Alasan Muhammadiyah-NU Tolak Aturan Dana BOS untuk Sekolah

Muhammadiyah dan NU menilai Permendikbud soal dana BOS untuk sekolah diskriminatif.

Antara/Asep Fathulrahman
Guru melihat Ruang Perpustakaan SMP PGRI 1 Kota Serang yang atapnya roboh, di Serang, Banten, Rabu (23/6/2021). Menurut pengelola sekolah sejak pemerintah memberlakukan sistem zonasi dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) untuk sekolah negeri, jumlah murid yang mendaftar ke sekolah swasta makin menurun bahkan hampir tidak ada sehingga pengelola sekolah swasta kesulitan untuk menggaji guru serta memelihara gedung karena tidak ada bantuan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) dari pemerintah maupun dana partisipasi masyarakat.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro

Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan yang merupakan gabungan dari organisasi pendidikan di lingkungan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan juga organisasi pendirikan, menilai aturan terkait dasar perhitungan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler, yang salah satunya harus memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir, diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial. Aliansi menyatakan menolak aturan tersebut dan meminta pemerintah mencabut ketentuan tersebut.

Baca Juga

"Bertolak belakang dengan amanat pembukaan UUD 1945, bersifat diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial," ujar Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Kasiyarno, saat membacakan pernyataan sikap aliansi secara daring, Jumat (3/9).

Aturan yang dimaksud ialah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler. Ketentuan tersebut disebarkan melalui Surat Edaran Dirjen PAUD Dikdasmen Nomor 10231/C/DS.00.01/2021 tentang Pembaharuan Dapodik untuk Dasar Perhitungan Dana BOS Reguler.

Aliansi menyoroti Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler di Permendikbud yang diundangkan pada 16 Februari 2021 itu. Di sana tertera ketentuan sekolah yang dapat menerima dana BOS reguler yang berbunyi sekolah harus memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir.

"Kebijakan tersebut mendiskriminasi hak pendidikan anak Indonesia dan melanggar amanat konstitusi negara. Oleh karena itu, kami yang selama ini telah banyak berkontribusi membantu negara dalam pendidikan menyatakan sejumlah catatan kritis terhadap kebijakan tersebut," kata Kasiyarno.

Pertama, Kemendikbudristek seharusnya memegang teguh amanat dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 dalam merumuskan berbagai peraturan dan kebijakan. Amanat yang dimaksud, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Berdasarkan amanat itu, aliansi menyatakan pemerintah harus memastikan setiap anak bangsa wajib mengikuti pendidikan selama 12 tahun. Selain itu, mewujudkan pendidikan yang berkualitas juga menjadi salah satu indikator ketercapaian tujuan pembangunan milenium dan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Aliansi kemudian mengutip pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Karena itu mereka menilai, pemerintah seharusnya membiayai pendidikan seluruh peserta didik sebagaimana hak konstitusional mereka.

Berdasarkan dua hal tersebut, Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan menyatakan menolak Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021, khususnya pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler. Aliansi juga mendesak Mendikbudristek untuk menghapus ketentuan tersebut.

Aliansi juga meminta pemerintah mempertegas kebijakan pendidikan nasional yang berlandaskan filosofi kebudayaan Indonesia. Dalam hal itu juga mereka meminta agar menjauhkannya dari praktik diskriminasi. Selain itu, kebijakan pendidikan nasional juga harus sesuai dengan ketentuan utama pendidikan nasional, Pembukaan UUD 1945, dan UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2).

Aliansi menyatakan pendidikan merupakan tulang punggung untuk mengukir masa depan bangsa melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia. Karena itu, kontribusi dan partisipasi berbagai pihak dalam mewujudkan cita-cita mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa senantiasa harus diupayakan secara optimal.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi, menilai, kekhawatiran akan adanya anak yang kehilangan kesempatan belajar atau learning loss dapat benar-benar terjadi. Kekhawatiran itu bisa terealisasi apabila ada sekolah yang membutuhkan dukungan dana BOS tapi ke depan tak lagi mendapatkannya karena terhalang persyaratan.

