ditembak oleh polisi yang mengenakan cawat dan rompi. Saat dia pingsan, polisi terlihat memukulinya dengan tongkat.

Dalam video yang sama, seorang fotografer lokal yang dibawa oleh pemerintah distrik untuk mendokumentasikan proses penggusuran menginjak Mainal bahkan ketika dia terbaring di tanah. Seorang polisi kemudian terlihat memeluk fotografer tersebut.

Pada Kamis malam, ketika video itu menyebar ke media sosial dan memicu kemarahan atas kebrutalan tersebut, polisi negara bagian menangkap Bijoy Bania, sang fotografer. Pemerintah Assam yang dipimpin oleh Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata Party (BJP) mengumumkan penyelidikan yudisial atas insiden yang telah mengirimkan gelombang kejutan di kalangan masyarakat sipil.

Menteri Negara Bagian Himanta Biswa Sarma mengklaim penduduk desa telah menyerang polisi terlebih dahulu dengan parang dan tongkat dan bahwa kekerasan itu adalah hasil dari konspirasi. Dia juga mengklaim orang luar menghasut penduduk desa.

Baca juga : Pengacara: BPN Bogor Ingin Rocky Vs Sentul City Dimediasi

Namun demikian, Sarma, yang dikenal dengan retorika anti-Muslimnya, tidak memberikan bukti atas klaim-klaimnya. Polisi menangkap dua warga setempat, Asmet Ali dan Chand Mamud, dari desa Kira Kara dan Dhalpur Bagian 3 setelah menuduh mereka terlibat dalam kekerasan tersebut.

Insiden penggusuran oleh pihak berwenang Assam itu adalah bagian dari sengketa tanah. Sengketa tanah berawal dari keputusan pemerintah negara bagian untuk membebaskan tanah pemerintah dari perambahan.

Hampir sebulan setelah mengambil alih sebagai menteri utama, Sarma mengumumkan mereka akan menggunakan sekitar 25.666 akre (10.386 hektare) tanah yang dibebaskan dari perambahan di Gorukhuti, Sipajhar di Darrang untuk tujuan pertanian. "Penghuni liar akan diusir dari semua bagian Assam untuk melindungi tanah kami dan identitas Assam dari perambah dan penyusup," demikian cicitan Sarma di Twitter pada Juni lalu setelah mengunjungi sebuah kuil di Dhalpur.

Para kritikus menuduh Sarma dan partai BJP-nya menargetkan Muslim asal Bengali di negara bagian itu dengan menyebut mereka sebagai perambah, penyusup, dan imigran ilegal. Muslim asal Bengali merupakan bagian terbesar dari populasi Muslim di negara bagian Assam yang berjumlah lebih dari 12 juta.

 

Isu imigran gelap dari negara tetangga Bangladesh telah mendominasi politik negara bagian timur laut berpenduduk 32 juta jiwa ini selama beberapa dekade. Hampir dua juta orang, baik Hindu maupun Muslim asal Bengali dikeluarkan dari Daftar Warga Nasional (NRC) yang diterbitkan dua tahun lalu.

Namun demikian, BJP, beberapa organisasi lokal dan bahkan pejabat yang sekarang bertanggung jawab atas pelaksanaan tersebut mempertanyakan kebenaran dari proses yang panjang dan sulit tersebut. Mereka mengklaim banyak imigran ilegal telah berhasil mendapatkan nama mereka dalam daftar warga negara. Proses tersebut berlanjut menjadi dalam limbo (tempat orang yang terlupakan/telantar) karena reservasi ini.

Sementara itu, Muslim asal Bengali yang tinggal di desa Dhalpur Bagian 1 dan Dhalpur Bagian 3 tempat penggusuran dilakukan mengatakan mereka telah menjadi korban. Penduduk setempat mengatakan banyak dari keluarga ini telah pindah dari distrik lain seperti Nagaon, Barpeta dan Goalpara pada 1970-an dan 1980-an setelah mereka kehilangan tanah mereka karena erosi.

"Keluarga kami pindah ke sini dari Barpeta pada 1982 setelah tanah kami disapu oleh Brahmaputra. Kami sebelumnya di desa tetangga Kira Kara. Dua tahun yang lalu kami pindah ke Dhalpur Bagian 3 setelah rumah kami terbawa ke sungai," kata seorang aktivis setempat, Saddam Hussain.

