Pengungsi Rohingya di Dallas Nikmati Kebebasan Beragama

Pengungsi Rohingya di Dallas menikmati kebebasan beragama.

EPA-EFE/TANBIRUL MIRAJ RIPON
Pemandangan kamp pengungsi Rohingya nomor 4 yang terendam banjir setelah hujan lebat di Cox
Rep: Inas Widyanuratikah Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID,  DALLAS -- Seorang pengungsi Rohingya, Imam Mufti Mohammad Ismail mengatakan dia tidak tahu apa arti kebebasan sampai ia menemukan keamanan di Amerika Serikat. Sejak usia muda, sebagai seorang Rohingya yang tinggal di Myanmar ia selalu merasakan penindasan.

Baca Juga

Menurutnya, kebebasan berarti memimpin sebuah masjid yang merupakan jantung dari komunitas sekitar 300 keluarga Rohingya di timur laut Dallas. Sekarang, ia bebas dari ketakutan akan teror anti-Muslim yang dihadapi Rohingya di Myanmar.

"Saya merasa sangat senang ketika saya melihat orang-orang yang datang ke sini, dan melihat mereka berhasil keluar dari situasi mereka saat ini," kata Ismail, dilansir di Dallas News, Senin (2/8).

Ketika datang ke Amerika Serikat pada 2013, para pengungsi Rohingya menghadiri sholat di masjid lain di dekatnya. Namun, karena perbedaan budaya dan tantangan lain, termasuk transportasi yang terbatas, Ismail dan pemimpin lainnya ingin membangun tempat berkumpul baru bagi keluarga Rohingya.

 

 

Ia mengatakan, anggota komunitas mulai berdoa di sebuah apartemen satu kamar. Pada tahun 2016, mereka mengetahui bahwa dapat menyewa ruang cuci tua di kompleks apartemen dan memperbaikinya menjadi masjid.

Meskipun masjid membatasi pertemuannya selama pandemi virus corona, Ismail mengatakan lebih dari seratus anak-anak Rohingya datang sepanjang hari untuk belajar Alquran dan mengerjakan tugas sekolah. Masjid tersebut juga telah menarik minat umat Islam yang bukan Rohingya, termasuk pengungsi dari Somalia dan Afghanistan.

"Ketika masyarakat tumbuh dari kompleks ini dan siap untuk berdiri di atas kaki sendiri, maka kami berharap untuk membangun masjid di tempat lain. Tapi yang ada sekarang ya seperti ini," kata Ismail.

Ismail juga membentuk suatu organisasi bernama Rohingya Muslim Relief, sebuah kelompok yang dibentuk untuk mengumpulkan uang dan dikirim ke desa-desa Rohingya di Myanmar. Salah satu anggotanya, Shaukat Salleh mengatakan ia masih merasa asing dengan kenyataan dirinya bisa bebas menjalankan agamanya di Dallas.

 

 

"Di Myanmar, jika ada lebih dari 10 orang, militer akan datang dan membubarkannya," katanya.

Menurut Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, lebih dari satu juta orang Rohingya telah meninggalkan Myanmar sejak awal 1990-an. Militer Myanmar mulai membakar desa-desa Rohingya pada tahun 2017, yang menyebabkan ribuan orang terbunuh dan terluka, menurut sebuah laporan PBB.

 

Selain kesulitan yang dialami oleh banyak kelompok pengungsi, Rohingya menghadapi hambatan budaya yang berasal dari perlakuan mereka di Myanmar. Mereka tidak diberi kewarganegaraan dan akses ke pendidikan dan layanan lainnya.

 
Berita Terpopuler