Rangkap Jabatan Rektor Ari Cederai Marwah UI

Mengubah aturan sesuka hati dapat menjadi preseden buruk untuk dunia pendidikan.

Dok Humas UI
Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof Ari Kuncoro.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, Universitas Indonesia (UI) mengambil peran penting. Histori panjang UI sebagai kampus yang menggerakkan arah kebijakan pemerintah menjadikan kampus berjaket kuning itu disegani di dunia pendidikan. Namun, marwah UI yang sudah dijaga bertahun-tahun kini dinilai memudar dengan kasus rangkap jabatan dan Statuta UI yang menyeret nama rektornya, Ari Kuncoro.

Kisah terbongkarnya Ari Kuncoro yang menjabat wakil komisaris utama dan komisaris independen PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) atau BRI, berawal dari BEM UI yang mengunggah meme yang mengkritik Presiden Jokowi sebagai "the king of lip service" yang dinilai hanya sering mengumbar janji. Sontak, unggahan di media sosial BEM UI berbuntut panjang, hingga akhirnya rektorat memanggil BEM UI soal kritik tersebut pada akhir Juni 2021.

Meme ini viral di media sosial. Riak-riak komentar dari rakyat menjadi besar ketika kabar pemanggilan Presiden BEM UI Leon Alvinda Putra. Rektorat UI meminta Leon dan kawan-kawan menghapus unggahan itu, tapi permintaan tersebut diabaikan. Imbasnya UI dihantam kritik. Ujung-ujungnya Rektor UI Ari Kuncoro yang ternyata memiliki jabatan strategis di perusahaan BUMN terungkap.

 

Tekanan pun datang dari berbagai arah, memaksa Ari Kuncoro mundur karena rangkap jabatan dan melanggar aturan. Namun, justru tekanan agar Ari mundur direspon dengan lahirnya revisi Statuta Universitas Indonesia lewat Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengubah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Statuta Universitas Indonesia (UI). Beleid teranyar, yakni PP nomor 75 tahun 2021 ini menggantikan PP nomor 68 tahun 2013. Salah satu poin penting yang direvisi adalah aturan mengenai boleh-tidaknya seorang rektor dan wakil rektor rangkap jabatan.

Dalam salinan PP 75 tahun 2021 yang diteken Jokowi pada 2 Juli 2021, Pasal 39 huruf c menyatakan bahwa seorang rektor dan wakil rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan dilarang rangkap sebagai direksi pada BUMN atau BUMD atau swasta. Poin ini jelas berbeda dengan aturan pada PP 68 tahun 2013 yang tegas menyatakan rektor dan wakil rektor dilarang rangkap jabatan sebagai pejabat pada BUMN atau BUMD atau swasta.

Dengan demikian, rangkap jabatan sebagai rektor dan komisaris BUMN kini diperbolehkan karena yang dilarang hanya sebagai direksi saja. Aturan baru yang diterbitkan Jokowi ini sekaligus melanggengkan posisi Ari Kuncoro yang rangkap jabatan antara rektor UI dan wakil komisaris BRI.

Tentu saja, revisi ini pun langsung dikritik berbagai pihak, meski akhirnya Ari mengundurkan diri dari BRI. "Perseroan akan menindaklanjuti sesuai ketentuan dan prosedur," kata Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto dalam suratnya soal mundurnya Rektor UI, di Keterbukaan Informasi BEI, Kamis (22/7). Surat pengunduran diri Ari itu diterima Kementerian BUMN sehari sebelumnya, Rabu (21/7).

Dalam sebuah diskusi daring yang diikuti Republika.co.id, Ahad (25/7), pengamat pendidikan, Indra Charismiadji mengkritik revisi Statuta Universitas Indonesia lewat Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021. Indra menilai mengubah aturan sesuka hati tersebut dapat menjadi preseden buruk untuk dunia pendidikan.

"Kalau dari muda mereka sudah kita ajarkan untuk aturan apa pun bisa diubah untuk mengakomodir keinginan kita, wah rusak dong moral kita ini," kata Indra.

Indra berkata, pendidikan menjadi salah satu harapan bangsa dalam mengubah sistem politik yang dinilainya sudah salah jalur. Namun, harapan itu bakal hilang jika rektor diperbolehkan rangkap jabatan dan mendapat posisi strategis di pemerintahan.

