Studi, Deddy Corbuzier, dan Narasi Herd Immunity

Apa yang terjadi pada Deddy Corbuzier membuktikan Covid-19 masih misteri.

Deddy Corbuzier (foto ilustrasi)
Red: Joko Sadewo

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Hampir semua studi akhir-akhir ini menemukan penurunan kemampuan vaksin Covid-19 melindungi penerimanya. Variabel yang mempengaruhinya disebut tidak tunggal. Bisa karena sebab waktu atau varian baru. Penelitian kini juga pasti masih terus berlanjut di berbagai belahan dunia.

Memang masih banyak misteri soal virus korona dan segala derivasinya. Tetapi penurunan efektivitas vaksin adalah fakta ilmiah. Kenyataan ini yang memunculkan nalar skeptis di sebagian kelompok orang. Jika sudah vaksin tapi tetap terinfeksi, untuk apa divaksin? Jika dengan vaksinasi masih diharuskan memakai masker, lalu gunanya apa? Dan seterusnya, dan selanjutnya.

Ketika vaksin mulai diberikan setelah hampir satu tahun pandemi melanda Tanah Air, harapan untuk segera keluar dari lorong gelap pandemi memang sangat besar. Saat itu, suasana psikologis kita sudah sangat jenuh dengan segala pembatasan sebagai konsekuensi dari upaya penghentian penularan.

Wajar jika ekspektasi terhadap vaksin begitu tinggi. Tetapi setiap ekspektasi tinggi pasti akan melahirkan kekecewaan jika kenyataannya tidak sesuai. Apa yang terjadi hari ini adalah akumulasi dari harapan-harapan yang tak sampai itu.

Vaksinasi sudah jalan tujuh bulan. Tapi kasus Covid-19 secara eksponensial justru meroket hebat pada Juni-Juli lalu atau setahun lebih sejak kasus pertama Covid-19 di Tanah Air. Kita sudah kehilangan banyak hal, baik secara sosial, maupun individu di mana beberapa di antara kita harus melepas kepergian orang-orang terkasih.

Riset keampuhan

Kita kembali ke penelitian soal efektivitas vaksin. Hasil studi Mayo Clinic, efektivitas vaksin Moderna disebut lebih tinggi dalam melawan varian Delta dibandingkan Pfizer. Tetapi pada penelitian pertama yang dilakukan pada 50 ribu pasien di Mayo Clinic Health System ini, ditemukan kedua vaksin tersebut mengalami penurunan efektivitas.

Dari riset itu, vaksin Moderna memiliki kadar efektivitas 76 persen pada Juli lalu, atau terjadi penurunan efektivitas sebesar 10 persen dibandingkan pada awal tahun 2021 yang mencapai 86 persen. Sedangkan untuk efektivitas vaksin Pfizer hanya mencapai 42 persen saja. Angka efektivitas ini juga menurun 34 persen pada periode yang sama.

Tetapi yang perlu dicatat dalam riset itu adalah, keduanya sangat efektif dalam mencegah perburukan gejala. Bahasa sederhananya begini, mereka yang divaksin Moderna maupun Pfizer, sangat mungkin terpapar Covid-19, varian apapun. Tetapi kedua vaksin itu mampu mencegah penerimanya untuk tidak sampai mengalami gejala berat saat terinfeksi Covid-19.

Moderna dan Pfizer adalah dua jenis vaksin yang baru saja tiba di Indonesia dan akan diberikan ke masyarakat secara gratis sebagaimana Sinovac. Lantas bagaimana dengan Sinovac, merk vaksin yang paling banyak diberikan kepada masyarakat di Indonesia?

Sinovac kita ketahui vaksin berplatform inaktivasi. Berbeda dengan Moderna maupun Pfizer yang berplatform m-RNA. Tapi namanya vaksin, substansinya tak beda. Semua merangsang antibodi untuk....