Penduduk setempat menunjukkan, putaran terbaru penggusuran dimulai pada 20 September 2021, bahkan ketika diskusi tengah berjalan dengan pemerintah dan administratur distrik tentang pemukiman kembali dan rehabilitasi. Menurut Hussain, penduduk setempat disajikan pemberitahuan hanya pada malam sebelumnya dan di pagi hari administratur tiba untuk mengusir mereka.

Menteri Utama Sarma dengan cepat memuji administratur dan polisi untuk mengusir 800 rumah tangga dan menghancurkan empat bangunan agama ilegal. Penduduk setempat mengatakan pada 20 September, pihak berwenang meminta mereka pindah ke tempat di sebelah sungai yang cenderung banjir dan tidak layak untuk tempat tinggal.

"Kedalaman air adalah 15 kaki (4,5 meter) di sana. Bagaimana kami akan tinggal di sana bersama anak-anak kami. Kami akan tersapu," kata Kamaruddin, seorang pekerja upah harian, sembari menangis.

"Tidak ada air untuk diminum, tidak ada pohon. Dalam panas ini, tidak ada air. Kami menggunakan air dari sungai. Apakah pemerintah ingin membunuh kami seperti ini?" ujarnya.

Sementara itu, setelah putaran pertama penggusuran, dua hari kemudian pada 22 September, penduduk desa diberi putaran pemberitahuan selanjutnya di malam hari. "Orang-orang tidur ketika pemberitahuan tiba. Dan di pagi hari, ketika mereka hampir bangun, administratur dan polisi sudah ada di sana," kata Hussain.

Ia mengatakan penduduk setempat marah. Administratur tidak melakukan apa pun untuk merehabilitasi orang-orang yang diusir sebelumnya dan mereka datang lagi untuk mengusir lebih banyak warga.

Baca juga : Anies Berharap Jakarta Bisa Turunkan Emisi Hingga 30 Persen

 

Ainuddin mengatakan dia dan saudara-saudaranya sudah membongkar rumah seng mereka ketika administratur tiba, bahkan ketika penduduk sudah mulai berkumpul untuk pertemuan protes. Namun, situasi kemudian berubah menjadi kekerasan. Menurut Ainuddin, pengawas polisi telah menjelaskan mereka akan mengusir warga apa pun yang terjadi.

Warga Dhalpur Bagian 3, Rafikul Islam, mengatakan masyarakat telah berkumpul untuk memprotes dan meminta lebih banyak waktu. Setelah melakukan diskusi dengan para petugas itu, mereka pergi.

"Namun, pihak berwenang mulai menghancurkan rumah-rumah," kata Rafikul Islam.

Saat itulah, menurut penduduk setempat, situasinya berubah menjadi lebih bergejolak. Sementara polisi dan pemerintah mengklaim mereka sangat kalah jumlah oleh massa yang dipersenjatai dengan tongkat dan parang yang menyerang mereka, penduduk setempat mengatakan adalah polisi yang menembak.

"Mereka punya senjata. Kami tidak punya apa-apa. Bagaimana kami bisa bertarung," kata Ainuddin.

Namun demikian, para pemimpin BJP bersikeras ada konspirasi bahkan mereka mengklaim penduduk setempat telah menyetujui sebuah penyelesaian. Juru bicara pemerintahan BJP Assam, Pabitra Margherita, mengatakan lebih dari 8.000-10 ribu orang berkumpul dengan tongkat dan senjata dan menyerang bahkan setelah berdiskusi bersama.

"Mereka memutuskan mengosongkan tempat itu. Dalam diskusi antara pemerintah dan masyarakat setempat yang mereka sepakati bahwa mereka akan diberikan dua akre (0,8 hektar) tanah untuk orang-orang yang tidak memiliki tanah dan fasilitas lain oleh pemerintah," kata Margherita.

Ketua Menteri Sarma telah menegaskan kembali janjinya membagikan tanah kepada orang-orang yang tidak memiliki tanah yang telah diusir. Tanah adalah subjek yang sensitif dan kompleks di Assam. Kelompok yang mewakili penduduk asli mengklaim mereka secara demografis kewalahan oleh orang-orang asal Bengali.

