Pesepakbola Muslimah Prancis Perjuangkan Hak Berhijab

Pesepakbola Muslima Prancis perjuangkan hak kenakan hijab.

alarabiya.net
Pesepakbola Muslimah
Rep: Rossi Handayani Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, PARIS -- Sejak berusia enam tahun, Karthoum Dembele telah bermain sepak bola dengan kakak laki-lakinya dan teman-temannya di antara perumahan di banlieue Paris atau pinggiran kota. Bakat sepak bola besar telah muncul dari lingkungan ini dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Pogba, Mbappe, dan Kante.

Baca Juga

Di sini, di mana sepak bola jalanan adalah raja, adalah tempat Dembele jatuh cinta dengan sepak bola. Namun kini, di usia 19 tahun, optimismenya meredup.

Bukan karena kurangnya bakat atau cedera, tetapi karena politik Prancis. Sebagai wanita muslimah berhijab, Dembele tidak diperbolehkan bermain di sebagian besar kompetisi olahraga di Prancis, termasuk sepak bola. French Football Federation (FFF) mempertahankan larangan mengenakan simbol agama yang mencolok, meskipun FIFA mencabut larangan jilbabnya sendiri pada 2014.

Sementara , ada tekanan yang meningkat pada FFF untuk mengubah aturannya, di tengah seruan untuk lebih banyak perwakilan di lapangan. Gerakan ini disebut Les Hijabeuses, yang dipimpin oleh Dembele dan pesepakbola wanita berhijab muda lainnya di sekitar Paris.

Tahun lalu, sekelompok peneliti dan pengorganisir komunitas yang berkampanye melawan ketidakadilan sosial di Prancis, mendirikan Les Hijabeuses. Lebih dari setahun kemudian, Les Hijabeuses memiliki sekitar 150 anggota dan hampir 5.000 pengikut di Instagram.

 

 

Mereka melakukan protes di markas FFF pada 23 Juli dan telah menulis beberapa surat kepada Presiden FFF, Noel Le Graet. Mereka menuntut diakhirinya pengucilan perempuan Muslim, akan tetapi belum menerima jawaban.

"Kami semua berjuang untuk sepak bola yang lebih inklusif, yang akan mengintegrasikan semua wanita. Kami mencoba membuat orang mengerti bahwa kami adalah atlet wanita. Bukan karena kami berhijab sehingga kami harus dikeluarkan dari lapangan," kata Dembele dilansir dari laman Aljazeraa pada Selasa (14/9). 

"Untuk FFF, sekarang, saatnya untuk bangun. Saya pikir mereka lebih melihat wajah kita daripada bakat kita," lanjutnya

Perbedan seputar apa yang boleh atau tidak boleh dikenakan oleh wanita Muslim belakangan ini muncul kembali di Prancis dengan RUU anti-separatisme yang kontroversial. Itu disahkan menjadi undang-undang Prancis pada 24 Agustus.

Anggota parlemen Prancis mencoba menggunakan undang-undang tersebut untuk secara resmi melarang pemakaian jilbab di semua kompetisi olahraga. Meskipun ini dianggap tidak konstitusional oleh anggota parlemen pada 9 Juni.

 

 

RUU diusulkan oleh pemerintah Presiden Emmanuel Macron tahun lalu. Itu bertujuan untuk memerangi ekstremisme Islam dan memperkuat sekularisme. Akan tetapi telah banyak dikritik karena condong ke politik sayap kanan menjelang pemilihan nasional 2022, dan menstigmatisasi Islam dan diperkirakan enam juta Muslim di Perancis, terbanyak di Eropa.

Sementara, Paris mengambil alih estafet Olimpiade dari Tokyo 2020 untuk Olimpiade Musim Panas 2024. Prancis tetap menjadi satu-satunya negara di Eropa yang mengecualikan wanita berhijab dari bermain di sebagian besar kompetisi olahraga domestik.

Namun, undang-undang tersebut menyatakan bahwa dalam kompetisi internasional, seperti Olimpiade pemain asing berjilbab dapat bermain di Prancis. Untuk itu, hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa Prancis secara khusus menargetkan atlet Muslim berhijabnya sendiri. 

Salah satu pendiri Les Hijabeuses, Haifa Tlili, mengatakan posisi FFF mengikuti tren luas di Prancis, yang sejak 1990-an, telah melihat peningkatan wacana Islamofobia. "Masalahnya adalah mereka diobjekkan," kata Tlili, merujuk pada bagaimana dia percaya aturan FFF berdampak pada pesepakbola wanita Muslim.

"Perempuan tidak lagi ingin dilihat hanya sebagai cadar, tetapi sebagai pesepakbola," kata dia.

 

 

Aturan tersebut telah dikritik oleh beberapa orang karena sengaja dibuat tidak jelas, sebuah cara untuk melanggengkan pengucilan atlet Muslim.

Sejumlah pemain dari Les Hijabeuses dapat menceritakan kisah yang tak terhitung jumlahnya terkait bagaimana mereka menjadi sasaran di lapangan. Salah satu talenta sepakbola terbesar dalam kolektif, Foune Diawara (15) pernah diberitahu oleh seorang wasit: "Anda melepas jilbab Anda dan bermain, atau Anda tetap di bangku cadangan." 

"Yang terburuk adalah pelatihnya bahkan tidak mendukungnya. Dia sendirian. Saya merasa sedih karena kami dipaksa untuk memilih setiap waktu, antara jilbab kami dan apa yang kami cintai, antara martabat kami dan hanya ingin bermain olahraga," kata Dembele.

Adapun buku aturan FFF menetapkan bahwa memakai tanda atau pakaian apa pun yang secara mencolok mengekspresikan afiliasi politik, filosofis, agama, atau serikat pekerja dilarang dalam permainan resmi. Namun di halaman lain, disebutkan bahwa pemakaian aksesori (seperti bandana, topi, dan lainnya) yang tidak melibatkan dakwah dan yang mematuhi peraturan kesehatan dan keselamatan adalah dimungkinkan. 

 
Berita Terpopuler