Muslim Chicago Jadi Target Usai Tragedi 9/11

Komunitas Muslim di Chicago terkena dampak tragedi 9/11

AP/Shafkat Anowar
Sejumlah umat Muslim usai melaksanakan shalat tarawih di Pusat Komunitas Muslim Chicago, Senin (12/4). Umat Muslim di AS tergolong multietnis dan nasionalitas. Tercatat jumlah umat Muslim Chicago mencapai angka 350 ribu jiwa atau lima persen dari populasi. Terdapat pula penganut Islam yang merupakan warga kulit putih AS dan Hispanik (keturunan latin). Namun, sejak lama Chicago terkenal sebagai wilayah konsentrasi kaum Muslim Afro-Amerika. Meski berbeda bahasa, adat maupun budaya, akan tetapi dalam beberapa kesempatan, terutama pada ibadah shalat serta aktivitas Ramadhan, satu sama lain akan menanggalkan perbedaan untuk bersatu di bawah panji kitab suci Alquran dan sunnah Nabi. Umat Muslim Chicago benar-benar menikmati perbedaan yang ada dan mempererat tali ukhuwah di saat bersamaan. (AP Photo/Shafkat Anowar)
Rep: Kiki Sakinah Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID,  CHICAGO -- Serangan teror yang terjadi pada 11 September 2001 telah memberikan dampak bagi komunitas Muslim dan Arab di Amerika Serikat (AS). Muslim yang tinggal di Chicago, salah satunya, mengungkapkan bagaimana mereka menjadi target dan hidup dalam ketakutan pasca peristiwa 9/11 tersebut.

Baca Juga

Hatem Abudayyeh mengingat peristiwa masa lalu ketika serangan oleh ektremis itu terjadi. Saat itu, ia tidak tahu persis apa yang terjadi. Namun baginya, peristiwa 9/11 adalah hari dan pengalaman yang menakutkan.

Abudayyeh adalah orang Arab Amerika. Dia dibesarkan di North Side di Chicago dan belajar di sekolah Katolik saat anak-anak serta sekolah umum saat remaja. Pada saat 9/11 terjadi, dia mengelola Pusat Aksi Arab Amerika di lingkungan Chicago Lawn.

"Dengan cepat menjadi jelas bahwa pemerintah AS percaya itu adalah Osama Bin Laden. Segera kami tahu itu dilakukan oleh orang-orang Arab. Orang Arab dan Muslim akan menanggung bebannya," kata Abudayyeh, dilansir di CBS Chicago, Sabtu (11/9).

Hanya beberapa jam setelah serangan itu, di luar kantornya di Chicago, seorang pengendara motor besar di Harley-nya berhenti dan melihat mereka, orang-orang berpenampilan Arab.

Abudayyeh menuturkan, pengendara tersebut lantas melompat dari sepeda motornya dan mulai menyerang mereka secara verbal tepat di depan the Arab American Action Center yang dikelolanya di 63rd Street. Pria itu sembari meneriakkan kata-kata 'Anda bertanggung jawab atas pembunuhan ini. Kalian semua teroris. Kembalilah ke tempat asalmu'.

 

 

"Saya sudah sering mendengar itu. Saya datang dari Sisi Utara Chicago yang jauh, jika Anda ingin saya pergi ke sana," ujar Abudayyeh.

Pada hari-hari setelah serangan teror, kejahatan kebencian terhadap orang Arab dan Muslim terjadi di seluruh kota dan pinggiran kota Chicago. Perasaan takut itu tidak diragukan lagi. Insiden demikian berlanjut selama berbulan-bulan.

Pada awal Desember di tahun yang sama, Abudayyeh mendapat telepon. Pusat komunitasnya terbakar. "Saya berjalan di pintu di sini. Pemadam kebakaran di semua tempat. Lubang di langit-langit. Saya langsung berpikir pembakaran," katanya.

Di seluruh AS, kejahatan kebencian terhadap orang Arab dan Muslim melonjak setelah peristiwa 9/11. Pada 2000, FBI melaporkan 80 kejahatan kebencian, dan pada 2001 angka itu melonjak menjadi 860. 

"Itu menghancurkan komunitas kami, menyebut anak-anak teroris. Jilbab wanita dirobek," ujarnya.