Gerakan penggusuran memiliki dorongan dari kelompok-kelompok tekanan lokal. Bahkan di Darrang di mana penggusuran saat ini terjadi, beberapa organisasi lokal telah menuntut penggusuran itu.

Namun di permukaan, situasinya lebih kompleks. Hussain mengklaim keluarga mereka pertama kali membeli tanah dari orang Assam lokal ketika mereka datang pada 1982 dan kemudian lagi dari Muslim asal Bengali ketika mereka pindah ke Dhalpur dua tahun lalu. Akan tetapi, transaksi keuangan ini adalah 'Kutcha' alias tidak resmi dan memiliki sedikit nilai hukum.

 

Karena surat tanah resmi itu langka, adalah umum bagi masyarakat untuk pergi bertransaksi lahan semacam ini. Pengacara di Pengadilan Tinggi Gauhati yang mewakili sebagian penduduk Dhalpur yang menentang tindakan pemerintah, Santanu Borthakur, mengatakan tidak ada keraguan itu adalah tanah pemerintah.

"Secara hukum, tidak ada larangan bagi pemerintah melakukan penggusuran," ujarnya.

Namun Borthakur menjelaskan mengapa keputusan pemerintah untuk melanjutkan penggusuran itu sewenang-wenang. Menurutnya, di Assam, orang-orang telah lama hidup di tanah yang disebut tanah pemerintah itu.

"Tanpa rencana permukiman kembali, penggusuran seperti itu seharusnya tidak terjadi," lanjutnya.

Ia mengatakan sejumlah besar masyarakat di Assam tidak memiliki akta kepemilikan. Untuk meresmikan kepemilikan tanah, pihak berwenang mengumumkan kebijakan baru di mana penduduk asli yang tidak memiliki tanah telah diberikan tanah di masa lalu.

Sesuai data hingga 20 Januari 2021, jumlah total pattas (akta hak milik) dan peruntukan tanah berjumlah lebih dari 107 ribu, yang sebagian besar terkonsentrasi di distrik Assam Atas di Golaghat, Dibrugarh, Tinsukia, Dhemaji, Lakhimpur, Sonitpur dan Jorhat. Jumlahnya nol di Salmara Selatan, sebuah distrik berpenduduk mayoritas Muslim di dekat perbatasan Bangladesh.

Ainuddin Ahmed, penasihat untuk Serikat Mahasiswa Minoritas Semua Assam, sebuah kelompok penekan yang berpengaruh, mengatakan pemerintah melakukan politik atas nama Khilonjiya (orang Pribumi) bahkan ketika tidak ada definisi siapa Khilonjiya.

"Agenda tersembunyi pemerintah adalah menargetkan Muslim, minoritas," kata Ahmed.

Ahmed mengklaim pemerintah mengklaim bahwa semua orang ini dicurigai sebagai orang asing tanpa bukti apapun. Padahal, menurutnya, semua orang itu adalah orang India.

"Mereka memiliki bukti identitas, semua dokumen dan nama mereka ada di NRC," katanya.

Baca juga : KIH Sidoarjo Diharap Dorong Industri Halal Nasional

 

Anggota Kongres parlemen dari Barpeta, Abdul Khaleque, mengatakan orang-orang tersebut tidak memilih BJP sehingga pemerintah sekarang membalas dendam. "Kami tidak mendukung perambahan. Namun di Assam setiap tahun beberapa orang menjadi tidak bertanah karena erosi. Apa yang telah dilakukan pemerintah untuk memberi mereka tanah," tanyanya.

Khaleque menegaskan pemerintah harus terlebih dahulu membuat rencana rehabilitasi yang tepat sebelum melanjutkan dengan penggusuran. Hal itu menurutnya tidak akan memiliki tujuan apapun tetapi hanya akan mengarah pada perambahan lebih lanjut. Kembali ke Dhalpur 3, Kamaruddin mempertanyakan sampai kapan mereka akan terus bergerak seperti itu.

"Dalam satu atau dua tahun, pemerintah akan datang lagi untuk mengusir kami. Mereka harus memberi kami tanah yang cocok di mana kami bisa tinggal bersama keluarga kami," kata Kamaruddin. 

https://www.aljazeera.com/news/2021/9/29/assam

 
Berita Terpopuler