Mengapa Perdamaian di Afghanistan Sulit Tercapai?

Penyebab kekacauan di Afghanistan adalah kekuatan asing dan war lord.

EPA
Kelompok Taliban berada di kantor pemerintahan setelah diambil alih di Kota Herat, Afganistan, pada 13 Agustus 2021. Taliban mengklaim sudah menguasai Kandahar dan beberapa kota lainnya.
Rep: Fuji Eka Permana Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ulama-ulama dari Indonesia yang ada di Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa tahun yang lalu pernah memberikan masukan kepada Afghanistan agar tercipta perdamaian di sana. Masukan tersebut disampaikan saat dialog antara High Peace Council (HPC) Afghanistan bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Jakarta pada November 2017.

Baca Juga

Mantan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, KH Muhyiddin Junaidi, menjelaskan pandangannya perihal mengapa Afghanistan sulit meraih perdamaiannya.

Ia menerangkan, di Afghanistan terdapat lima etnis utama. Mereka punya peran yang sangat penting dalam menjaga kesatuan dan persatuan nasional Afghanistan. Selain itu, dalam catatan sejarah, Afghanistan bisa mengalahkan semua pasukan asing yang datang ke negara mereka, mulai dari Inggris, Uni Soviet dan Amerika Serikat.

"Akan tetapi, mereka (etnis-etnis di Afghanistan) punya kelemahan, yaitu tidak bisa bersatu, karena lebih mengutamakan etnis masing-masing," kata Kiai Muhyiddin saat diwawancarai Republika, Ahad (15/8).

Ia juga menerangkan bahwa Muslim di Afghanistan bermazhab Hanafi. Sementara jumlah Syiah di sana sekitar 13 persen sampai 20 persen. Tetapi kehidupan Syiah dan Sunni tidak menjadi masalah di Afghanistan.

 

 

Kiai Muhyiddin menerangkan, yang menjadi masalah dan membuat kekacauan di Afghanistan adalah kekuatan asing dan war lord. War lord adalah kelompok yang mengambil keuntungan dari peperangan dan konflik yang berkepanjangan di Afghanistan.

"Siapa war lord itu? Yaitu orang di dalam negeri dari etnis Afghanistan, warga negara Afganistan, tapi mereka menjual-belikan opium untuk kepentingan bisnis mereka. Opium dijual dengan harga murah diekspor ke mancanegara," ujarnya.

Menurutnya, para pedagang opium ini tidak mau ada perdamaian di negara mereka, karena perdamaian hanya akan merugikan bisnis mereka. Mereka juga punya jaringan mancanegara, bisa dikatakan mereka menukar opium dengan senjata.

"Senjata-senjata itu dijual-belikan lagi ke pihak-pihak yang sedang ribut (pihak yang sedang konflik di Afghanistan)," ujar Kiai Muhyiddin.

Kiai Muhyiddin mengatakan, dirinya tidak menuduh, namun ada pemain bisnis di Pakistan yang mengambil keuntungan dari konflik di Afghanistan. Sebab Pakistan biasa menyuplai 30 persen kebutuhan Afghanistan. Bahkan ada yang mengatakan lebih dari 30 persen kebutuhan di Afghanistan disuplai dari Pakistan.

"Jadi para pebisnis dari negara tetangga ini juga akan rugi kalau terjadi perdamaian di Afghanistan," ujarnya.

 

 

Ia mengatakan, hal lain yang menyebabkan sulit tercapainya perdamaian di Afghanistan adalah faktor politik di dalam negeri Afghanistan. Artinya para pemain politik di negara tersebut memang ada yang tidak menginginkan Afghanistan bersatu dan damai.

Selain itu, tambahnya, memang ada faktor eksternal yakni kekuatan asing. Kekuatan asing itu dari Eropa, negara-negara Muslim, dan Amerika.

Ia mencontohkan, dari negara-negara Muslim ada beberapa kelompok ekstremis atau gerakan Islam radikal. Kelompok ekstremis ini punya cabang di Afghanistan. Mereka punya kantor dan pastinya punya kepentingan politik. Menurut Kiai Muhyiddin, hal inilah yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh Afghanistan. 

"Negara-negara yang berbatasan dengan Afghanistan juga punya kepentingan politik, misalnya Cina, Rusia, Iran, mereka masing-masing punya kepentingan, rongrongan ke Afganistan terlalu banyak," ujarnya.

Sebagai upaya membantu perdamaian di Afghanistan, Kiai Muhyiddin mengatakan, Indonesia mengundang dan memberikan beasiswa kepada anak-anak Afghanistan agar sekolah di Indonesia. Tujuan utamanya, Indonesia ingin berkontribusi menciptakan perdamaian di Afghanistan.

 

 

"Dengan cara merubah pola pikir mereka (anak-anak Afghanistan melalui sekolah di Indonesia) agar mereka jangan ekstrem kiri atau ekstrem kanan, tetapi itu tidak mudah dan butuh waktu, (sekarang) sudah banyak yang kuliah dari Afghanistan di Indonesia tapi itu kan baru," jelasnya.

Kiai Muhyiddin melihat, negara-negara Arab enggan terlibat dalam konflik di Afghanistan. Maka Rusia dan Amerika menjadikan Afghanistan sebagai medan perang untuk menguji senjata-senjata baru mereka. 

 

Ia menambahkan, negara super power seperti Jepang dan Cina, mereka juga punya agenda tersembunyi. Karena Afghanistan juga punya sumber daya alam yang relatif bagus, misalnya nikel dan lain sebagainya. Tentu hal itu menarik perhatian negara-negara industri yang maju.

 
Berita Terpopuler