Meski begitu, Indra menekankan kritiknya bukan soal Ari Kuncoro yang kemudian mundur atau tetap menjabat. Namun ia mengingatkan dunia pendidikan kita mengenal atau berupaya untuk menjalankan falsafah pendidikannya Ki Hajar Dewantara. Di samping itu, perubahan statuta UI saat Ari Kuncoro bermasalah terkait posisinya di BRI juga tak memberikan contoh baik secara moral. Alasannya karena peraturan tersebut diubah ketika status rektor dan posisi wakil komisaris berpolemik.

"Ini adalah sebuah contoh yang sangat buruk kalau kita bicara, terutama dalam pendidikan moral, pendidikan karakter buat generasi penerus kita. Itu problem besarnya di sana," ujar Indra.

Secara terpisah Republika.co.id mendapatkan keterangan dari polemik rangkap jabatan tersebut dari Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI, Saleh Husin. Ia menjelaskan kronologi proses revisi PP statuta UI, yakni proses revisi PP itu sudah berlangsung sejak 2019. Proses itu dimulai dengan menampung usulan dari empat organisasi di UI, yakni Majelis Wali Amanat UI, Dewan Guru Besar (DGB), Senat Akademik (SA), dan Eksekutif/Rektorat.

Masing-masing organisasi mengusulkan substansi perubahan Statuta UI. Masukan dari setiap organisasi itu kemudian dibahas oleh tim kecil yang dibentuk oleh rektor untuk menyinkronisasi substansi perubahan dalam daftar inventarisasi masalah. Tim kecil ini bekerja selama dua bulan.

"Kalau tidak salah, pada April 2020 dibentuk tim kecil, tetapi seingat saya pada Maret 2020 atas inisiatif DGB, tim kecil ini sudah mulai rapat," kata dia.

Mantan menteri Perindustrian itu berkata, tim kecil itu niatnya untuk memformulasikan masukan setiap organ, tetapi tidak pernah match. Akhirnya mentah dan balik ke masing-masing organ untuk dibahas lagi dan penambahan masukan. Saleh mengungkap tim yang bekerja dua bulan itu bubar pada Juni 2020 dan pembahasan pun sempat vakum. Namun, akhirnya dibentuk tim kecil kedua pada September 202 yang berisi 12 orang yang merupakan perwakilan dari masing-masing organisasi.

Mereka adalah Ari Kuncoro, Agustin Kusumayati, dan Abdul Haris yang mewakili Eksekutif. Lalu, Bambang PS Brodjonegoro, Yosi Kusuma Eriwati, dan Fredy Buhama Lumban Tobing mewakili MWA; Harkristuti Hakrisnowo, Lindawati Gani, dan Ine Minara S Ruky (DGB); serta Nachrowi Djalal Nachrowi, Frieda Maryam Manungsong Siahaan, dan Surastini Fitriasih (SA). Setelah itu, berproseslah tim kecil kedua, tetapi tidak juga menghasilkan sinkronisasi dan kesimpulan.

"Tim kedua ini akhirnya bubar karena hanya diminta bekerja selama dua bulan," ucap Saleh Husin.

Proses pembahasan usulan revisi berlanjut di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Rapat digelar Kemendikbud dengan menghadirkan perwakilan dari masing-masing organisasi UI, yaitu...

Proses pembahasan usulan revisi berlanjut di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Rapat digelar Kemendikbud dengan menghadirkan perwakilan dari masing-masing organisasi UI, yaitu Eksekutif, MWA, DGB, dan SA. Mereka, kata Saleh Husin, hadir untuk menyampaikan masukan-masukan, termasuk juga Bambang Brodjonegoro mewakili MWA, yang waktu itu masih sebagai menteri. Namun, dalam rapat tersebut juga tidak ada titik temu. "Masing-masing mempertahankan masukan mereka," ungkapnya.

Pembahasan tentang perubahan Statuta UI mandek lagi sampai akhirnya Kemdikbud mengundang berbagai menteri terkait, yakni Menkeu, Menkumham, Mensesneg, Menko PMK, Menteri PAN dan RB, serta dari pihak UI. Kehadiran perwakilan UI kali ini bukan dari organisasi, melainkan UI sebagai institusi, dalam hal ini rektor dan dapat diwakilkan oleh rektor.

Pembahasan revisi PP tentang Statuta UI itu berjalan lancar hingga naskah final revisi PP itu sampai di meja Presiden Jokowi. Jadi, semua sesuai mekanisme dan tata aturan yang berlaku. Ini sudah menjadi keputusan dan sudah diteken Presiden, tentu kita menghormati keputusan itu. "Dalam hal ini, MWA diamanahkan membuat aturan turunannya," ujar Saleh.

Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof Ari Kuncoro. - (Dok Humas UI)

 

 

 

Saleh Husin menjelaskan, ada banyak hal yang berubah di dalam PP itu. Namun yang menuai perhatian adalah Pasal 35 huruf c. Pada PP lama, yakni PP Nomor 68 Tahun 2013, pasal itu berbunyi, "Rektor dan Wakil Rektor dilarang merangkap sebagai pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta".

Kemudian, pada PP yang baru, yakni PP Nomor 75 Tahun 2021, bunyi Pasal 35 huruf c diubah menjadi, "Rektor dan Wakil Rektor dilarang merangkap sebagai direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta".

Saleh Husin mengatakan, dalam pandangan MWA, Pasal 35 huruf c pada PP yang lama multitafsir sehingga perlu dibuat lebih jelas. Sebab, lanjutnya, definisi pejabat seperti yang ada di PP 68/2013 sangat luas.

MWA menilai, yang namanya pejabat itu adalah orang yang day to day bekerja untuk perusahaan, yaitu jajaran direksi. "Maka, pada PP yang baru diperjelas langsung direksi," ujarnya.

Pemahaman MWA itu sesuai dengan naskah hasil revisi yang diteken Presiden Jokowi pada 2 Juli 2020. Terkait dengan keputusan Rektor UI Ari Kuncoro yang akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari kursi Wakil Komisaris Utama BRI, Saleh Husin enggan berkomentar banyak. Tentu keputusan yang diambil rektor perlu diapresiasi. "Ini keputusan bijak, legowo dan harus dihargai," kata Saleh.

Dihubungi terpisah, Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, menilai PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI bak kolaborasi antara keserakahan dan otoriterisme. Kasus ini menurur Ujang adalah tragedi memalukan yang telah dipertontonkan pemerintah kepada mahasiswa dan rakyat.

Di satu sisi ada pihak yang serakah dan di sisi lain ada yang seenaknya buat aturan. Mestinya orang atau rektor yang menyesuaikan dan mengikuti serta taat aturan. "Ini aturan dibuat dan dikondisikan untuk mengamankan seseorang," katanya.

Ia berkata, ada pepatah yang berkata buruk muka cermin dibelah yang artinya kelakuannya yang buruk, tetapi aturannya yang diubah untuk kepentingannya. Ini semua mengusik rasa keadilan mahasiswa dan rakyat. Akibatnya, tidak ada lagi keteladanan dari para pemimpin. Padahal seharusnya rektor adalah kekuatan penggerak moral untuk bisa mengkritisi jalannya pemerintahan yang salah arah.

Seharusnya menurut Ujang seorang rektor bukan berkolaborasi dan kongkalingkong merevisi statuta UI yang menguntungkan dirinya. Selama ini menurut Ujang mahasiswa dibodohi oleh oknum rektor soal idealisme, keadilan dan sebagainya. "Namun, faktanya tidak ada lagi moralitas yang mereka terapkan," kata dia.

Lantas apakah setelah Ari Kuncoro mengundurkan diri Revisi Statuta UI perlu dicabut?

Ketua Badan Ekskutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Leon Alvinda Putra mendesak PP tentang Statuta UI segera dicabut. Sebab, dia menilai, penyusunan statuta baru ini tidak melibatkan mahasiswa sebagai salah satu pemangku kepentingan di lingkungan kampus.

"Intinya kita sama-sama dorong untuk dicabut statuta baru ini," ujar Leon saat dikonfirmasi republika.co.id, Selasa (27/7). 

Dia tidak menolak atas keinginan beberapa pihak untuk merevisi Statuta UI. Namun, apabila statuta UI akan direvisi, dia berharap mahasiswa dilibatkan dalam penyusunannya. 

Leon menegaskan, penyusunan perubahan Statuta UI harus melibatkan semua unsur pemangku kepentingan kampus. Sehingga nantinya Statuta UI dapat diterima sebagai kesepakatan bersama semua pihak yang terlibat di UI, seperti guru besar, senat akademik, dosen, tenaga pendidikan, dan mahasiswa, demi kemajuan kampus.

 

Gedung Universitas Indonesia (UI).

 

 

Dukungan untuk pencabutan statuta datang Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Ia enyarankan pemerintah sebaiknya mencabut Peraturan Pemerintah (PP) tentang Statuta UI. PP Nomor 75 Tahun 2021 tersebut sebaiknya dicabut karena mencederai nilai-nilai yang dikembangkan di kampus.

