KH Idris Kamali Penerus Dakwah Sang Hadratussyekh (I)

Kiai Kamali merupakan salah satu simpul dalam jejaring ulama nusantara di Haramain.

Antara/Syaiful Arif
Warga beraktivitas di areal Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asy
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Nama lengkapnya adalah KH Idris bin Kamali bin Abdul Jalil Assyarbuni. Ia merupakan anak pertama dari pasangan KH Kamali bin Kiai Abdul Jalil dan Nyai Saudah. Ketika Idris lahir, keduanya sedang berada di Tanah Suci Makkah al-Mukarramah pada 1887.

Baca Juga

Kiai Kamali merupakan salah satu simpul dalam jejaring ulama nusantara di Haramain. Sang alim asal Cirebon, Jawa Barat, itu memiliki keahlian dalam ilmu qiraat dan falak. Tidak hanya menuntut ilmu, ayahanda Kiai Idris itu juga mengajar di Masjidil Haram.

Sementara itu, Kiai Abdul Jalil, yakni kakeknya, juga termasuk ulama besar. Meskipun berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah, kiprahnya di Cirebon cukup besar, termasuk dalam mendirikan sebuah pesantren setempat.

Bila dirunut konteks zamannya, Kiai Idris cukup sebaya dengan sejumlah ulama besar asal Indonesia yang berkarier di Tanah Suci. Sebut saja Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897), Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), dan Syekh Muhammad Mahfuzh at-Tarmasi (1842- 1920).

Seorang muridnya, Prof KH Tholhah Hasan, pernah mengungkapkan bahwa Kiai Idris selevel dengan Syekh Muhammad Yasin al-Fadani (1916- 1990), seorang ulama berdarah Minangkabau yang lahir di Makkah. Sebab, keduanya dinilai sama- sama ahli sanad hadis.

 

 

Rihlah keilmuan Idris bin Kamali tidak bermula di kota tempatnya dilahirkan, Makkah. Sebab, kedua orang tuanya kembali ke Tanah Air pada 1908. Di Cirebon, ia memperoleh pendidikan langsung dari ayahnya. Selain itu, ia juga belajar di Pondok Pesantren APIK Kaliwungu, Kendal. Lem baga itu diasuh seorang sahabat Kiai Kamali tatkala masih merantau di Tanah Suci, yakni KH Irfan Musa.

Setelah beberapa tahun nyantri di Kaliwungu, Idris muda kemudian dipercaya Kiai Irfan sebagai lurah pondok pertama pada 1919. Sebab, Kiai Irfan sudah menemukan tanda-tanda kealiman dalam diri santrinya itu. Di pesantren pertamanya tersebut, Idris remaja belajar menghafal Alquran. Selain itu, dirinya juga mendalami ilmu hadis, khususnya perihal sanad, selama tiga tahun.

Dari Kaliwungu, Idris kemudian meneruskan pendidikan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Inilah untuk pertama kalinya ia mendapatkan pola pengajaran langsung dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Di Tebuireng, Idris memperdalam pengetahuannya terutama tentang ilmu hadis. Inilah kesempatan baginya.Sebab, sosok Mbah Hasyim begitu masyhur sebagai seorang pakar hadis di seluruh Tanah Jawa.

Selama menjadi santri, pemuda asal Cirebon itu semakin gemar membaca. Ada banyak kitab yang menjadi koleksinya. Bahkan, buku-buku tersebut hingga kini masih tersimpan di perpustakaan Pondok Pesantren Tebuireng dan sering menjadi rujukan dalam bahtsul masaildi ling kungan Nahdliyin. Di bawah bimbingan Mbah Hasyim, ia mengkaji dan menghafal berbagai kitab beserta dengan penjelasan ( syarah) masing-masing. Sebagai contoh, kitab fikih Al-Ghayah wat-Taqrib dan kitab ilmu nahwu Mutammimah.

 

 

Badal Mbah Hasyim

Beberapa tahun kemudian, Idris mendapatkan kabar bahwa dirinya dapat berangkat ke Makkah untuk menunaikan haji sekaligus melanjutkan rihlah keilmuan. Sebelum pergi ke Tanah Suci, ia sempat mengajar di Tebuireng hingga beberapa waktu lamanya. Baginya, pekerjaan itu adalah sebuah kewajiban yang mesti ditunaikannya sebagai bentuk takzim kepada Mbah Hasyim, gurunya yang telah mengajarkan banyak ilmu agama.

Sejak masih berusia anak-anak di Cirebon, dirinya terbiasa menghafalkan Alquran 30 juz. Di samping itu, kebiasaannya tidak pernah lalai dalam menjalankan ibadah, baik sunah maupun wajib.Selain itu, berbagai riyadhah atau latihan spiritual pun ditekuninya setiap malam. Pada siang hari, puasa sunah rutin diamalkannya. Maka, tak heran bila Mbah Hasyim menaruh kesan mendalam terhadap santrinya itu.

Hingga suatu hari, kakek Presiden Keempat RI KH Abdurrrahman Wahid atau Gus Dur itu memanggilnya. Idris kemudian ditunjuk sebagai asisten atau badal Mbah Hasyim dalam mengajar beberapa kitab di Tebuireng. Sejak itulah perannya sebagai pengajar mulai tampak. Banyak santri yang mengaguminya sebagai keteladanan dalam menuntut ilmu.

