Pengadilan Simbolis Dengarkan Korban Pelanggaran HAM Turki

Pengadilan simbolis di Swiss kesaksian dua korban kekerasan dan seorang pengacara HAM

AP
Bendera Turki di jembatan Martir, Turki
Rep: Lintar Satria Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Koalisi masyarakat sipil di Swiss, menggelar sidang simbolis untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Turki. Mereka mendengarkan kesaksian dua korban kekerasan dan seorang pengacara pembela HAM pada hari Senin (20/9) lalu di Jenewa, Swiss.

Baca Juga

Dikutip dari Turkish Minute, Rabu (22/9) kesaksian pertama disampaikan, seorang guru yang bekerja di sebuah sekolah negeri Mehmet Alp. Ia mengaku diculik badan intelijen Turki MIT di Cizre pada 18 April 2015.

Mehmet Alp mengatakan dirinya dipaksa menandatangani pernyataan yang menuduhnya mendorong murid-muridnya untuk bergabung dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang terlarang. Dia mengaku ditodong senjata untuk menandatangani dokumen itu. Mehmet tidak memberi tahu siapa pun kejadian itu karena takut.

Mehmet kemudian dipenjara pada 2016. Ketika berada di penjara, upaya kudeta terjadi di Turki pada 15 Juli 2016, yang secara dramatis mengubah iklim politik di negara itu, ketika pemerintah melancarkan tindakan keras terhadap lawan politik dengan dalih perjuangan anti-kudeta.

Meskipun berada di penjara pada saat kudeta berlangsung, Mehmet kemudian ikut didakwa dalam keterlibatan kudeta. Dia mengatakan mengalami tindakan kekerasan di dalam tahanan yang menyebabkan pendarahan internal dan tidak mendapat bantuan medis.

“Kami tidak hanya menyiksa Anda, tapi juga kepada istri Anda jika perlu, dan anak-anak Anda akan berakhir di panti asuhan. Jadi jika Anda mencintai keluarga, maka jangan beritahu pengadilan apa yang telah terjadi,” kata Mehmet Alp menirukan intimidasi yang diterimanya.

Mehmet kemudian dibebaskan pengadilan sambil menunggu persidangan pada 2018. Saat itu, dia memutuskan untuk melarikan diri ke Eropa untuk mencari suaka.

Sedangkan, Erhan Dogan, seorang guru sejarah yang bekerja di sekolah yang berafiliasi dengan gerakan Gulen menyatakan, pemerintahan di Ankara menuduh gerakan Gulen, sebuah kelompok berbasis agama yang diilhami oleh ulama Turki Fethullah Gulen, berada di balik kudeta yang gagal. Namun, gerakan tersebut menyangkal keterlibatan apapun dengan kudeta atau aktivitas lainnya.

Dogan mengatakan dia ditahan 10 hari setelah kudeta yang gagal dan dibawa ke gym yang digunakan sebagai pusat penahanan setelah upaya kudeta oleh unit kontraterorisme (TEM) Departemen Kepolisian Ankara.

“Saya dipukuli, ditelanjangi, dan dipukul dengan tongkat,” kata Dogan seperti dilansir Turkish Minute.

 

Dogan mengatakan polisi meminta dia memberi mereka nama setidaknya 10 orang, dan menjanjikan akan dibebaskan jika dia melakukannya.

“Mereka mengatakan kepada saya, 'Kamu bisa mati di sini. Sebelumnya sudah ada yang mati dan tidak ada siapa pun yang tahu tentang mereka,'” kata Dogan. "Saya ditempatkan di sebuah ruangan di mana saya melihat bekas darah di sekitar saya."

“Petugas polisi kemudian membawa saya ke ruangan lain. Mereka mulai membenturkan kepala saya ke dinding, menuntut agar saya memberi mereka 10 nama itu tetapi saya tolak. Penyiksaan ini berlangsung selama 10 hari,” kata Dogan.

“Mereka kemudian membawa saya ke dokter. Tapi saya tidak berani menceritakan yang terjadi,” kata Dogan, seraya menambahkan bahwa dia tidak diizinkan untuk memberi tahu dokter apa yang telah dia alami karena petugas polisi yang hadir mengancamnya.

Dogan mengatakan dia juga melihat polisi membawa tiga wanita di mana dia ditahan dengan tahanan lain.

“Polisi mengatakan kepada saya, 'Ini bisa terjadi pada istri dan anak perempuan Anda jika tidak mengikuti perintah kami,” kata Dogan sambil menangis.

Hakim Ketua Dr. Françoise Barones Tulkens bertanya apakah dia bisa menceritakan metode kekerasan lain yang dia alami selain pemukulan. Dogan mengatakan polisi juga melecehkannya.

Setelah Dogan, Eren Keskin, seorang pengacara dan aktivis hak asasi manusia di Turki, bersaksi dari jarak jauh melalui panggilan video.

Eren Keskin dari European Court of Human Rights (ECtHR) mengatakan meskipun ada peraturan, pengadilan Turki tidak menerima laporan selain yang disiapkan oleh ahli kedokteran forensik yang diangkat dan dipekerjakan oleh pemerintah.

Peradilan ini mengklaim telah memberikan kesempatan pada Pemerintah Turki untuk melakukan pembelaan, tetapi tidak menggunakannya. Pengadilan ini akan mengumumkan putusannya yang juga akan dipublikasikan di situs web. 

 
Berita Terpopuler