Apa Hukum Istri Berutang tanpa Izin Suami?

Istri harus patuh pada suami yang taat pada Allah.

Republika
Apa Hukum Istri Berutang tanpa Izin Suami?
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam ajaran Islam, suami wajib memberi nafkah pada istrinya berupa kebutuhan pokok yang meliputi makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Hal ini didasarkan pada makna firman Allah SWT: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemam puannya. Dan orang yang tidak mampu hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah SWT kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (at-Thalaq: 7).

Baca Juga

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Hindun, istri Abu Sufyan, mengadu kepada Rasulullah SAW: "Ya Rasulullah, sungguh Abu Sufyan itu lelaki yang kikir, dia tidak memberi saya dan anak saya nafkah yang mencukupi. Maka Rasulullah SAW menjawab: "Ambillah nafkah kamu dan anakmu secukupnya, dengan cara yang makruf" (HR Jama'ah/mayoritas ahli hadis, selain at-Turmudzi).

Apabila suami sudah melaksanakan kewajibannya terkait nafkah, maka istri harus patuh pada suami dan tidak boleh melangkah sendiri tanpa izin suami. Di antara asas kerumahtanggaan yang harus dipedomani oleh semua muslim adalah asas kepatuhan istri kepada suami (tentunya suami yang taat pada Allah).

Hal ini didasarkan pada makna firman Allah : "Kaum laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh karena itu, wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri (setia) ketika suaminya tidak ada di sampingnya, karena Allah telah memelihara mereka... (an-Nisa': 34). Bahkan, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah bersabda: "Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud pada sesamanya, maka pasti aku perintahkan para istri untuk bersujud pada suami mereka" (HR at-Turmudzi).

Bagaimana halnya jika ada suami yang dikenal amat pelit, bolehkah istri berutang pada orang lain tanpa sepengetahuan suami? Sebab kalau dia tahu, maka pastilah tidak mengizinkannya, sedangkan nafkah yang diberikan suami tersebut selalu kurang.

 

Sebagai istri, memang harus patuh pada suami, segala yang dilakukan harus seizin suami; bahkan untuk berpuasa sunnah pun harus sepersetujuan suami, sebagaimana sabda Nabi SAW: "Seorang istri tidak boleh berpuasa ketika ada suaminya, walau hanya sehari, selain pada bulan Ramadhan, kecuali ada izin dari suami" (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan lain-lain dari Abu Hurairah r.a.).

Suami-istri harus kompak dalam mengelola rumah tangga. Harusnya tidak ada yang dirahasiakan di antara mereka terkait dengan apa yang dibutuhkan dalam rumah tangga.

Tetapi, jika keadaan tidak memungkinkan, misalnya karena suami dikenal amat pelit, maka berdasarkan ayat dan hadits di atas, istri boleh berutang kepada orang lain tanpa seizin suami. Tapi hal ini hanya boleh dilakukan oleh istri jika dalam keadaan amat terpaksa.

Hal ini disandarkan pada kaidah ushul fiqih: Adh-dharuratu tubihul mahzhurát (keadaan darurat itu dapat memperbolehkan sesuatu yang mestinya dilarang). Dalam hadits tentang istri Abu Sufyan di atas, Rasulullah memberi syarat bolehnya istri mengambil uang belanja tanpa sepengetahuan suami yang pelit adalah secara makruf (secara baik dan bijak atas pertimbangan kemaslahatan).

Maka, dalam kasus istri berutang tanpa seizin suami ini pun harus dilakukan secara makruf pula; artinya harus benar-benar untuk kebutuhan riil rumah tangga, dan harus dalam batas kemampuan wajar suami karena utang tersebut menjadi tanggung jawab suami untuk mengembalikannya.

 

Permasalahan lain yang juga sering muncul adalah lebih diutamakan mana antara orang tua dan suami? Orang yang mengerti agama tidak akan pilah-pilih sebab semua itu adalah kewajiban yang harus terlaksana dengan baik, tanpa ada yang terabaikan.

Dalam berbagai ceramah, sering disampaikan riwayat betapa istri harus mengutamakan suami di atas segalanya, sampai-sampai ibunya sakit hingga wafat pun, istri tidak berani menjenguk karena pesan suami yang melarangnya keluar rumah. Sungguh sampai saat ini tidak ditemukan riwayat ini dalam kitab-kitab hadits, karena itu amat diragukan kebenarannya.

Andai benar terjadi, maka ini bukan kesetiaan, tapi ketidakmengertian, bahkan kebodohan. Andai riwayat ini benar ada, maka pastilah bukan hadits sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum, apalagi dengan melangkahi Alquran dan hadis sahih.

Lupakah mereka betapa banyaknya ayat Alquran dan hadits sahih yang menekankan kewajiban berbakti kepada orang tuanya tanpa batas waktu, di samping kewajiban patuh pada suami dengan syarat suami juga patuh pada Allah dan sudah menunaikan kewajibannya sebagai suami. Wallahu a'lam.

 
Berita Terpopuler