Sinovac kita ketahui vaksin berplatform inaktivasi. Berbeda dengan Moderna maupun Pfizer yang berplatform m-RNA. Tapi namanya vaksin, substansinya tak beda. Semua merangsang antibodi untuk bisa mengenali Covid-19, dan menghajarnya jika sewaktu-waktu virus yang sesungguhnya masuk ke tubuh. Saat uji klinis, vaksin dari China ini kita ketahui efikasinya lebih rendah dari yang lain, baik Pfizer, Moderna, atau AstraZeneca.

Tetapi ada riset menarik soal Sinovac ini, atau secara lebih umum vaksin berplatform inaktivasi. Dalam jurnal Efficacy of Inactivated SARS-CoV-2 Vaccines Against the Delta Variant Infection in Guangzhou: A Test-Negative Case-Control Real-World Study, vaksin virus inaktif terbukti efektif terhadap varian Delta. Vaksin mencegah, 59 persen Covid-19 bergejala, 70,2 persen Covid-19 bergejala sedang, dan 100 persen Covid-19 bergejala berat.

Kemudian penelitian kedua di jurnal Effectiveness of Inactivated COVID-19 Vaccines Against COVID-19 Pneumonia and Severe Illness Caused by the B.1.617.2 (Delta) Variant: Evidence from an Outbreak in Guangdong, China. Studi ini menyebut, 69,5 persen vaksin virus inaktif mencegah pneumonia karena Covid-19 dan 100 persen mencegah Covid-19 bergejala berat.

Evaluasi efektivitas vaksin Covid-19 juga dilakukan Kemenkes. Hasilnya membuktikan vaksin mampu menurunkan risiko terinfeksi Covid-19 dan mengurangi perawatan serta kematian bagi tenaga kesehatan (nakes). Jumlah nakes yang telah divaksinasi lengkap yang harus dirawat jauh lebih rendah dibandingkan mereka yang belum divaksinasi.

Kita tahu nakes sebagian besar mendapat vaksin Sinovac untuk dua dosis. Riset ini dilakukan sebelum nakes menerima dosis ketiga atau penguat (booster) menggunakan Moderna.

Jalan ikhtiar

Beberapa hasil studi itu bisa jadi pegangan kita semua, setidaknya untuk sampai saat ini, hingga ada studi lagi yang menemukan bukti-bukti ilmiah yang lebih kuat dan lebih komprehensif. Maka sekarang menurut saya perdebatannya bukan lagi soal vaksin mana yang persentasenya lebih besar melindungi kita dari paparan Covid-19, apalagi perlu atau tidaknya divaksin.

Vaksinasi adalah salah satu dari sekian banyak ikhtiar memerangi pandemi. Gagal pun kita tak rugi, apalagi jika berhasil. SARS-CoV-2 atau virus penyebab Covid-19 memang masih banyak yang tidak diketahui manusia, seperti yang saya sebut di awal. Itulah mengapa setiap ikhtiar menjadi penting di tengah tidak adanya jaminan kepastian hasil.

Apa yang terjadi pada Deddy Corbuzier adalah satu dari sekian deretan legitimasi betapa Covid-19 ini masih diselimuti misteri. Teori tentang imunitas tubuh yang prima bisa dengan gampang melawan virus seolah batal begitu saja, setidaknya di kasus ini.

Oke, jika kemudian dibilang pola hidup sehatnya, konsumsi vitaminnya, asupan makanannya, itu membantunya melawan badai sitokin. Tapi, kenapa Deddy Corbuzier sampai mengalami badai sitokin, bahkan ketika sudah dinyatakan negatif Covid-19, juga menjadi tanda tanya besar yang belum menemu jawaban pasti.

Saya tak bermaksud mengaitkan atau bahkan menyimpulkan apa yang dialami Deddy berkelindan dengan vaksinasi. Saya tidak tahu apakah Deddy sudah divaksin Covid-19 atau belum. Saya hanya ingin bilang bahwa sampai saat ini masih banyak celah yang tak diketahui manusia secara pasti terkait Covid-19.