"Kalau sampai mereka tidak memperoleh akses dukungan dana, maka yang diceritakan learning loss, loss generation, itu benar-benar terjadi," ungkap Unifah dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan untuk menolak Permendikbud Nomor  6 Tahun 2021 secara daring, Jumat (3/9).

Dia menjelaskan anggota PGRI berada di seluruh kota-kota di Indonesia. Menurut dia, anggota PGRI ada yang menjadi bagian dari sekolah-sekolah swasta yang menampung anak-anak yang tak dapat masuk ke sekolah negeri. Mereka mendampingi siswa-siswa dari kelompok yang kurang mampu agar mendapatkan akses pendidikan.

"Mereka semakin termarjinalisasi karena peran negara tidak hadir untuk memberikan dukungan kepada mereka memperoleh hak pendidikan," kata dia.

Adapun, pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A, mengatakan, syarat sekolah penerima dana BOS reguler dengan ketentuan minimal memiliki 60 peserta didik dalam tiga tahun terakhir dapat merugikan sekolah-sekolah swasta. Jangankan di daerah terdepan, tertinggal, dan terpencil (3T), sekolah-sekolah swasta di tengah kota saja tak sedikit yang tidak bisa mendapatkan dana BOS reguler dengan syarat tersebut.

"Di kota-kota besar pun siswa yang jumlahnya di bawah 60 itu ada banyak," ungkap Doni.

Doni menjelaskan, keadaan tersebut sering kali terjadi bukan karena kesalahan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta maupun kesalahan manajemen itu. Itu terjadi, kata dia, karena pemerintah lebih banyak membangun sekolah negeri yang ada di daerah-daerah, terutama untuk tingkat pendidikan dasar.

"Seharusnya pemerintah memperhatikan peranan sekolah-sekolah swasta yang sudah sejak lama berkarya di tempat-tempat itu jauh sebelum Indonesia ini merdeka," ujar pria yang mendampingi beberapa yayasan-yayasan dari sekolah katolik itu.

Dia mengambil contoh kasus di Sleman, Yogyakarta. Di sana ada sekolah yang tidak bisa mendapatkan dana BOS. Padahal, sekolah itu menerima siswa yang tidak dapat masuk ke sekolah negeri karena keterbatasan kuota. Sekolah-sekolah swasta itu memberikan akses pendidikan kepada anak-anak dari keluarga tak mampu yang tak dapat masuk ke sekolah negeri.

"Kalau yang seperti ini tidak diperhatikan oleh negara, saya rasa negara kembali melanggar amanat UU Sisdiknas pasal 31 ayat 1 bahwa pendidikan itu adalah hak warga negara. Dan ini saya tunjukkan terjadi bukan hanya di Sleman, tetapi ada di Purbolinggo, ada di Tawangmangu, ada di Pekalongan, dan ada di Magelang," kata dia.

Doni juga menyatakan, peraturan tersebut sangat diskriminatif. Sebab, ada perlakuan berbeda untuk sekolah negeri. Dia menerangkan, sekolah negeri yang memiliki peserta didik di bawah 60 orang dalam tiga tahun terakhir masih bisa mendapat dana BOS asalkan mendapat rekomendasi dari kepala dinas pendidikan setempat.

"Ini seperti mengatakan bahwa sekolah-sekolah swasta itu tidak didukung oleh negara," tutur dia.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan, aturan tentang ketentuan minimal jumlah peserta didik bukan hal baru. Peraturan tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan melakukan penggabungan sekolah-sekolah yang peserta didiknya terlalu sedikit.

"Karena jumlah peserta didik yang rendah merupakan penanda bahwa para orang tua menganggap kualitas layanan dari sekolah-sekolah tersebut tidak sesuai harapan," ungkap Plt Karo BKHM Kemendikbudristek, Anang Ristanto, kepada Republika lewat pesan singkat, Jumat (3/9).

