Kegagalan Pemerintah Dorong Krisis Politik Tunisia

Rakyat Tunisia marah atas kegagalan pemerintah mengatasi pandemi Covid-19

AP/Slim Abid/Tunisian Presidency
Presiden Tunisia Kais Saied melambai kepada para pengamat saat ia berjalan di sepanjang jalan Bourguiba di Tunis, Tunisia, Minggu, 1 Agustus 2021.
Rep: Lintar Satria Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Sambil menunggu antrean vaksin Covid-19 yang didistribusikan militer, seorang warga Tunisia Zubeir Bin Ammar mengungkapkan keraguannya pada militer dan Presiden Kais Saied. Ia tidak yakin mereka akan berhasil setelah pemerintah yang mereka singkirkan gagal.

Baca Juga

"Semoga Allah memberkati tentara dan presiden, saya berharap mereka membiarkannya berkuasa karena kami hidup di negara yang dikuasai mafia," kata Bin Ammar, seperti dikutip Middle East Monitor, Senin (2/8).

Laki-laki yang berprofesi sebagai guru itu tidak menilai tindakan Saied pada 25 Juli lalu adalah kudeta dan ancaman terhadap demokrasi Tunisia yang masih muda. Seperti yang diungkapkan para oposisinya.

"Ia mengikuti rakyat di jalan bukan partai politik," kata Bin Ammar yang sudah berkeluarga dan tinggal di Jendouba, 150 kilometer dari ibu kota Tunis.

Masyarakat Tunisia marah atas kegagalan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19. Demonstrasi besar-besaran mendorong Saied memecat Perdana Menteri Hichem Mechichi dan menangguhkan parlemen. 

Militer mendukung langkah tersebut. Didorong kelesuan ekonomi yang mendalam lalu ditambah pandemi Covid-19, rakyat Tunisia turun ke jalan untuk menentang pemerintah dan partai politik di parlemen termasuk partai Islam yang berkuasa, Ennahda.

Sejauh ini baru 940 ribu dari 11,6 juta rakyat Tunisia yang sudah menerima dua dosis vaksin Covid-19. Tunisia melaporkan 18 ribu kasus kematian akibat virus korona dan lebih dari setengah juta kasus infeksi.

 

Hingga saat ini, Tunisia menjadi negara dengan angka kasus positif tertinggi di Afrika. Pemerintah Tunisia sempat membuka pusat vaksinasi di masa liburan. Namun, mereka tidak siap melayani banyak orang yang datang untuk mendapatkan vaksin. Masyarakat berdesak-desakan di pusat vaksinasi tersebut tanpa mematuhi peraturan jaga jarak, pasokan vaksin pun segera habis.

Bencana itu menjadi indikator terakhir masyarakat atas kegagalan pemerintah mengatasi pandemi. Tidak lama setelah itu Saied pun mengumumkan militer mengambil alih distribusi vaksin.

Hal itu membuktikan momen penting persaingan antara Saied dan Mechichi dalam sistem yang memberi presiden wewenang pada urusan luar negeri dan militer. Sementara perdana menteri lebih banyak bertanggung jawab pada isu-isu domestik.

Tunisia mengalami stagnasi ekonomi selama bertahun tahun dan layanan publik memburuk sementara para politikus hanya memperebutkan kekuasaan. Saied yang terpilih sebagai presiden melalui jalur independen pada tahun 2019 lalu dianggap tantangan tersendiri pada politik Tunisia yang dominasi partai.

Saat Tunisia dihantam pandemi tahun lalu, karantina nasional sempat memperlambat penularan virus. Tapi masyarakat miskin Tunisia tidak bisa bekerja. Kebijakan karantina nasional pun ditolak dan jumlah kasus infeksi melonjak.

Kesulitan semakin terasa di wilayah-wilayah miskin seperti Jendouba di mana vaksin sulit didapatkan. Kesalahan kelola selama bertahun-tahun merusak sistem kesehatan publik yang pernah jadi kebanggaan nasional.

"Di setiap rumah kami menggelar pemakaman dan kami memiliki rasa sakit dan luka," kata salah satu warga Tunisia, Hatem Hawawi.

Bibinya yang berusia 71 tahun meninggal dunia karena Covid-19. Ia mengecam kegagalan pemerintah selama bertahun-tahun untuk memelihara sistem kesehatan.

"Kami tidak ingin satu-dua orang yang bertanggung jawab, itu tidak berhasil, pemerintah tidak memberi nilai pada warga," katanya.

Pengerahan militer untuk merespon pandemi tampaknya cukup populer di Jendouba. Walaupun langkah tersebut dapat merusak citra militer Tunisia yang tidak ikut campur urusan politik setelah revolusi 2011 lalu.

"Mereka harusnya sudah memberi tanggung jawab ini ke tentara," kata Ammar. 

 
Berita Terpopuler