Karena bukan hanya tidak salah, tetapi fakta ilmiah pula bahwa kebugaran dan pola hidup sehat adalah senjata ampuh untuk berperang jika kita terpapar Covid-19. Namun sekali lagi, Covid-19 masih menyimpan banyak rahasianya.

Herd immunity

Lonjakan curam pada Juni lalu hingga mencapai puncak di pertengahan Juli belum diketahui penyebabnya. Setidaknya pemerintah belum menyebutkannya secara terbuka, selain menyatakan kendurnya penerapan prokes oleh masyarakat. Sangat mungkin benar. Tapi saya meyakini, sebab dari sebuah kejadian, apapun itu, tidak pernah tunggal.

Jangan juga lupa, cakupan vaksinasi kita masih rendah....

Jangan juga lupa, cakupan vaksinasi kita masih rendah. Per Senin (23/8) pukul 18.00 WIB, capaian vaksinasi kita masih sekitar 58 juta orang dari 208 juta sasaran. Itu dosis pertama. Sedangkan yang telah menerima dosis lengkap 32 juta orang atau baru 15 persen dari total sasaran. Jadi, tidak seharusnya asa kita pupus dengan terjadinya outbreak pada Juni-Juli lalu. Karena saat itu cakupan vaksinasi kita memang masih rendah. Harapan pada vaksin belum sepenuhnya gugur.

Maka mengejar cakupan vaksinasi sebanyak-banyaknya adalah keharusan yang musti disegerakan. Mengapa? Karena vaksinasi sejauh ini membuktikan mampu menurunkan risiko sebagian besar orang yang telah menerimanya dari kemungkinan gejala berat.

Pertanyaan selanjutnya adalah ‘sebanyak-banyaknya’ itu berapa. Target awal cakupan 208 juta diharapkan sudah bisa membentuk herd immunity. Dengan hitungan itu, orang yang belum atau tidak memungkinkan divaksinasi bisa terlindungi dari paparan Covid-19 dengan mayoritas populasi telah divaksin atau memiliki kekebalan.

Tetapi ada beberapa variabel yang mempengaruhi hitungan tercapainya herd immunity. Salah satunya adalah efektivitas vaksin. Turunnya efektivitas vaksin dalam beberapa penelitian harusnya mempengaruhi hitung-hitungan itu semua. Beberapa peneliti mengkhawatirkan ini.

Faktanya memang ada yang masih tetap terinfeksi meski telah menerima dosis lengkap, meski gejalanya tidak berat. Ada juga yang mengalami reinfeksi. Herd immunity jadi agak goyah dengan fakta-fakta tentang vaksin dan Covid-19 yang sangat dinamis ini.

Saya pribadi mengusulkan bukan narasi herd immunity yang berada di depan untuk meyakinkan pentingnya vaksinasi. Tetapi edukasi tentang perlunya vaksin bagi perlindungan individu. Sekali lagi, tentang vaksin dan proteksi terhadap individu. Artinya, setiap orang butuh dan perlu untuk divaksin.

Maka, ‘sebanyak-banyaknya’ bisa berarti semua warga, kecuali yang tidak memungkinkan secara medis. Bagaimana dengan mereka yang berkukuh tidak mau divaksin dengan berbagai alasan? Tinggalkan saja.

Tugas pemerintah adalah memberikan vaksin bagi siapa saja yang mau dan memenuhi syarat secara medis. Masih banyak sekali yang mau dan menunggu mendapat jatah vaksin dibandingkan mereka yang enggan. Kewajiban pemerintah adalah memberikan hak-hak kepada mereka yang menunggu itu. Tidak ada pilihan lain bagi kita saat ini. Geber vaksinasi sekencang-kencangnya.

Dan yang musti kita ingat adalah bahwa semuanya itu ada di wilayah ikhtiar. Tapi memang begitulah perintah Tuhan kepada kita. Semoga ikhtiar kita diridhoi-Nya.

 
Berita Terpopuler