Disertasi Wamenag: Gerakan Islam Dunia Maya, Siapa Unggul?

Terjadi kontestasi 'perang' ideologi gerakan Islam di dunia maya

pixabay
Terjadi kontestasi 'perang' ideologi gerakan Islam di dunia maya. Sebarkan kebaikan lewat media sosial. Ilustrasi
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan ruang publik digital bagi warga Indonesia. Kehadiran ruang publik digital ini telah memberikan dampak dalam kehidupan bernegara, termasuk dalam proses demokratisasi dan kontestasi ideologi politik gerakan Islam di Indonesia.    

Baca Juga

"Kemunculan ruang publik digital telah mengakibatkan demokratisasi dan fragmentasi otoritas keagamaan serta mempertajam kontestasi dan polarisasi ideologis antara gerakan Islamis dan organisasi Islam arus utama di Indonesia," kata Wakil Menteri Agama (Wamenag), KH Zainut Tauhid Sa’adi, saat menyampaikan kesimpulan disertasinya tentang Kontestasi Ideologi Politik Gerakan Islam Indonesia di Ruang Publik Digital dalam sidang promosi doktor di UIN Syarif Hidayatullah, akhir pekan ini, Kamis (5/8). 

Dalam penelitiannya, Wamenag menemukan bahwa ruang publik digital telah memfasilitasi gerakan Islamis (HTI dan FPI) untuk memproduksi dan mendistribusikan wacana ideologi politik alternatif di luar batasan sempit lembaga formal dan politik elektoral. 

Meskipun pemerintah berupaya membatasi struktur peluang politik bagi kelompok Islamis, sebagaimana tercermin dalam kebijakan pembubaran HTI dan FPI, namun hal tersebut tidak menghalangi mereka untuk memengaruhi persepsi dan opini publik di ruang digital. 

"Dalam arena yang tidak sepenuhnya bisa dijangkau pemerintah inilah, kelompok-kelompok Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah memainkan peran utama dalam membendung narasi radikal dan anti-sistem yang dihembuskan kelompok-kelompok Islamis sambil terus berupaya mempertahankan Pancasila dan NKRI sebagai hasil konsensus bersama," jelas Wamenag. 

Wamenag juga menemukan bahwa gerakan Islamis ini berangkat dari pandangan bahwa akar keterpurukan umat Islam Indonesia bersumber dari penerapan ideologi sekuler Barat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena itu, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problematika tersebut adalah penegakkan ideologi Islam dan penerapan syariah Islam secara komprehensif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

"Pembingkaian wacana ideologi politik alternatif yang dikonstruksi HTI dan FPI ini menunjukkan bahwa gerakan Islamis menggunakan bingkai identitas sebagai bingkai utama dalam memformulasikan masalah dan solusi umat Islam Indonesia," ujarnya. 

 

Wamenag mengatakan, dalam rangka mempropagandakan wacana ideologi politik alternatif tersebut, gerakan Islamis menggunakan internet dan media sosial secara kreatif dan produktif sebagai perangkat penjembatan bingkai dan perluasan bingkai. 

Namun, bingkai aksi kolektif yang disodorkan gerakan Islamis harus berhadapan dengan bingkai aksi tandingan yang disodorkan organisasi Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah. 

"Kedua ormas Islam ini juga secara kreatif dan produktif melakukan pembingkaian tandingan di ruang publik digital untuk melawan narasi radikal dan anti-sistem yang dihembuskan oleh kelompok Islamis sekaligus menegaskan posisi ideologis dan komitmen mereka terhadap Pancasila dan NKRI sebagai Negara Kesepakatan (Dar al-Mitsaq) dan Negara Perjanjian dan Kesaksian (Dar al-‘Ahd wa al-Syahadah)," jelas Wamenag. 

Lantas, di mana peran Pemerintah? Wamenag dalam disertasinya mengidentifkasi adanya sejumlah kebijakan yang digulirkan pemerintah untuk membendung pengaruh gerakan Islamis beberapa tahun belakangan. 

Menurutnya, kebijakan tersebut setidaknya mengejewantah ke dalam lima model. Pertama, pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana tercermin dalam pemberlakuan UU No. 5 Tahun 2018, UU No. 16 Tahun 2017 dan UU No. 19 Tahun 2016. 

Kedua, pembentukan lembaga/ badan pemerintahan baru, terutama BPIP. Ketiga, pengarusutamaan moderasi beragama. Keempat, pemblokiran situs dan media sosial bermuatan radikal. Kelima, pencabutan izin ormas radikal, sebagaimana tercermin dalam pembubaran HTI dan FPI. 

Temuan disertasi Wamenag ini merevisi hasil penelitian M Thoyibi dan Yayah Khisbiyah (eds.) dari Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta tentang Kontestasi Wacana Keislaman di Dunia Maya: Moderatisme, Ekstremisme, dan Hipernasionalisme. 

Demikian juga dengan temuan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia.    

Kedua penelitian ini menyatakan bahwa aktor-aktor dan kelompok-kelompok yang membangun narasi keagamaan Islamis dan konservatif lebih dominan di ruang publik digital.    

"Sebaliknya, penelitian ini menunjukkan bahwa ormas Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah telah menetralkan dan merebut, untuk tidak menyatakan mendominasi, ruang publik digital,” kata Wamenag.   

Wamenag menyampaikan, penelitian ini memperkuat pendapat Dale Eickelman dan James Piscatori, Muhammad Qasim Zaman, Norshahril Saat, dan Ahmad Najib Burhani yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi media modern telah mengakibatkan pluralisasi, kontestasi, dan fragmentasi otoritas keagamaan.

Meskipun demikian, mereka tidak mengemukakan tesis bahwa kemunculan media baru telah mempertajam kontestasi dan polarisasi ideologis di antara gerakan Islam di Indonesia.

Di samping itu, penelitian ini juga mendukung tesis aksi konektif berbasis individu yang dikemukakan Lance Bennett dan Alexandra Segerberg (2012) serta berseberangan dengan tesis aksi kolektif berbasis organisasi yang dikemukakan John McCarthy dan Mayer Zald (1977).

Penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan media digital sebagai agen penyelenggara dalam proses mobilisasi mikro telah mengakibatkan pergeseran relatif dari aksi kolektif ke aksi konektif dalam dinamika kontestasi ideologi politik gerakan Islam di Indonesia.

"Meskipun demikian, kemunculan aksi konektif berbasis individu tidak sepenuhnya menggantikan aksi kolektif berbasis organisasi dan tidak menghapuskan sama sekali peran organisasi kemasyarakatan dalam mobilisasi aksi kolektif," jelas Wamenag.

 

Disertasi Wamenag ini membahas tentang Kontestasi Ideologi Politik Gerakan Islam Indonesia di Ruang Publik Digital. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini menganalisa data hasil studi kepustakaan dan dokumentasi yang dihimpun dari website dan media sosial gerakan Islam yang menjadi objek kajian, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), NU, dan Muhammadiyah.  

 
Berita Terpopuler