Kemendikbud Dorong Insan Vokasi Kembangkan Kewirausahaan

Jumlah wirausahawan Indonesia lebih rendah dari Singapura dan Malaysia

ANTARA/Adeng Bustomi/wsj.
Jumlah wirausahawan Indonesia lebih rendah dari Singapura dan Malaysia. Ilustrasi wirausaha
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong para insan vokasi untuk mengembangkan kewirausahaan.

Baca Juga

Itu dilakukan karena melihat jumlah wirausahawan di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

“Jumlah wirausahawan Singapura mungkin sudah di atas 10 persen, kita masih di angka 3 persen,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek, Wikan Sakarinto, pada webinar bertajuk "Menuju Entrepreneurial University, Mencetak Lulusan Siap Berwirausaha" yang digelar Direktorat Mitras DUDI secara daring, Jumat (3/9).

Kewirausahaan selama ini sudah menjadi baguan dadi kegiatan pembelajaran di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Materi pembelajaran tentang kewirausahaan hadir di semua kurikulum di Indonesia sejak belasan tahun lalu, tapi jumlah wirausahawan di Indonesia masih kurang jika dibandingkan dengan negara tetangga.

Melihat itu, Wikan mengimbau insan vokasi untuk tidak terlena oleh mata kuliah kewirausahaan maupun pusat inkubasi bisnis yang telah ada di setiap perguruan tinggi.

Menurut dia, hal yang sangat dibutuhkan untuk menciptakan 4 juta pengusaha baru, sebagai syarat Indonesia untuk benar-benar menjadi lima besar PDB terbesar di dunia, adalah transformasi.

"Jangan berhenti pada euforia atau mungkin kesadaran sejenak, tetapi nanti lupa bertransformasi, nanti lupa mengeksekusi," kata Wikan.

Dalam pengajaran nilai kewirausahaan, kata dia, sering kali insan vokasi langsung membuat prototype atau purwarupa, tapi belum memastikan pembelinya.

Dia menuturkan, semestinya insan vokasi terlebih dahulu melakukan riset pasar, mulai dari siapa pembelinya, jumlah yang dibeli, harga, hingga durasi produk berada di pasar apabila laku.

Wikan mengungkapkan, kini sudah banyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun perguruan tinggi yang telah membuat berbagai mesin hingga kendaraan listrik, tapi masih terganjal dalam aspek penjualan.

Wikan menyebutkan, untuk itu harus ada pembenahan urutan dalam pengembangan kewirausahaan di perguruan tinggi. 

Sementara itu Founder Aren Energy Investment, Toronata Tambun, pada kesempatan yang sama mengungkapkan, ada perguruan tinggi di Amerika Serikat yang 73 persen lulusannya sukses menjadi wirausahawan atau entrepreneur. Kesuksesan mereka terlihat dari keberhasilan mempertahankan usahanya hingga tahun kelima.

 

Kemudian dari angka tersebut, sebanyak 90 persen perusahaan yang dipimpin oleh perempuan dari lulusan perguruan tinggi itu juga berhasil mempertahankan usahanya hingga tahun kelima. Meski begitu, alumnus Harvard Business School itu mengungkapkan beberapa fakta yang pahit terkait dunia bisnis.

Dia mengungkapkan, terdapat 90 persen start up yang gagal di dunia. Startup yang dimodali oleh venture capital 75 persennya juga gagal. Lalu, start up yang sampai tahun kelima juga tak sampai 50 persen. Bahkan, kata dia, hanya sepertiga dari startup tersebut yang sampai tahun ke-10.

"Dan yang paling menyedihkan hanya kurang dari 40 persen yang actually punya profit. Selebihnya hanya bakar uang melulu, tidak sampai selesai terus-terusan bakar uang," jelas Toronata.

Toronata mengungkapkan 82 perseb bisnis yang gagal biasanya disebabkan oleh masalah arus kas alias cash flow. Menurut dia, perusagaan industri digitallah yang justru paling banyak berujung gagal. Dia mengatakan, sebenarnya hanya 7 persen orang yang bisa menjadi pengusaha.

Mahasiswa, dosen, dan peneliti 100 persen bisa menjadi wirausahawan jika memiliki entrepreneurial mindset. "Opportunity based entrepreneur, jadi orang yang didesain politeknik, sekolah vokasi," ujar Toronata.

Koordinator Pengembangan Produk dan Jasa Badan Pengelola Usaha Polman Bandung, Otto Purnawarman, mengungkapkan pentingnya penanaman perilaku berkewirausahaan.

Dia mengatakan, perguruan tinggi dalam menjalankan program kewirausahaan dapat memilih talentnya. Otto menjelaskan, Polman Bandung menerapkan Production Base Education (PBE) yang terdiri dari kurikulum, teori, dan praktik.

"Teorinya terstruktur, maka praktiknya ini harus produk yang dijual di pasar, tapi bisa diatur kurikulum. Polman sampai sekarang membuat model integrasi soal ini," kata Otto.

Di sisi lain, pemilik PT Rastekindo Cipta Global, Rida Sakra Muhammad, menilai PBE merupakan hasil tempaan yang baik bagi mahasiswa. Melalui PBE, Rida mengaku mendapatkan hard skill, bagaimana cara berkreasi, dan keahlian. Meski begitu, Rida menilai PBE masih kurang dalam hal penjualan.

Pria lulusan Polman Bandung tersebut meminta kurikukum kewirausahaan tidak hanya berdasarkan teori, tapi juga lebih banyak ke sharing session atau dalam bentuk kuliah umum bersama alumni dan pihak dunia usaha dan dunia industri.

 

Menurut Rida hal tersebut dapat dilakukan sesering mungkin, agar para mahasiswa terus tertanam jiwa kewirausahaannya. Menjadi pengusaha, menurutnya, merupakan doktrin, sehingga harus terus ditanamkan jiwa entrepreneurnya.  

 
Berita Terpopuler