 

 

Bahkan mereka yang hanya dianggap Arab atau Muslim terperangkap dalam jaringan kebencian yang buruk. Pada bulan pertama setelah serangan, Koalisi Sikh melaporkan lebih dari 300 serangan kekerasan terhadap anggota komunitas mereka.

"Rasis melihat kulit cokelat, dan mereka tidak tahu perbedaan antara Arab, Muslim, Sikh, India," kata Abudayyeh.

Dengan lonjakan kejahatan rasial itu, Presiden George W. Bush saat itu memperingatkan orang Amerika untuk tidak menyamakan semua Muslim dengan tragedi 11 September. "Islam itu damai. Teroris ini tidak mewakili perdamaian. Mereka mewakili kejahatan dan perang," kata Bush kala itu.

Sementara itu, penyelidikan FBI mengungkapkan tersangka 9/11 telah menghabiskan beberapa bulan di Venesia, Florida, di mana mereka belajar menerbangkan pesawat. Jaksa Agung John Ashcroft saat itu mengatakan, bahwa dalam perang baru itu, peleton musuh menyusup ke perbatasan AS, diam-diam berbaur dengan wisatawan, pelajar dan pekerja yang berkunjung.

"Kamuflase mereka bukan hijau hutan, melainkan warna pakaian jalanan umum. Misi teroris mereka adalah untuk mengalahkan Amerika, menghancurkan nilai-nilai kita dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah," kata Ashcroft.

 

 

Kurang dari dua bulan setelah serangan, Kongres mengesahkan Patriot Act, yang memberi pemerintah pengawasan dan akses terhadap informasi tentang semua warga negara, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Abudayyeh mengatakan, jajak pendapat menunjukkan bahwa orang Amerika akan melepaskan kebebasan sipil mereka jika itu berarti mereka aman dan terlindungi.

"Tetapi coba tebak, mereka bukan orang yang diminta untuk melepaskan kebebasan sipil mereka. Bukan mereka yang menjadi sasaran," kata Abudayyeh.

Setelah Undang-undang Patriot muncul Sistem Pendaftaran Masuk/Keluar Keamanan Nasional (NSEERS). Sistem itu mengharuskan pria dari negara tertentu, dengan mayoritas penduduk Arab, dan yang bukan penduduk tetap AS, agar mendaftar atau melapor ke otoritas AS. Program itu dicabut 14 tahun kemudian. Para kritikus menyebutnya sebagai sebuah kegagalan total.

"Tahu berapa banyak yang dihukum karena terorisme? Nol lemak besar. Kami menyebarkan jaring lebar ini, dan kami melemparkannya ke atas komunitas Arab dan Muslim. Kami pada dasarnya memberi tahu mereka, Anda adalah musuh," lanjut Abudayyeh. 

Abudayyeh mengatakan, bias dari kebijakan tersebut masih terus berjalan. Pada Januari 2017, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang melarang pengunjung dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim. Menanggapi hal itu, sekitar 5.000 pengunjuk rasa menutup sebagian Bandara Internasional O'Hare, menuntut larangan itu dicabut.

 

 

"Itu adalah jenis kemarahan dan frustrasi dan ketakutan yang sama yang kami rasakan pasca 9/11," kata Abudayyeh.

Namun demikian, sejak 2001 jumlah kejahatan rasial terhadap orang Arab dan Muslim menurun dari angka tertinggi 860 pada 2001 menjadi 228 pada 2020. Tidak hanya itu, komunitasnya juga berkembang.

Diperkirakan 3,7 juta orang Arab tinggal di Amerika Serikat, dan lebih dari 142.000 tinggal di Illinois. Abudayyeh mengatakan, komunitas Arab dan Muslim menjadi lebih profesional, lebih kuat, dan lebih baik dalam memebela komunitas mereka.

"Salah satu penyesalan terbesar saya, tidak pernah memaafkan diri saya sendiri, kami tidak menawarkan analisis politik langsung terhadap serangan 11 September. Penting untuk mendengar dari komunitas Arab dan Muslim. Ini adalah hari yang mengerikan dalam sejarah negara ini. Tetapi kita perlu memahami konteksnya," tambahnya. (Kiki Sakinah)

 
Berita Terpopuler