Dominasi Delta, Kemunculan Varian Mu, dan Saran Ilmuwan

Varian Delta menjadi varian Corona yang paling banyak ditemukan di Indonesia.

AP/Tatan Syuflana
Petugas kesehatan merawat pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Dr. Suyoto, Jakarta, Indonesia, pada akhir Juli 2021 lalu. Saat itu, Indonesia mengalami gelombang kedua infeksi Corona yang dahsyat, dipicu oleh varian Delta yang pertama kali terdeteksi di India. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Dian Fath Risalah, Antara

Varian Delta hingga kini menjadi varian dari virus Corona yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Hal itu diakui oleh Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito.

"Sejak tahun 2020 hingga 1 September 2021 sudah dilakukan whole genome sequence untuk 5.790 sampel, di mana ditemukan 2.323 di antaranya merupakan VoC yang terdiri dari varian Alfa yaitu 64 kasus, Beta 17 kasus dan Delta 2.242 kasus," kata Wiku melalui konferensi video di Jakarta pada Kamis (2/9).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan variant of concern adalah varian virus corona yang menyebabkan peningkatan penularan, dan peningkatan kematian. Bahkan, varian virus corona yang masuk dalam kategori ini juga disebut memiliki kemampuan dalam memengaruhi efektivitas vaksin.

Varian-varian virus corona yang termasuk dalam kelompok yang dikategorikan sebagai VoC antara lain, yakni varian Alfa (B.1.1.7), varian Beta (B.1.351, B.1.351.2, B.1.351.3), varian Delta (B.1.617.2) dan varian Gamma (P.1, P.1.1, P.1.2).

"Sampai pada hari ini telah ditemukan sebanyak tiga dari empat jenis VoC yang di Indonesia yaitu Alpha, Beta dan Delta," tambah Wiku.

Menurut Wiku, mengingat bahwa kasus Covid-19 pada Agustus 2021 masih lebih tinggi dibandingkan dengan kasus pada gelombang pertama di bulan Januari 2021, maka tugas untuk menurunkan kasus masih belum selesai. Apalagi, saat ini WHO menambah memasukkan satu lagi varian virus COVID-19 ke kategori variant of interest (VoI) yaitu varian MU atau B1621 yang pertama kali diidentifikasi di Kolombia pada Januari 2021.

WHO menyebut VoI adalah varian virus SARS-CoV-2 yang memiliki kemampuan genetik yang dapat memengaruhi karakteristik virus. Kemampuan tersebut dapat memengaruhi tingkat keparahan penyakit, pelepasan kekebalan, penularan, hingga kemampuan menghindari diagnostik maupun pengobatan.

Baca Juga

Wiku mengakui, varian baru virus Covid-19 berpengaruh terhadap angka efikasi vaksin yang telah dikeluarkan saat ini. Ini karena vaksin yang dikembangkan saat ini pada umumnya menggunakan virus original atau asli.

"Sehingga munculnya varian baru berpotensi untuk menurunkan angka efikasi yang telah dikeluarkan," ujar Wiku.

Meski demikian, Wiku meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan potensi menurunnya efikasi vaksin tersebut. Termasuk, lima jenis vaksin yang telah digunakan di Indonesia saat ini.

Sebab, organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menegaskan standar vaksin dengan kemampuan membentuk kekebalan yang baik ialah yang memiliki nilai efikasi atau efektifitas di atas 50 persen.

"Sikap yang tepat dengan adanya penurunan angka efektivitas vaksin setelah adanya varian ini ialah tidak berpuas diri terhadap angka capaian vaksinasi," katanya.

 

Aliansi Ilmuwan Indonesia untuk Penyelesaian Pandemi memandang, gelombang kedua infeksi Covid-19 yang menerpa Indonesia sejak akhir bulan Juni hingga Agustus 2021, menjadi bukti bahwa pandemi di Indonesia masih jauh dari berakhir. Selama Juli, jumlah warga Indonesia yang meninggal karena Covid-19 menyumbang 30 persen dari total mortalitas yang tercatat secara resmi.

Angka ini masih jauh dari angka yang sebenarnya. Sempat muncul harapan bahwa pandemi ini akan segera berakhir ketika program vaksinasi mulai dilakukan pada awal 2021. Harapan itu memudar ketika varian Delta dengan daya tular berkali-kali lipat masuk ke Indonesia dan memicu laju penularan yang lebih dahsyat.

"Walaupun saat ini jumlah kasus Covid-19 secara nasional sudah menurun, adalah sangat naif untuk berasumsi bahwa gelombang kedua pandemi Covid-19 adalah yang terakhir," kata Sulfikar Amir, anggota Aliansi Ilmuwan Indonesia Untuk Penyelesain Pandemi dalam diskusi secara daring, Rabu (1/9).

Juga sangat tidak bijak untuk mengatakan bahwa pandemi telah terkendali. Melihat struktur genetika virus Sars-Cov2 yang mudah bermutasi, risiko terjadinya gelombang berikutnya masih sangat tinggi.

"Terlebih karena vaksin yang ada tidak sepenuhnyamenghindari infeksi virus corona. Dalam situasi ini, Indonesia masih rentan terhadap gejolak pandemi akibat penanganan wabah virus corona yang cenderung sporadis, " ujarnya.

