Perawatan Pasien Covid-19 Bisa Picu Resistensi Antibiotik

Penggunaan antibiotik spektrum luas secara keliru jadi kesalahan besar dalam pandemi.

AP
Perawatan pasien Covid-19 (ilustrasi). Dokter mengkhawatirkan penggunaan antibiotik sebagai substitusi upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dapat memicu terjadinya resistensi antibiotik.
Rep: Puti Almas Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ahli kesehatan memperingatkan adanya potensi epidemi lainnya di seluruh dunia. Kekhawatiran itu terkait dengan pengobatan yang dilakukan terhadap pasien infeksi virus corona jenis baru (Covid-19).

Sejumlah dokter mengatakan bahwa penggunaan antibiotik dengan sembrono untuk mencegah infeksi lain pada pasien Covid-19 hanya akan meningkatkan potensi resistensi antibiotik. Kondisi itu terjadi saat bakteri dan kuman lain tak lagi bisa dilawan dengan antibiotik.

Menurut WHO, antimicrobial resistance (AMR) terjadi ketika bakteri, virus, jamur dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan. Kondisi ini membuat infeksi lebih sulit untuk diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, termasuk dengan gejala parah hingga kematian.

Mahesh M Lakhe, dokter spesialis penyakit dalam dan penyakit menular, menjelaskan mikroba dapat menjadi resisten terhadap satu atau lebih kelas agen antimikroba. Hal ini menyebabkan kegagalan pengobatan.

Baca Juga

"Adanya bakteri atau virus yang resisten ini di masyarakat dan di fasilitas perawatan kesehatan, terutama di unit perawatan intensif (ICU), menimbulkan risiko bagi keselamatan pasien," ujar dokter di Columbia Asia Hospital, Pune, India itu, dilansir India Express, Selama (3/8).

Pada 2013, Dewan Penelitian Medis India (ICMR) mendirikan Antimicrobial Resistance Surveillance & Research Network (AMRSN) yang mengompilasi data pada enam kelompok patogen terkait resistensi antimikroba. Setelah pengawasan ekstensif dilakukan secara nasional, Program Penatalaksanaan Antimikroba dimulai untuk memperbaiki penggunaan antibiotik di rumah sakit.

Hanya saja, situasinya memburuk di tengah pandemi Covid-19. Dua tahun terakhir, dokter mengaitkan peningkatan risiko resistensi antibiotik dengan penggunaan antibiotik kelas atas spektrum luas.

"Sejak pandemi Covid-19, pasien dalam kondisi serius juga mengembangkan infeksi sekunder oleh bakteri di mana antibiotik kelas atas kadang-kadang digunakan untuk waktu yang lama hingga mengarah ke terjadinya resistensi," ungkap Suranjit Chatterjee, konsultan senior penyakit dalam di Indraprastha Apollo Hospitals, Ibu Kota New Delhi.

Menurut Chatterjee, penggunaan antibiotik sebagai substitusi upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit mungkin merupakan salah satu kesalahan terbesar selama pandemi ini. Ia mengingatkan bahwa bakteri dapat tumbuh dalam tubuh dan meningkatkan infeksi saat menjadi resisten antibiotik.

Dalam beberapa kasus, resistensi antibiotik membuat tidak mungkin untuk mengobati penyakit. Chatterjee mengatakan, pasien kemudian harus menjalani rawat inap yang berkepanjangan dan peningkatan biaya perawatan, selain membahayakan nyawanya.

Bahaya self-medication

Sementara itu, Lakhe mengatakan, antibiotik yang tersedia gagal membunuh organisme resisten ini. Ada kelangkaan antibiotik baru yang menghilangkan ancaman tersebut, di mana sebagian merupakan masalah buatan manusia.

Faktanya, semua orang ikut bertanggung jawab dalam hal ini. Sebagai contoh, sering kali orang membeli obat yang dijual bebas di apotek, bahkan saat merasa hanya sedikit tidak enak badan. Praktik self-medication seperti inilah yang berkontribusi terhadap resistensi antibiotik.

Praveen Gupta, Direktur Neurologi Fortis Memorial Research Institute, Gurugram di India mengatakan, resistensi antibiotik adalah salah satu risiko dasar pengobatan. Karena itu, penting bagi seseorang untuk mengandalkan antibiotik hanya yang diresepkan oleh dokter.

"Antibiotik harus digunakan dengan bijaksana setelah mengidentifikasi penyebab sebenarnya dari infeksi Anda. Alih-alih antibiotik spektrum luas, dosis terarah dan bertarget harus digunakan untuk melawan patogen tertentu, dan ketika infeksi sembuh, antibiotik harus segera diturunkan atau dikurangi kadarnya untuk melindungi antibiotik," jelas Gupta.

 
Berita Terpopuler