Menunggu Sikap Presiden Pascarekomendasi Ombudsman Soal KPK

Presiden diharap segera bertemu Ombudsman dan Komnas HAM bahas nasib pegawai KPK.

ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Mantan pimpinan KPK Saut Situmorang (kanan) bersama penyidik nonaktif KPK Novel Baswedan (kiri) menuliskan surat untuk presiden saat mengikuti aksi anti korupsi di Jakarta, Rabu (15/9/2021). Aksi tersebut berlangsung sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, serta meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemecatan 57 pegawai KPK yang selama ini memiliki integritas tinggi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Rizkyan Adiyudha

Ombudsman RI telah mengirimkan rekomendasi terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK kepada Presiden Joko Widodo hari ini, Kamis (16/9). Rekomendasi Ombudsman RI tersebut baru dikirim sehari setelah Pimpinan KPK memutuskan pemberhentian dengan hormat 51 pegawai KPK yang dianggap tidak lolos TWK.

Meskipun rekomendasi Ombudsman RI baru disampaikan sehari setelah pemberhentian pegawai KPK, namun Anggota Ombudsman yakin Presiden Joko Widodo akan membaca substansi rekomendasi dari Ombudsman RI tersebut. "Biar Presiden membaca dulu substansi (rekomendasi)nya," kata Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng, Kamis (16/9).

Robert yakin rekomendasi Ombudsman tetap berguna dan disikapi Presiden Jokowi, walaupun pimpinan KPK sudah memberhentikan 51 pegawainya yang tidak lolos TWK. Karena itu, tegas Robert, ia membantah bila rekomendasi Ombudsman tidak ditanggapi atau diabaikan. "Kok bilang belum ditanggapi? Rekom kami baru dikirim hari ini," ujar Robert.

Selanjutnya, Ombudsman menyerahkan kewenangan kepada Presiden Joko Widodo. Walaupun dalam pernyataan Presiden Jokowi sebelumnya, menyebut jangan semua urusan diserahkan ke presiden, termasuk urusan TWK KPK. Presiden padahal pernah pula menyatakan TWK KPK tidak boleh bertolak belakang dengan sikap Presiden sebelumnya.

Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang, Presiden seharusnya konsisten dengan perkataannya. Karena sebelumnya dalam pidato, Jokowi memastikan TWK tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai KPK. Artinya Pimpinan KPK tidak bisa memberhentikan pegawai yang tidak lolos TWK KPK.

Baca Juga

Baca juga : Pegawai KPK yang Dipecat karena tak Lolos TWK akan Melawan

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana berharap, Presiden sebaiknya segera mengagendakan pertemuan dengan Ombudsman dan Komnas HAM sebelum mengambil sikap terkait TWK KPK. Sebab, jika tidak, ICW khawatir ada kelompok lain yang menyelinap dan memberikan informasi keliru kepada Presiden terkait isu KPK.

Namun, kalau Presiden tetap menganggap ini sekadar urusan administrasi kepegawaian dan mengembalikan sepenuhnya kewenangan kepada KPK, maka ada sejumlah konsekuensi serius. "Pertama, Presiden tidak konsisten dengan pernyataannya sendiri," ujar Kurnia, Kamis (16/9).

Sebab, menurut dia, pada pertengahan Mei lalu, Presiden secara khusus mengatakan bahwa TWK tidak serta merta dijadikan dasar memberhentikan pegawai. Kedua, Presiden tidak memahami permasalahan utama di balik TWK pegawai KPK.

"Penting untuk dicermati Presiden, puluhan pegawai KPK diberhentikan secara paksa dengan dalih tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan. Padahal, di balik Tes Wawasan Kebangsaan ada siasat yang dilakukan oleh sejumlah pihak untuk menyingkirkan pegawai-pegawai berintegritas di KPK," ungkap Kurnia.

Ketiga, menurut dia, presiden memang tidak ingin berkontribusi untuk agenda penguatan KPK. Sebagaimana diketahui, tahun 2019 lalu presiden menyetujui Revisi UU KPK dan memilih Komisioner KPK bermasalah. Padahal, Presiden punya kewenangan untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. "Sama seperti saat ini, berdasarkan regulasi, Presiden bisa menyelematkan KPK dengan mengambil alih kewenangan birokrasi di lembaga antirasuah itu," imbuhnya.

Keempat, ICW menilai presiden memilih abai dalam isu pemberantasan korupsi. Penting untuk dicermati, menurut dia, penegakan hukum, terlebih KPK, menjadi indikator utama masyarakat dalam menilai komitmen negara untuk memberantas korupsi. Maka dari itu, ketika Presiden memilih untuk tidak bersikap terkait KPK, maka masyarakat akan kembali memberikan rapor merah kepada presiden karena selalu mengesampingkan isu pemberantasan korupsi.