Ternyata penghargaan Mbah Hasyim tak berhenti sampai di sana. Idris lantas diangkat sebagai menantu. Ia menikah dengan putri keempat Mbah Hasyim yang bernama Nyai Azzah pada akhir 1920-an. Dari pernikahan ini, pasangan tersebut dikaruniai seorang putra bernama Abdul Haq yang lahir pada 1929.

Begitu besar rasa cinta dan sayangnya untuk sang istri. Nyai Azzah meninggal dunia dalam usia yang terbilang masih muda. Sejak itu, Kiai Idris tidak berniat untuk menikah lagi. Kasih sayang yang besar juga dicurahkannya untuk Abdul Haq, putra semata wayangnya.

 

 

Sebagai pengajar di Tebuireng, Kiai Idris lebih senang mengumpulkan para muridnya di masjid daripada madrasah. Alasannya, dirinya ingin mendapatkan dua pahala sekaligus dari ibadah yang ber beda, yakni iktikaf dan mengajar. Adapun metode yang sering digunakannya ialah sorogan. Para santri membaca kitab di hadapannya. Jika terdapat kesalahan, Kiai Idris akan mengoreksinya secara langsung.

Metode sorogan sangat efektif di pesantren.Sebab, cara demikian bisa membuat para santri lebih terampil dalam membaca kitab-kitab klasik. Tidak hanya mengajari para santri agar piawai dalam membaca kitab, Kiai Idris juga mengajak mereka untuk melaksanakan pelbagai amalan sunah, seperti puasa Senin-Kamis atau shalat malam.

Selama di Tebuireng, Kiai Idris juga mempunyai kebiasaan unik. Ia senang memelihara hewan ternak, seperti sapi atau kambing. Hobi tersebut dilakukannya bukan untuk mencari kekayaan, melainkan agar dirinya dapat lebih rutin bersedekah.

Sering kali ia memberikan susu sapi perahan kepada dewan guru di lingkungan Tebuireng. Bahkan, ketika cucu Mbah Hasyim, Gus Dur, hendak menikah, Kiai Idris memberikan beberapa ekor kambingnya untuk acara walimah.

Ada beberapa cerita yang berkembang di lingkungan Tebuireng. Salah satunya ialah keberkahan Kiai Idris. Karena itu, masyarakat setempat umum nya membiarkan hewan-hewan ternak peliharaan sang kiai untuk memakan tanaman miliknya.

 

 

Sesungguhnya Kiai Idris tidak hanya aktif di Tebuireng, tetapi juga beberapa pesantren lainnya di Jawa pada 1940-an. Misalnya, Pesantren Kaliwungu di Kendal atau Pesantren Kempek Cirebon.Dalam menjalankan tugasnya sebagai guru, ia pun turut berjuang.

Demi menghindari kejaran polisi intel Belanda, mubaligh ini kerap menempuh jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang mengajar.Sebab, dirinya memang sering menggelorakan semangat jihad melawan penjajahan kepada para santrinya.

Kiai Idris menjadi pengajar tetap di Tebuireng antara 1953 dan 1973. Sesuai dengan wasiat Mbah Hasyim, dirinya pun mempertahankan sistem salaf atau ngaji sorogan di sana sebagai metode pembelajaran kepada para santri. Hingga akhirnya, ia diperbolehkan keluarga pengasuh pondok pesantren itu untuk berangkat ke Tanah Suci. 

Pada 1981, ulama yang tawaduk itu menuntaskan rihlah keilmuannya di Haramain. Alih-alih Tebuireng, kali ini dirinya mengamalkan ilmu di tempat asal keluarganya, Cirebon. Di sanalah Kiai Idris terus berkiprah hingga ajal menjemputnya pada Juli 1984. Dai tersebut wafat dalam usia lebih dari 90 tahun. Jenazahnya dikebumikan di kompleks permakaman keluarga di area Pondok Pesantren Kempek, Cirebon.

Dalam sebuah artikel, seorang muridnya Prof KH Tholhah Hasan memberikan kesaksian. Menurut dia, ketokohan sang guru dapat disandingkan dengan KH Adlan Aly, yang juga murid langsung Mbah Hasyim Asy'ari. "Di Tebuireng itu, ada dua penghuni surga: Kiai Idris Kamali dan Kiai Adlan Aly. Beliau berdua sama- sama alim, wara, zuhud, "ujar menteri agama RI periode 1999-2001 itu.

Sementara, Ketua Umum PBNU Prof KH Siradj mengenang masa-masa belajarnya saat di Makkah. Dalam fase hidupnya, ulama yang juga kelahiran Cirebon, Jawa Barat, itu pernah mengaji kitab kepada Kiai Idris. Bahkan, dirinya termasuk memiliki hubungan kekerabatan dengan sang alim. Sebab, ibu kandung Kiai Said merupakan sepupu dari Kiai Idris, yaitu Afifah binti Harun bin Abdul Jalil.

 

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler