Jajak Pendapat: Kasus Islamofobia Meningkat Usai 9/11

Peristiwa 9/11 memicu peningkatan Islamofobia.

world bulletin
Kelompok Muslim Amerika Serikat mengampanyekan anti Islamofobia
Rep: Mabruroh Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah jajak pendapat Muslim Amerika mengungkapkan bahwa sebanyak 69 persen menyampaikan pengalaman pribadi mereka telah mengalami satu atau lebih insiden kefanatikan atau diskriminasi anti-Muslim sejak peristiwa 9/11. Jajak pendapat ini dilakukan oleh Council on American-Islamic Relations (CAIR).

CAIR adalah bagian dari laporan yang mendokumentasikan dan menganalisis bagaimana serangan 11 September mengubah komunitas Muslim Amerika selama 20 tahun terakhir. CAIR melakukan survei online dari 12 Agustus hingga 3 September dan menerima total 1.053 tanggapan lengkap.

Dilansir dari 5Pillars pada Sabtu (11/9), laporan itu mengatakan bahwa 11 September 2001 memicu peningkatan dalam kejahatan kebencian di seluruh Amerika Serikat yang belum sepenuhnya mereda.

Meskipun serangan itu sendiri memicu peningkatan sentimen anti-Muslim, Islamofobia menjadi alat manipulasi yang digunakan oleh politisi dan media untuk menanamkan dan meningkatkan ketakutan terhadap Islam dan memajukan kebijakan pemerintah yang membawa bencana terhadap Muslim di sini dan di luar negeri.

"Selama 20 tahun terakhir, retorika mereka telah menghasilkan biaya yang mematikan dan mengakibatkan sejumlah kejahatan kebencian terhadap Muslim dan mereka yang dianggap Muslim," kata laporan itu.

 

 

Temuan utama dari jajak pendapat meliputi sebanyak 40 persen responden mengatakan mereka sering dihentikan untuk pemeriksaan tambahan atau interogasi ketika berada di bandara. 79 persen mengatakan mereka telah menyaksikan atau mengalami peningkatan kefanatikan anti-Muslim yang dipicu oleh serangan 9/11. 

69 persen mengatakan bahwa mereka menyaksikan atau mengalaminya setelah larangan perjalanan Trump bagi Muslim, dan 51 persen mengatakan mereka menyaksikan atau mengalaminya setelah invasi ke Irak.

Kemudian 34 persen mengatakan bahwa retorika anti-Muslim di tahun-tahun sejak 9/11 telah berdampak pada kesehatan mental mereka. Serta 63 persen percaya bahwa liputan media Amerika tentang Muslim tidak menjadi lebih akurat di tahun-tahun sejak 9/11.

Sebanyak 72 persen wanita Muslim secara pribadi mengalami satu atau lebih insiden kefanatikan atau diskriminasi anti-Muslim sejak 9/11, dibandingkan dengan 67 persen pria Muslim. Wanita Muslim juga melaporkan merasa kurang diterima di masyarakat Amerika (56 persen) dibandingkan dengan pria Muslim (65 persen).

 

 

95 persen Muslim mengatakan bahwa ketika mereka mendengar komentar negatif tentang Islam dan Muslim, mereka selalu (45 persen) atau kadang-kadang (50 persen) angkat bicara.

63 persen Muslim melaporkan bahwa masjid mereka telah terlibat dalam peningkatan kerja lintas agama sejak 9/11.

Laporan tersebut mengatakan bahwa setelah 11 September 2001, pemerintah melembagakan beberapa program yang mengikis kebebasan sipil dan menargetkan Muslim di Amerika, termasuk National Security Entry-Exit Registration System (NSEERS), Patriot Act, daftar larangan terbang, daftar pantauan dan Larangan Muslim.

“Secara keseluruhan, hasil menunjukkan bahwa Muslim Amerika telah menderita kerugian yang signifikan dan berkelanjutan sebagai akibat dari serangan dan peristiwa selanjutnya selama dua dekade terakhir. Namun, laporan tersebut juga menunjukkan bahwa banyak Muslim Amerika telah memenuhi dan mengatasi tantangan hukum, politik dan sosial tersebut. Selain itu, Muslim Amerika cenderung melaporkan pengalaman pasca-9/11 yang sangat berbeda berdasarkan gender dan etnis, terutama bagi wanita Muslim dan Muslim Afrika-Amerika," kata CAIR. 

"Terlepas dari tantangan dunia pasca 9/11 dengan Islamofobia yang dilembagakan, Muslim Amerika terus berkembang di semua aspek masyarakat. Bidang-bidang ini termasuk filantropi, aktivisme, media dan hiburan, dan keterlibatan masyarakat,” kata CAIR.

 

 

 

 
Berita Terpopuler