"Kalau tidak dicabut pastinya akan mengubur kebebasan akademik dan independensi kampus," katanya, Kamis (22/7). Ia mengaku khawatir kalau PP ini tidak dicabut bisa jadi Rektor UI menjadi komisaris merangkap di perusahaan lain. "Jadi, bisa saja dia mundur dari BRI hanya akal-akalan saja," kata dia.

Ia menambahkan, aksi tersebut bila terwujud akan menjadi bentuk petanda legalisasi politisasi dan komersialisasi kampus. "Mungkin ini yang dimaksud dengan Kampus Merdeka. Jika iya, maka kami semua merasa kena prank oleh Pak Menteri," kata dia.

Meski dihantam kritik dari berbagai arah, toh revisi Statuta UI tetap mendapatkan dukungan. Salah satunya dari anggota DPR Komisi X Sofyan Tan yang menilai PP Statuta UI agar UI siap dan lebih cepat menghadapi tantangan global serta meningkatkan rangking universitas.

"Karenanya perlu dukungan dan kerja keras dari segenap pihak civitas akademika UI," ujar Sofyan Tan.

Ia berkata sebagai mitra kerja pemerintah, Fraksi PDI Perjuangan tentunya akan mencermati terus masukan-masukan konstruktif yang muncul di masyarakat, terutama dari civitas akademika UI sebagai bagian dari tugas pengawasan dan penyerapan aspirasi masyarakat. Namun tentunya, UI sebagai institusi di bawah naungan Kemendikbudristek harus tunduk terhadap peraturan pemerintah.

Menurut politikus dari Fraksi PDI Perjuangan itu perubahan PP yang terus menuai polemik itu tidak perlu ditanggapi secara berlebihan apalagi sampai mengaitkan dengan berbagai motif hubungan antara pemerintah dengan kampus UI. Ia berkta, proses perubahan PP itu sama seperti perubahan PP yang lain. Apalagi Majelis Wali Amanat (MWA) yang ikut sejak awal pembahasan juga sudah melalui mekanisme dan tata aturan yang berlaku.

"Tentu kita harus bisa menghormati keputusan tersebut apalagi PP sudah ditandantangani oleh Presiden Jokowi," katanya.

Meski demikian perubahan PP Statuta UI memang tidak tepat waktunya. Seperti pendapat Rektor Universitas Airlangga (Unair), Prof M Nasih yang berpendapat revisi tersebut tidak tepat lantaran berbarengan dengan Ari Kuncoro yang rangkap jabatan antara rektor UI dan wakil komisaris BRI.

"Waktunya tidak tepat. Pengesahan PP bareng dengan isu rangkap jabatan," kata Prof Nasih. Tidak banyak rektor yang rangkat jabatan. Namun ia tidak mempermasalahkan. "Jadi, sebenarnya bukan karena jabatannya tapi lebih karena kapasitas dan keahliannya," ujarnya.

Pendapat serupa datang dari Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof Komarudin. Menurutnya, rektor bisa saja merangkap jabatan, bila memang keahliannya sangat dibutuhkan. "Kalau keahliannya sangat dibutuhkan dan tidak melanggar peraturan, menurut saya boleh saja," kata dia.

Yang penting rektor tetap fokus pada tugas utamanya, dan bisa berbagi waktu untuk memberikan manfaat bagi tugas lainnya. Namun jika dengan rangkap jabatan mengganggu tugas utama atau bahkan menimbulkan konflik interest, maka sudah seharusnya rektor bisa menakar diri untuk tidak rangkap jabatan.

Pendapat Prof Komarudin pun ditanggapi Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian. Memang idealnya seorang rektor perguruan tinggi seharusnya tidak merangkap jabatan, terlepas ada atau tidaknya peraturan. "Sebaiknya, kalau pun tidak ada larangan, rektor suatu perguruan tinggi bagusnya tidak merangkap jabatan," kata Hetifah.

Rangkap jabatan cenderung akan memunculkan konflik kepentingan. Kepentingan pribadi seseorang yang rangkap jabatan juga dinilai bisa mengorbankan institusi. Kalau pemikiran dan ide-ide perguruan tinggi sangat diperlukan untuk masyarakat, dunia usaha, dunia industri, sebaiknya dilakukan melalui kerja sama kelembagaan melalui fakultas, prodi, atau melalui lembaga pengabdian masyarakat yang ada di hampir semua perguruan tinggi. Dibuat MOU misalnya.

"Rangkap jabatan yang lazim atau bisa diterima bila masih dalam satu rumpun, atau satu jajaran tetapi sifatnya sementara," imbuhnya.

 
Berita Terpopuler