Menurut Anang, kondisi itu dapat membuat inefisiensi dalam pengalokasian sumber daya, termasuk dalam hal ini guru dan tenaga kependidikan, dapat dilakukan. Dia menjelaskan, dengan penggabungan sekolah, tata laksana akan lebih efisien dan secara mutu akan dapat lebih ditingkatkan.

"Jika BOS terus diberikan kepada sekolah-sekolah dengan kualitas layanan tidak sesuai harapan, maka akan menyebabkan pemborosan anggaran negara. Kemendikbudristek perlu melakukan pembatasan untuk memastikan masyarakat terus menerima layanan pendidikan yang berkualitas," kata dia.

Anang mengatakan, bagi sekolah-sekolah yang dapat membuktikan rendahnya jumlah peserta didik bukan karena mutu tapi karena hal lain, seperti kondisi daerah, maka sesuai aturan, pemerintah daerah setempat dapat segera mengajukan pengecualian kepada Kemendikbudristek.

Dia juga mengungkapkan, pada 2021, peraturan tersebut belum berdampak. Semua sekolah, termasuk sekolah dengan jumlah peserta didik di bawah 60, masih menerima BOS. Menurut dia, itu karena aturan tersebut ada mulai sejak 2019 dan semua daerah diberikan kesempatan tiga tahun untuk melakukan penataan.

"Kemendikbudristek sedang mengkaji kesiapan penerapan kebijakan di atas untuk tahun 2022 dan senantiasa selalu menerima masukan dari berbagai pihak," kata dia.

Dia menjelaskan, aturan itu bukan merupakan hal yang baru. Sejak 2019, Kemendikbudristek mengatur, sekolah yang selama tiga tahun berturut-turut memiliki jumlah murid kurang dari 60 orang untuk tidak lagi menerima dana BOS reguler. Salah satunya terdapat pada Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler pada Lampiran Bab III, Huruf A, angka 2, huruf k.

"Pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan, sesuai dengan kewenangannya harus memastikan penggabungan sekolah yang selama tiga tahun berturut-turut memiliki peserta didik kurang dari 60 peserta didik dengan sekolah sederajat terdekat, kecuali Sekolah yang dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam huruf i. Sampai dengan dilaksanakannya penggabungan, maka sekolah tersebut tidak dapat menerima dana BOS reguler," bunyi aturan tersebut.

Di menerangkan, pengaturan dalam Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 dan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 konsisten dengan kebijakan tahun 2019 itu. Kemudian, kata dia, sesuai yang tercantum di dalam Permendikbud Nomor 6 tahun 2021, ada pengecualian terhadap klausul tersebut, yaitu bagi sekolah terintegrasi, SDLB, SMPLB, SMALB, dan SLB, kemudian bagi sekolah yang berada di daerah khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.

Lalu, masih mengacu kepada Permendikbud Nomor 6 tahun 2021, dia mengatakan, untuk sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah yang berada pada wilayah dengan kondisi kepadatan penduduk yang rendah dan secara geografis tidak dapat digabungkan dengan sekolah lain, juga dapat diusulkan pemerintah daerah kepada Kemendikbudristek untuk dikecualikan.

"Sejak tahun 2020, Kemendikbudristek telah melakukan banyak penyesuaian strategis terkait tata laksana BOS," kata dia.

Penyesuaian-penyesuaian strategis itu, pertama, melakukan transfer langsung ke rekening sekolah sehingga menghindari keterlambatan penyaluran. Kedua, terkait fleksibilitas penggunaan dana BOS agar sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah. Ketiga, melakukan penerapan sistem elektronik dalam pelaporan dana BOS sehingga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

"Keempat, perluasan sasaran dana BOS Afirmasi dan Kinerja untuk sekolah swasta. Kelima, penyesuaian besaran satuan dana BOS dengan indeks kemahalan daerah. Kemendikbudristek juga senantiasa terbuka menerima masukan agar penggunaan dana BOS semakin efektif, tepat sasaran, dan akuntabel," kata dia.

 

Tips sekolah tatap muka agar tetap aman. - (Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler