Pelayanan Masyarakat Hukuman Baru untuk warga Palestina

Warga Palestina dipaksa bekerja selama berbulan-bulan tanpa dibayar

Warga Palestina dipaksa bekerja selama berbulan-bulan tanpa dibayar.
Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM - Mohammed Abu Qwider, 23, seorang penduduk Yerusalem, sedang duduk di antara penonton merayakan kelulusan teman-temannya. Meskipun dia seharusnya berada di atas panggung bersama mereka, otoritas Israel merampas kehormatannya.

Baca Juga

Pada 26 Desember 2017, Abu Qwider ditahan oleh pasukan Israel selama penggerebekan di rumahnya. Dia diinterogasi selama 15 hari di pusat interogasi Al Maskobya di Yerusalem sebelum dia dibebaskan oleh Pengadilan Magistrate dengan pembebasan bersyarat.

Dia ditempatkan di bawah tahanan rumah selama 15 hari sampai dimulainya persidangannya. “Setelah satu tahun persidangan, saya didakwa dengan penghasutan melalui media sosial dan keanggotaan dalam organisasi terlarang,” kata Abu Qwider kepada Anadolu Agency.

Pada 29 Desember 2021, pemuda Palestina itu dijatuhi hukuman enam bulan pelayanan masyarakat. "Saya dijatuhi hukuman untuk melayani masyarakat selama enam bulan tanpa pembayaran finansial. Saya mulai menjalani hukuman saya sejak Januari 2021 untuk jangka waktu enam bulan," ungkap Abu Qwider.

Pemuda Palestina itu menjalani hukumannya di Rumah Sakit Hadassah di lingkungan Al-Esawiyah, Yerusalem, selama delapan jam sehari/lima hari seminggu.

Di bawah pengawasan

Setiap pagi, Abu Qwider, yang juga mahasiswa sosiologi di Universitas Birziet, pergi ke rumah sakit, mengenakan kaus biru yang dikenakan oleh pekerja layanan masyarakat, untuk menjalani hukumannya di dapur rumah sakit. "Pekerjaan saya adalah memotong sayuran di dapur dan membagikannya kepada dokter dan perawat," ujar dia.

Begitu dia tiba di dalam dapur rumah sakit, Abu Qwider dilarang pergi ke mana pun, berhubungan dengan pengunjung atau pergi sebelum waktu kerja berakhir, tidak peduli apa pun alasannya.

"Hari libur Yahudi adalah hari libur resmi, tetapi ini tidak dihitung untuk saya selama hukuman. Saya harus mengganti hari libur ini pada hari kerja resmi, dan ini menyebabkan perpanjangan masa hukuman," kata Abu Qwider.

Sebelum menjalani hukumannya, Abu Qwider dipanggil ke penjara Eshel di Gurun Negev, di mana petugas intelijen yang bertanggung jawab atas arsipnya memperingatkan bahwa dia akan diawasi sepanjang waktu. "Petugas itu biasa datang ke rumah sakit setiap dua hari untuk melihat apakah saya berkomitmen pada hukuman pelayanan masyarakat," jelas dia.

Hukuman tersebut berdampak negatif pada kemajuan akademik Abu Qwider, memaksanya untuk keluar dari universitas karena dia tidak bisa menyesuaikan hukuman di rumah sakit dengan pekerjaan malamnya di sebuah restoran di Yerusalem.

Abu Qwider biasa menulis postingan setiap hari, menghitung sisa hari hukumannya. Pada pagi hari tanggal 7 Juli, teman-temannya merayakannya dengan menulis “175”, hari terakhir hukumannya.

Penghinaan

Pengadilan Israel menganggap pelayanan masyarakat sebagai alternatif untuk pemenjaraan.

“Pendudukan Israel berusaha menciptakan tenaga kerja gratis untuk institusinya, tanpa harus membayar upah. Jenis hukuman ini adalah metode untuk mengurangi biaya keuangan yang harus dibayar oleh pendudukan jika orang tersebut ditahan di penjara,” ungkap Abu Qwider.

Khaled Zabarqah, seorang pengacara, berpendapat bahwa hukuman Israel seperti itu bertujuan untuk menekan dan mempermalukan warga Palestina. “Praktik-praktik ini, yang tampaknya legal, sebenarnya merupakan serangan tambahan terhadap hak-hak pribadi dan publik Palestina di Yerusalem,” tegas Zabarqah.

“Dalam protes apa pun, pengunjuk rasa Palestina menjadi sasaran penuntutan, meskipun protes adalah hak yang dijamin oleh hukum untuk setiap manusia di dunia,” tambah dia.

Menurut estimasi Palestina, pada 2018, lebih dari 2.500 warga Palestina di Yerusalem dan kota-kota Arab di dalam Israel dijatuhi hukuman pelayanan masyarakat.

 
Berita Terpopuler