"Jangan lupa, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sudah anjlok tahun 2020. Ini membuktikkan kekeliruan Presiden dalam menentukan arah pemberantasan korupsi," terangnya.

Baca juga : KPK Lakukan OTT di Provinsi Kalimantan Selatan

Karena itu ICW berharap presiden bisa bersikap sesuai dengan pidatonya di awal. Dan untuk mendapat masukan, ia berharap Presiden Jokowi bisa mempertimbangkan temuan Ombudsman dan Komnas HAM. Di mana dua lembaga negara itu secara terang benderang mengurai secara rinci permasalahan-permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan TWK, yakni maladministrasi dan pelanggaran HAM.





Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Eko Riyadi mengatakan sejak awal PUSHAM UII juga dalam posisi mengkritik prosedur dan substansi TWK yang penuh problematikanya tersebut. Ia menilai prosedur TWK sangat tendensius, dan sudah terlihat sejak awal menargetkan, serta ingin menyingkirkan orang orang tertentu di KPK.

"Substansinya juga banyak menyinggung aspek forum internum, dari peserta TWK yang masuk kategori kebebasan yang tidak bisa diintervensi negara," ungkapnya.

Faktanya, sekarang, ketika 57 pegawai KPK diberhentikan oleh pimpinan KPK per 1 Oktober 2021 mendatang. Padahal, kata dia, sejak awal Presiden Jokowi sudah menegaskan TWK pegawai KPK tidak menjadi dasar untuk memberhentikan pegawai KPK. Namun kini, presiden pun bersikap berbeda. "Ini bukti bahwa sejak awal, pimpinan KPK ternyata satu kesatuan dengan pemerintah dan presiden," terangnya.

Ia juga melihat pimpinan KPK dengan penuh percaya diri, mengabaikan suara publik dan aspirasi masyarakat sipil, bahkan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman RI soal TWK. Tanpa menunggu sikap presiden, pimpinan KPK langsung memberhentikan para pegawainya yang tak lolos TWK. "Suara publik diabaikannya, suara lembaga independen Komnas HAM dan Ombudsman RI diacuhkannya," kata Eko kepada wartawan, Kamis (16/9).

Ketua Wadah Pegawai KPK nonaktif, Yudi Purnomo mengungkapkan bahwa puluhan pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) akan tetap menempuh jalur hukum. Hal itu menyusul pemecatan terhadap 51 pegawai KPK oleh pimpinan lembaga antirasuah tersebut.

Baca juga : Mengulik Usulan Mendagri, Pemilu 2024 Digelar April atau Mei

"Walaupun sampai sekarang kami belum mendapatkan SK pemberhentian, tapi setelah nanti mendapatkan kami akan melakukan perlawanan hukum," kata Yudi Purnomo dalam keterangan, Kamis (16/9).

Dia mengatakan, upaya hukum dilakukan karena keputusan yang diambil pimpinan KPK tidak sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo. Dia menilai bahwa pimpinan KPK seperti berlawanan dengan perintah presiden yang menyebutkan bahwa TWK bukan sebagai patokan pegawai KPK dapat beralih menjadi ASN.

Dia mengungkapkan, imbas dari TWK yang penuh dengan permasalahan itu adalah pemberhentian terhadap pegawai KPK yang berintegritas. Dia berpendapat bahwa pemecatan tersebut menjadi sebuah upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi.

Yudi berharap Presiden Jokowi segera mengambil sikap mengenai permasalahan pegawai KPK yang diberhentikan karena proses TWK. Menurutnya, hanya Jokowi sebagai panglima tertinggi yang dapat memberhentikan atau tidak 51 Pegawai KPK tersebut.

"Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan. Mengapa para pejuang anti korupsi, penyidik, penyelidik dan pegawai lainnya yang selama belasan tahun ini telah memberantas korupsi namun pada kenyataannya malah diberhentikan dengan alasan TWK padahal arahan presiden pada Mei yang lalu sudah jelas bahwa 75 orang pegawai KPK ini tidak boleh diberhentikan," katanya.

Baca juga : Rokok dan 6 Perkara yang Membatalkan Wudhu

Seperti diketahui, KPK resmi memecat 51 pegawai yang dinilai tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan TWK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021 nanti.

"Kepada pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak mengikuti pembinaan melalui diklat bela negara, diberhentikan dengan hormat dari pegawai KPK," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata

TWK merupakan proses alih pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi polemik lantaran dinilai sebagai upaya penyingkiran pegawai berintegritas. Ombudsman menemukan banyak kecacatan administrasi serta didapati sejumlah pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.

KPK sampaikan keberatannya atas temuan proses TWK yang dinilai maladministrasi oleh Ombudsman. - (Republika)

 
Berita Terpopuler