Ia pun mencontohkan, ketika terjadi lonjakan kasus, pemerintah segera memberlakukan pembatasan sosial. Ketika pelonggaran dilakukan, serta merta mobilitas dan aktivitas masyarakat memicu naiknya jumlah kasus.

"Dan begitu seterusnya. Masuknya varian-varian baru yang lebih ganas dapat membuat Indonesia lebih sulit untuk keluar dari krisis kesehatan publik yang berkepanjangan," ucapnya

Untuk itu, jalan keluar dari pandemi harus dipikirkan dan diwujudkan tidak hanya untuk menekan mortalitas dan morbiditas Covid-19 saat ini, tetapi juga untuk mengeluarkan kita dari krisis pandemi dalam jangka panjang. Aliansi Ilmuwan pun mengusulkan jalan keluar, yakni "Skenario Pasca Pandemi".

"Disebut skenario karena untuk keluar dari suatu krisis yang penuh dengan ketidakpastian.Kita harus mampu menyusun suatu proses yang akan kita lewati untuk mencapai tujuan akhir. Dan tujuan akhir dari skenario ini adalah membawa Indonesia masuk ke era pasca pandemi, suatu era di mana pandemi Covid-19 sudah menjadi masa lalu," tuturnya

Tiga prinsip utama dalam Skenario Pasca Pandemi, yakni Empathy, Equity, dan Episteme. Empathy adalah kepedulian dan rasa welas asih terhadap sesama yang menjadi fondasi dalam penanganan setiap krisis kemanusiaan. Equity adalah kesetaraan dan keadilan yang menjamin akses bagi seluruh warga tanpa diskriminasi dalam mendapatkan hak hidup sehat dan bahagia.

Terakhir, Episteme adalah pengetahuan ilmiah yang sangat dibutuhkan sebagai lentera dalam mengarungi ketidakpastian dan risiko pandemi. Berdasarkan tiga prinsip ini, Aliansi Ilmuwan menekankan dua hal penting yang tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan pandemi Covid-19, tetapi juga untuk memperkuat kapasitas pemerintah dalam mengantisipasi pandemi di masa datang.

"Dua hal tersebut adalah (1) Peta Jalan (roadmap) penyelesain pandemi, dan (2) pembangunan Tata Kelola Pandemi melalui pelembagaan badan pengendalian wabah penyakit," ucapnya.

Skenario Pasca Pandemi, lanjutnya, merupakan kerja kolektif skala nasional yang dilakukan secara bertahap dengan target dan indikator yang jelas, terukur, dan obyektif. Dalam tiap tahap, tiga perangkat intervensi dilakukan secara paralel yang mencakup intervensi epidemiologis, intervensi sosial, dan intervensi ekonomi. Ketiganya didesain secara terintegritas dalam suatu matriks.

"Skenario Pasca Pandemi disusun dalam suatu peta jalan (roadmap) yang jadi acuan seluruh proses transformasi yang harus kita capai secara terencana," ujarnya.

Secara umum, peta jalan ini terdiri atas tiga fase. Pertama, fase supression dengan target utama menekan angka kasus dan kematian secara drastis dalam satu periode tertentu. Fase ini menerapkan strategi “pull and push” yakni kombinasi antara pembatasan sosial dan pelacakan secara masif dan terpadu.

Fase kedua adalah stabilization dengan tujuan utama untuk mengendalikan skala penularan pada tingkat tertentu dan mempersiapkan pembukaan secara parsial aktivitas sosial ekonomi, misalnya sekolah dan perkantoran. Dalam fase ini, dua unsur utama perlu ditekankan.

Pertama, pengembangan teknik pengendalian risiko penularan virus Corona khususnya terkait dengan sirkulasi udara yang diterapkan di sektor-sektor berisiko tinggi, misalnya pabrik, restauran, dan pusat perbelanjaan. Kedua, penguatan surveilans yang melibatkan komunitas sebagai ujung tombak pelacakan dan isolasi. Fase ketiga adalah normalization di mana secara keseluruhan pandemi dapat dikatakan telah terkendali dan masyarakat sudah bisa hidup secara normal.

"Pada fase ini tingkat persepsi risiko di masyarakat sudah tinggi dan sistem pelacakan sebagai instrumen surveilans khususnya di tingkat komunitas sudah terlembagakan dengan baik," tuturnya .

Indikator utama fase ketiga ini adalah rata-rata tes positif dibawah 1 persen dan jumlah kasus harian di bawah 1.000. Dengan asumsi setiap fase membutuhkan waktu 3-4 bulan, maka dalam setahun Indonesia sudah relatif bebas dari pandemi.

"Jika ini terjadi, aturan protokol kesehatan sudah bisa kita longgarkan termasuk penggunaan masker. Aktivitas ekonomi dapat pulih sepenuhnya dan kita bisa kembali mengejar target-target pembangunan," terangnya

Dalam implementasinya, ketiga tahapan dalam peta jalan ini membutuhkan kolaborasi nasional antara pemerintah dengan segenap unsur masyarakat sipil, khususnya organisasi yang selama ini bergerak dalam penanganan pandemi berbasis komunitas. Pada saat bersamaan, pengunaan teknologi dan sistem pendataan yang andal, transparan, dan akuntabel dalah hal mutlak untuk melewati setiap tahapan dengan baik.

 

Perkembangan uji coba vaksin Covid-19. - (Republika)

 
Berita Terpopuler