Apakah Varian Delta Buat Herd Immunity Jadi Mustahil?

Delta yang sangat mudah menular berpotensi menurunkan efektivitas vaksin Covid-19.

Pixabay
Virus Covid-19 (ilustrasi)
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Cakupan vaksinasi yang luas diharapkan dapat membentuk herd immunity atau kekebalan kelompok terhadap Covid-19. Namun, keberadaan varian delta yang mudah menular dinilai menjadi hambatan besar dalam terwujudnya harapan tersebut.

Kekhawatiran ini diungkapkan oleh Kepala Oxford Vaccine Group Prof Andrew Pollard. Prof Pollard mengatakan kekebalan kelompok tidak mungkin terjadi di tengah merebaknya varian delta. Beberapa ilmuwan juga menilai varian delta yang sangat mudah menular berpotensi menurunkan efektivitas vaksin-vaksin Covid-19.

Baca Juga

Pernyataan tersebut sejalan dengan data terbaru dari studi Real-time Assessment of Community Transmission 1 (REACT 1). Studi tersebut menunjukkan bahwa vaksin-vaksin Covid-19 saat ini hanya memiliki efektivitas sebesar 49 persen dalam melawan SARS-CoV-2 varian delta. Temuan ini telah dipublikasikan dalam bentuk pracetak sebelum memasuki tahap peninjauan sejawat.

Studi REACT 1 ini melakukan pengetesan Covid-19 acak terhadap sekitar 150 ribu orang di Inggris. Dari pengetesan tersebut, peneliti mendapati bahwa varian delta sudah mendominasi kasus Covid-19 dan telah menurunkan efektivitas vaksin Covid-19 menjadi 49 persen.

Temuan ini yang membuat Prof Pollard menilai bahwa pembentukan kekebalan kelompok tak bisa terjadi di tengah merebaknya varian delta. Bila Covid-19 masih bisa mengenai sejumlah besar orang yang sudah divaksinasi lengkap, maka mereka yang tidak memiliki imunitas atau belum divaksinasi akan rentan terhadap infeksi.

"Itu berarti bahwa siapa pun yang masih belum divaksinasi, pada suatu titik akan bertemu virus (SARS-CoV-2) ini. Dan kita tak memiliki apa pun yang akan menghentikan transmisi tersebut sepenuhnya," kata Prof Pollard, seperti dilansir Medical News Today.

Kekebalan kelompok itu terjadi ketika sebagian besar orang dalam sebuah populasi telah memiliki imunitas terhadap suatu penyakit menular. Kondisi tersebut akan membuat orang-orang yang belum memiliki imunitas dalam populasi tersebut ikut terlindungi secara tidak langsung dari risiko penularan penyakit.

Cakupan vaksinasi yang luas dapat mendorong terjadinya kekebalan kelompok. Akan tetapi, kekebalan kelompok untuk tiap penyakit membutuhkan cakupan vaksinasi yang berbeda.

Sebagai contoh, kekebalan kelompok untuk penyakit campak akan tercipta bila cakupan vaksinasi mencapai 95 persen di dalam sebuah populasi. Sedangkan untuk menciptakan kekebalan kelompok terhadap polio, cakupan vaksinasi yang dibutuhkan adalah sekitar 80 persen. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), belum diketahui seberapa besar cakupan vaksinasi yang dibutuhkan untuk menciptakan kekebalan kelompok terhadap Covid-19.

Prof Pamela Vallely dari divisi infesksi, imunitas, dan kedokteran paru di University of Manchester setuju dengan pendapat Prof Pollard bahwa kekebalan kelompok saat ini tidaklah memungkinkan. Prof Vallely mengatakan vaksin saat ini tidak menghentikan transmisi dari varian Delta.

"(Dan varian-varian lain) kemungkinan akan muncul selama kita masih memiliki banyak replikasi virus yang terjadi di seluruh dunia," ungkap Prof Vallely.

Terlepas dari itu, para ahli menilai situasi saat ini masih memiliki harapan. Meski mengalami sedikit penurunan akibat varian Delta, efektivitas yang dimiliki vaksin-vaksin Covid-19 masih cukup tinggi untuk memberikan tingkat perlindungan yang baik dari risiko sakit Covid-19 bergejala atau dengan tingkat keparahan berat.

Hal ini sejalan dengan laporan REACT 1 yang menunjukkan bahwa mayoritas pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit adalah individu-individu yang tidak divaksinasi. Selain itu, sebagian besar pasien Covid-19 yang sudah divaksinasi tidak mengalami konsekuensi yang berat.

"Meskipun (SARS-CoV-2) tampak masih bisa menginfeksi dan mereplikasi diri pada sebagian orang yang sudah divaksinasi, sebagian besar dari mereka tidak menjadi sakit, atau hanya sakit ringan," pungkas Prof Vallely.

 
Berita Terpopuler