Jasa Ulama dalam Proklamasi Kemerdekaan

Sejarah mencatat peran para ulama bagi perjuangan kemerdekaan.

dok. Istimewa
Suasana proklamasi kemerdekaan di rumah Sukarno pegangsaan timur 56.
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Sejarah mencatat peran para ulama bagi perjuangan Indonesia, bahkan, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Sebut saja pembentukan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah hingga perjuangan Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) sebagai persiapan kekuatan Indonesia dalam melawan kekuatan Eropa di Perang Dunia II.

Baca Juga

Dari banyaknya catatan sejarah itu, para ulama selalu mengatasi masalah dengan mengoptimalkan sistem yang ada sesuai zamannya. Buahnya, kini, sejak 76 tahun yang lalu, Indonesia berhasil mencapai pintu kemerdekaan.

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut adalah beberapa ulama dan keturunan Rasulullah SAW yang berperan dalam mengantarkan Indonesia mencapai gerbang kemerdekaan;

 

 

 

 

Habib Kwitang 

Salah satu ulama yang berperan penting dalam proses meraih kemerdekaan adalah Habib Ali Alhabsyi (1870-1968) di Kwitang, atau yang lebih dikenal Habib Ali Kwitang. Selain berperan dalam menentukan hari dan waktu proklamasi, Habib Ali nyatanya juga menjadi tokoh penting dalam proses penyebaran Islam di Betawi.

Selama hidupnya, Habib Ali kerap berdakwah dengan ribuan jamaah. Dirinya, juga merupakan pendiri dan pimpinan pertama Majelis Taklim Habib Ali Alhabsyi

Diceritakan, sebelum proklamasi, Soekarno sempat menemui Habib Ali untuk meminta pendapat hari dan waktu yang tepat untuk membacakan naskah proklamasi yang sempat ditulisnya pada 16 Agustus 1945, tepat 76 tahun yang lalu.

 

 

Habib Husein Mutahar 

Siapa sangka, pahlawan yang menyelamatkan bendera pusaka merah putih, pendiri Pramuka Indonesia dan pencetus Paskibraka, hingga pencipta banyak lagu nasional, dari Syukur hingga Hari Merdeka, adalah seorang habib. Lahir pada 5 Agustus 1916 M, Habib Husein Muthahar dikenal dengan berbagai jasanya bagi Indonesia. 

Dari Pusat Data Republika, ajudan Soekarno yang juga berpangkat Mayor ini, sempat diminta Bung Karno untuk menyelamatkan bendera Sang Saka Merah Putih, tak lama pasca Indonesia menyatakan Proklamasinya. Diceritakan, saat itu Belanda yang masuk kembali dengan menggandeng sekutu, kemudian menangkap para pemimpin republik untuk membubarkan eksistensi Republik Indonesia.

Simbol-simbol RI lainnya seperti bendera juga dirazia dan dimusnahkan. Beberapa orang yang memakai pin merah putih saja sering diminta menelan pin yang terbuat dari logam itu jika terjaring razia Belanda. Hal itu disadari dengan baik oleh sang Mayor yang mendapat titipan Bung Karno. 

Sang Mayor pun memutar otak, bagaimana caranya membawa bendera pusaka itu keluar dari Yogya tanpa terjaring razia Belanda. Kemudian munculah ide cerdik dari Sang Mayor untuk membuka jahitan bendera dengan hati-hati, dan memisah kain merah dan putih. Lalu kain itu dilipat terpisah dan dicampur baju-baju. Maka selamatlah bendera pusaka dari razia Belanda.

Atas upayanya itu, Habib Husein diganjar gelar bintang Mahaputra atas jasanya menyelamatkan bendera Sang Saka.

 

Habib Idrus Al Jufri 

Meski dikenal luas sebagai pribadi yang nasionalis terhadap Indonesia, Habib Idrus Al Jufri nyatanya lahir di Kota Taris, Provinsi Hadramaut, Yaman Selatan pada 14 Sya'ban 1309 Hijriah atau 1889 M. Kendati demikian, dirinya memiliki darah Nusantara dari ibunya, Syarifah Nur, kerabat Aru Matoa, raja di Wajo Sengkang, Sulawesi Selatan. 

Perannya bagi Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi, dirinya adalah pengusung pertama warna bendera Sang Saka. Hingga akhirnya juga disarankan oleh Hasyim Asyari pada Muktamar NU tahun 1937 silam.

 

 

AR Baswedan 

Lahir 11 September 1908, Abdul Rahman Baswedan bisa disebut sebagai tokoh yang lengkap bagi pendirian negara Indonesia. Kakek dari Anies Baswedan ini, dikenal sebagai pahlawan nasional. Dirinya, berjasa sebagai jurnalis, diplomat hingga sastrawan Indonesia. 

Selepas keluar dari dunia jurnalistik, dirinya memutuskan untuk menempuh jalur lain, salah satunya politik. Dirinya, sempat menjabat sebagai wakil keturunan Arab di BPUPKI. Puncak karirnya, terjadi saat dia menjabat Menteri Muda Penerangan di Kabinet Sjahrir. 

“Ada masa peralihan lagi pada masa pemerintahan Bung Karno di mana saat itu A.R Baswedan menjadi tokoh penting di lingkungan keturunan Arab,” ucap Akademisi Belanda yang menekuni sejarah diaspora kaum keturunan Arab Hadrami di Indonesia, Huub de Jonge, dikutip Republika. 

Dia menjelaskan, perjuangan etnis Arab pada saat itu ada di beberapa bidang. Namun, politik menjadi sarana utamanya, terlebih menurut Huub, pendirian Persatuan Arab Indonesia (PAI) oleh A.R Baswedan yang saat itu menjabat Menteri Muda Penerangan Kabinet Sjahrir III dinilai menjadi salah satu sarana penting.

 

 

 

 

5. Habib Syarif Sultan Abdul Hamid II 

Lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913, Syarif Sultan II merupakan habib dan tokoh pahlawan nasional. Dirinya adalah putra sulung dari Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie.

Sejarah mencatat, namanya memang sempat meredup dan seakan terlupakan karena sempat divonis terlibat kudeta Westerling 1950 silam. Dikatakan berbagai sumber, dirinya sempat berupaya membunuh Menteri Pertahanan saat itu, Hamengku Buwono IX.

Namun demikian, beberapa dekade setelahnya, narasi menjadi berubah dan namanya kembali dikenang sebagai salah satu pahlawan. Hal itu, mengingat jasa dari Sultan Abdul Hamid II sebagai salah satu perancang lambang negara Indonesia, burung Garuda.

 

 
Berita Terpopuler