Benarkah Adzan di Indonesia tidak Ikut Mazhab Imam Syafii?

Ada banyak pendapat dari Mazhab Syafii terkait dengan adzan.

Red: Nashih Nashrullah

Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, — Seorang sahabat bertanya tentang isi ceramah seorang ustadz yang beredar di media sosial. Dalam ceramah tersebut, sang ustadz menyebut bahwa adzan yang digunakan di Indonesia tidak mengikut Mazhab Imam Syafii. 

Baca Juga

Mengapa demikian? Karena lafaz adzan yang dikumandangkan para muazin di negeri ini adalah lafaz adzan Bilal. Sementara adzan yang diakui Imam Syafii adalah adzan Abu Mahdzurah, bukan adzan Bilal. Berangkat dari perbedaan ini, sang ustadz lalu menyimpulkan bahwa: “Kita tidak wajib bermazhab…”.   

Perbedaan antara adzan Abu Mahdzurah dengan adzan Bilal sebenarnya hanya terletak pada satu poin saja yaitu masalah tarji’. Tarji’ adalah membaca kalimat syahadat secara pelan (sirr) sebelum membacanya dengan suara tinggi.

Kalimat syahadat yang dimaksud adalah kalimat أشهد أن لا إله إلا الله yang dibaca dua kali dan kalimat أشهد أن محمدا رسول الله juga dibaca dua kali. Keempat kalimat ini dibaca secara pelan terlebih dahulu, baru setelah itu dibaca secara keras. 

Karena perbedaan ini maka jumlah kalimat dalam adzan Abu Mahdzurah adalah 19. Sementara jumlah kalimat dalam adzan Bilal adalah 15.    

Secara umum memang adzan yang digunakan di banyak daerah di Indonesia adalah adzan Bilal. Tapi ini tidak berarti bahwa adzan Abu Mahdzurah tidak digunakan sama sekali. Sebagian masjid di kampung-kampung masih menggunakan adzan Abu Mahdzurah.

Hanya saja, karena tarji’ itu dibaca secara pelan sehingga tidak terdengar jelas, apalagi dari kejauhan. Masih ada para muadzin, sebelum membaca kalimat syahadat dengan keras, ia baca dulu dengan pelan. Ini artinya ia menggunakan adzan Abu Mahdzurah. 

Namun demikian, katakanlah sang muadzin tidak memakai adzan Abu Mahdzurah, dan malah menggunakan adzan Bilal, apakah itu berarti ia tdak lagi bermazhab Syafiiyyah? Apakah untuk bermazhab Syafiiyyah seseorang mesti mengikuti pendapat Imam Syafii seorang dan apa adanya, lalu mengabaikan pendapat ulama Syafiiyyah yang lain?

Ini yang tidak dipahami sang ustadz secara baik dan juga orang-orang yang anti mazhab. Mereka mengganggap bahwa kalau bermazhab dengan mazhab tertentu, berarti mesti ikut seluruh pendapat sang pendiri mazhab. Dari anggapan inilah muncul kesan dan penilaian keliru bahwa bermazhab itu identik dengan ta’ashub (fanatik).  

Andaikan saja sang ustadz mau mengkaji mazhab secara lebih objektif dan mendalam, tentu kesimpulan seperti itu tidak akan muncul. Karena sesungguhnya bermazhab tidak berarti mengikuti pendapat pendiri mazhab secara membabi-buta tanpa dikaji kekuatan dalil dan argumentasinya. Maka, bermazhab sesungguhnya tidak identik dengan fanatik.  

 

Para ulama yang datang setelah imam-imam pendiri mazhab, sebenarnya bisa saja membuat mazhab baru, karena banyak dari mereka yang sampai ke derjat mujtahid. 

Tapi mereka menemukan bahwa ushul yang akan mereka pakai tidak banyak berbeda dengan ushul yang telah dibangun secara kokoh oleh para pendiri mazhab. Kalau demikian, hasrat untuk mendirikan mazhab sendiri sementara pondasi dan akarnya sama dengan mazhab sebelumnya, tentu bisa menjadi nafsu dan syahwat ingin dikenal dan dikenang.  

Perhatikan Mazhab Hanafiyyah. Meskipun antara Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hasan dengan guru mereka sendiri Imam Abu Hanifah sang pendiri mazhab terdapat banyak perbedaan, tapi mereka tetap menisbahkan diri pada mazhab imam dan gurunya. Tidak pernah kita mendengar ada mazhab Yusufiyyah atau Hasaniyyah.  

Namun demikian, bernaungnya mereka di bawah panji mazhab sang guru tidak menghalangi mereka untuk berbeda dengan sang guru dalam banyak masalah. Mengapa? Karena memang bermazhab itu tidak berarti fanatik dan harus sama seratus persen.   

Kembali ke masalah adzan. Imam Syafii memang lebih memilih adzan Abu Mahdzurah yang jumlah kalimatnya 19. Tapi ini tidak berarti orang yang menggunakan adzan Bilal yang jumlah kalimatnya 15 tidak lagi mengikuti Mazhab Syafiiyyah. Mengapa? Karena memang tarji’ itu sendiri dalam Mazhab Syafiiyyah hanyalah sunnah, bukan wajib. 

Imam Nawawi, salah seorang rujukan utama dalam mazhab Syafiiyyah menulis : 

وَهَذَا التَّرْجِيعُ سُنَّةٌ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيحِ الَّذِي قَالَهُ الْأَكْثَرُونَ فَلَوْ تَرَكَهُ سَهْوًا أَوْ عَمْدًا صَحَّ أَذَانُهُ وَفَاتُهُ الْفَضِيلَةُ المجموع شرح المهذب 3/91 

“Tarji’ ini hukumnya sunnah menurut pendapat yang sahih yang disampaikan banyak ulama. Kalau seorang (muazin) meninggalkannya karena lupa atau sengaja, adzannya tetap sah meski memang ia kehilangan fadhilah.” 

Apakah Imam Nawawi tidak tahu kalau pendapat Imam Syafii dalam masalah ini cukup ‘keras’? Menurut Imam Syafii, kalau tarji’ ditinggalkan maka adzan tidak sah. 

Imam Nawawi tentu tahu hal itu. Tapi Imam Nawawi bermazhab tidak seperti yang dipersepsikan sebagian orang; jumud dengan pendapat pendiri mazhab lalu mengabaikan dalil dan argumentasi yang boleh jadi lebih kuat. Setelah menjelaskan hukum tarji’ diatas, Imam Nawawi menulis : 

 قَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ نَقَلَ أَحْمَدُ الْبَيْهَقِيُّ الامام عن الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ إنْ تَرَكَ التَّرْجِيعَ لَا يَصِحُّ أَذَانُهُ     

Al Qadhi Husein berkata, “Imam al Baihaqi menukil dari Imam Syafii bahwa jika seseorang meninggalkan tarji’ maka adzannya tidak sah.” Perhatikan bagaimana beliau mengomentari hal ini: 

وَالْمَذْهَبُ الْأَوَّلُ لِأَنَّهُ جَاءَتْ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ بِحَذْفِهِ مِنْهَا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ فِي أَوَّلِ الْبَابِ وَلَوْ كَانَ رُكْنًا لَمْ يُتْرَكْ وَلِأَنَّهُ لَيْسَ فِي حَذْفِهِ إخْلَالٌ ظَاهِرٌ بِخِلَافِ بَاقِي الْكَلِمَاتِ

“Yang jadi pegangan dalam mazhab adalah yang pertama (bahwa tarji’ itu hukumnya sunnah) karena ada banyak hadits yang tidak mencantumkan tarji’, diantaranya hadits Abdullah bin Zaid yang telah kita kemukakan di awal bab. Kalau tarji’ itu adalah rukun tentu tidak akan pernah ditinggalkan sama sekali. Di samping itu juga, menghilangkan tarji’ ini tidak terlalu berpengaruh, berbeda dengan kalimat-kalimat yang lain.”  

Bukan hanya masalah tarji’, dalam masalah tatswib juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan Syafiiyyah. Tatswib artinya membaca الصَّلاةُ خَيْرٌ مِّنَ النَّوْمِ setelah kalimat حَيَّ عَلَى اْلفَلاَحِ .

Imam Syafii memakruhkan membaca kalimat ini dalam adzan subuh. Tapi pendapat yang lebih kuat dalam Mazhab Syafiiyyah, hal ini adalah sunnah. Imam Al Baghawi, salah seorang ulama Syafiiyyah menulis : 

والتثويب سنَّة في أذان الصُّبح؛ وهو أن يقول بعد الفراغ من الحيعلتين: الصَّلاةُ خَيْرٌ مِّنَ النَّوْمِ مرتين.

وكرهه في الجديد؛ لأن أبا محذورة لم يحكه. فمن أصحابنا من جعله على قولين. والصحيح: أنه سنةٌ قولاً واحداً. روي ذلك عن عمر، وابن عمر، وبه قال ابن المبارك، وأحمد. والشافعي إنما كرهه في الجديد؛ لأنه لم يبلغه عن أبي محذورة، وقد ثبت عن أبي محذورة؛ أن رسول الله- صلى الله عليه وسلم- قال له: "فإن كان صلاة الصُّبح، قلت: الصلاة خيرٌ من النوم، الصلاة خير من النوم، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله".

“Tatswib itu sunnah dalam adzan subuh, yaitu membaca الصَّلاةُ خَيْرٌ مِّنَ النَّوْمِ dua kali setelah hay’alatain. Imam Syafii memakruhkan ini dalam qaul jadid, karena Abu Mahdzurah tidak ada menyebutkan lafaz ini. Sebagian ulama Syafiiyyah ada yang menjadikan hal ini dua pendapatnya. Tapi yang benar adalah tatswib tetap sunnah. Ini sudah disepakati. Ini diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Umar. 

Ini juga pendapat Ibnu al-Mubarak dan Ahmad. Imam Syafii memakruhkannya dalam qaul jadid-nya karena hadits Abu Mahdzurah (mengenai lafaz ini) tidak sampai kepadanya. Padahal ada hadits yang kuat dari Abu Mahdzurah, Rasulullah Saw bersabda padanya: “Kalau (adzan) shalat subuh ucapkanlah: الصلاة خيرٌ من النوم، الصلاة خير من النوم، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله.”  

Di bagian akhir penjelasan, sang ustadz melantukan lafaz adzan Abu Mahdzurah. Entah khilaf atau memang demikian yang beliau tahu, adzan Abu Mahdzurah yang ia lantunkan berbeda dengan adzan Abu Mahdzurah yang ada di berbagai riwayat dan yang juga digunakan banyak muazin bermazhab Syafiiyyah. 

Dalam lantunan sang ustadz, kalimat takbir di awal adzan dibacanya sebanyak 8 (delapan) kali. Sementara dalam riwayat yang sahih, dalam adzan Abu Mahdzurah, takbir di awal hanya empat kali (dalam riwayat Abu Dawud) atau dua kali (dalam riwayat Muslim). 

 

Adapun yang sampai delapan kali seperti yang dilantunkan sang ustadz, bukanlah adzan Abu Mahdzurah (أبو محذورة), melainkan adzan Mahdhur (محظور) .  

 
Berita Terpopuler