AS tak Dapat Injak Kaki di Asia Tengah Saat Taliban Bangkit

Rusia dan China yang sebelumnya membantu AS di Asia Tengah tak lagi sejalan.

Euromaidan Press
Bendera Rusia dan Amerika Serikat.
Rep: Lintar Satria Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pengamat menilai militer Amerika Serikat (AS) tidak mungkin menginjakkan kaki di negara-negara Asia Tengah yang berbatasan dengan Afghanistan. Hal itu karena pemerintah dan tetangga adidaya mereka Rusia dan China sudah siap dengan kekuasaan Taliban.

Baca Juga

Ketika pasukan AS menginvasi dan menggulingkan kekuasaan Taliban di Afghanistan pada tahun 2001 lalu, AS sempat mendirikan pangkalan sementara di Uzbekistan yang tutup pada 2005 dan di Kyrgyzstan yang tutup pada 2014. Kehadiran militer AS dibantu Rusia dan China untuk membantu misi Washington dan NATO.

Dua puluh tahun kemudian sikap Rusia dan China pada Afghanistan tidak lagi sejalan dengan kepentingan strategis AS. Pakar Asia Tengah di University of Pittsburgh, Jennifer Brick Murtazashvili, mengatakan dua negara besar tidak bersedia ada militer AS di halaman belakang mereka.

"Anda dapat katakan Rusia mengizinkan AS untuk mendirikan pangkalan militer di Asia Tengah, saat perang berjalan, Rusia dan China frustasi langkah ini tidak bekerja dalam memerangi terorisme," kata Murtazashvili, dikutip Aljazirah, Selasa (24/8).

Saat kawasan Asia Tengah siap dengan mundurnya AS, Moskow terus meningkatkan pengaruh militer dan ekonomi di bekas negara-negara Uni Soviet. Hal itu terutama dengan Tajikistan dan Uzbekistan yang berada di tengah serta Turkmenistan yang berbatasan langsung dengan Afghanistan.

Dalam pertemuan daring Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) Senin (23/8) kemarin Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Kazakhstan yang mengikuti pertemuan ini, penting menahan tumpahnya 'Islam radikal' dari Afghanistan. Kelompok itu sepakat membentuk aksi gabungan terkoordinasi mengenai Afghanistan.

Sementara, Beijing memupuk pengaruh finansial di Asia Tengah melalui pinjaman dan Belt and Road Initiative yang mendorong Tajikistan dan Kyrgyzstan berutang sangat banyak. Sudah lama China khawatir gejolak di Afghanistan dan Asia Tengah dapat merembet ke wilayah bagian barat lautnya.

Baca juga : Taliban Berhadapan dengan Pasukan Massoud di Panjshir

 

Pengaruh Rusia dan China terlihat jelas saat Taliban menyapu Afghanistan pada awal Agustus lalu. Rusia menjadi tuan rumah latihan militer skala besar Uzbekistan dan Tajikistan di perbatasannya dengan Afghanistan. China menggelar latihan bersama 'anti-terorisme' dengan Tajikistan.

Menurut pengamat, Beijing mendirikan pangkalan militer di Tajikistan. AS sendiri mulai mengerjakan kembali operasi kontra-terorisme setelah semua pasukannya ditarik dari Afghanistan pada 31 Agustus mendatang.  

Pejabat pertahanan AS memperingatkan walaupun kapabilitas yang disebut 'over-the-horizon' tetap dipertahankan tapi ruang gerak mereka tetap terbatas. Setelah Taliban menggelar serangan yang sangat cepat, AS tidak mengumumkan perjanjian keamanan baru dengan negara-negara tetangga Afghanistan.

"Opsi yang sekarang dari negara-negara (Teluk) Persia dan penerbangannya ke Afghanistan sangat panjang, maka bukan cara yang paling cepat dalam melakukan serangan kontra teroris," kata mantan Duta Besar AS untuk Kazakhstan, Willam Courtney.

"Hal itu dapat dilakukan, tapi dapat dilakukan lebih efektif bila dilakukan dari Kyrgyzstan atau Uzbekistan," kata Courtney yang saat ini peneliti senior di lembaga think tank RAND Corporation.

Peneliti Foreign Policy Research Institute di Bishkek, Kyrgyzstan, Niva Yau mengatakan pesan dari Rusia dan China semakin menekankan keinginan mengatasi masalah keamanan dari Afghanistan melalui 'kawasan'. Hal itu terutama melalui CSTO dan Shanghai Cooperation Organization (SCO) kelompok yang didirikan China, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Uzbekistan pada 2001.

"Yang artinya (pendekatan mereka) tidak melibatkan Amerika Serikat atau intervensi asing lainnya," kata Yau.

Pada Kamis (18/8) lalu, the Wall Street Journal melaporkan Putin menolak kemungkinan kehadiran militer AS di sepanjang perbatasan utara Afghanistan. Hal itu disampaikan dalam pertemuan dengan Biden di Jenewa bulan Juni lalu.

"Kami tidak melihat bagaimana kehadiran militer AS dalam berbagai bentuk di Asia Tengah dapat memperkuat keamanan negara-negara yang terlibat atau/dan tetangga mereka, jelas itu bukan kepentingan Rusia," kata Deputi Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabko pada surat kabar itu.

"Posisi ini tidak berubah dengan latar belakang apa yang terjadi di Afghanistan baru-baru ini," ujarnya.

 
Berita Terpopuler