Mengenal Agama Baha’i yang Disebut Menag

Menag mengucapkan selamat hari raya untuk agama Baha'i.

[ist]
Taman Bahai, Mount Carmel, Haifa, Israel
Rep: Meiliza Laveda Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Beberapa waktu lalu Menteri Agama Yaqut Cholil memberikan ucapan hari raya kepada para penganut agama Baha’I dalam sebuah video. Tindakan tersebut kemudian menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Lantas, apakah itu agama Baha’i dan bagaimana bisa sampai menyebar di Indonesia?

Agama Baha’i tidak lepas dari sosok Bahá’u’lláh Mirza Husayn Ali yang lahir di Teheran, Iran pada tahun 1817. Pada umur 22 tahun, ia tidak menggantikan posisi ayahnya sebagai pejabat pemerintah. Dia tetap hidup sebagai warga sipil yang membela kaum miskin sehingga ia menerima gelar ayah dari para fakir miskin.

Seorang pemuda yang dikenal sebagai Sang Báb atau Pintu Gerbang telah bangkit untuk membangunkan umat manusia dan mempersiapakan dunia akan seorang Utusan Tuhan lainnya.  Tiga bulan setelah Sang Báb mengumumkan misi-Nya, Bahá’u’lláh menerima surat dari Sang Báb yang bersisi beberapa Tulisan Suci. Pada tahun 1844, Sang Báb mengumumkan misinya dan saat itu Bahá’u’lláh berusia 27 tahun.

Namun, ajaran Báb dipenuhi dengan perlawanan dari mereka yang berkuasa. Para pemuka agama dan pemerintah terus menentang dan menganiaya para pengikut-Nya. Pada tahun 1850 Sang Báb dieksekusi. Setelah itu, ribuan orang pengikutnya dibantai. Bahá’u’lláh dihadapkan dengan tuduhan palsu dan surat perintah dikeluarkan untuk penangkapan-Nya.

Síyáh-Chál yang berarti lubang hitam adalah nama penjara tempat Bahá’u’lláh dihukum. Dalam penjara tersebut, kaki Bahá’u’lláh dipasung dan rantai seberat 50 kilogram dikalungkan di lehernya. Dalam keadaan tersebut, Bahá’u’lláh menerima wahyu Tuhan dalam jiwanya.

Pada April 1863 sebelum berangkat dari Baghdad, Bahá’u’lláh mengumpulkan sahabat-sahabatnya selama 12 hari di sebuah taman berana Ridwan di tepi Sungai Tigris. Di sinilah, Bahá’u’lláh mengumumkan secara terbuka untuk pertama kalinya bahwa dia adalah utusan Tuhan. Setelah meninggalkan Baghdad, Bahá’u’lláh dan pengikutnya melakukan perjalanan ke Konstantinopel yang pada saat itu pusat Dinasti Ottoman.

Setibanya di sana, Bahá’u’lláh mulai menarik hati semakin banyak orang. Mereka hanya tinggal di Konstantinopel  selama empat bulan. Para penguasa yang telah mengasingkan dia ke kota Adrianopel, lebih jauh lagi dari perbatasan Persia. Di sana ia tinggal selama empat tahun dan mulai menyebarkan ajarannya kepada para penguasa dan raja di dunia.

Pada 31 Agustus 1968, mereka tiba di ‘Akká, tempat yang digunakan Kesultanan Usmani untuk pembuangan para penjahat dan penghasut. Seiring berjalannya waktu, penduduk seempat mulai menerima Bahá’u’lláh. Turunnya Wahyu  secara terus-menerus selama empat puluh tahun itu berakhir pada tanggal 29 Mei 1892.

 

Ajaran Baha’i masuk ke Indonesia

Sementara itu, ajaran Baha’i mulai tersebar di Indonesia di Sulawesi. Jamal Effendi dipilih oleh Bahá’u’lláh untuk mengadakan perjalanan ke India. Pada perjalanan-perjalanan berikutnya, dia didampingi oleh Sayyid Mustafa Rumi dan beberapa pelayan lain termasuk kunjungan ke Burma pada tahun 1878 dan Malaysia sekitar tahun 1883.

Sejak itu, mereka juga berlayar ke Singapura dan mendapat izin mengunjungi Jawa. Pemerintah Belanda mengizinkan mereka untuk mengunjungi kota-kota pelabuhan di Indonesia. Setelah Pulau Jawa, perjalanan emereka selanjutnya adalah Makassar, Sulawesi Selatan. Menggunakan sebuah kapal kecil mereka berlayar ke pelabuhan Pare-Pare dan disambut oleh Raja Fatta Arongmatua Aron Rafan. Sang Raja sangat tertarik dengan ajaran agama baru ini. Lalu mereka melanjutkan perjalanan ke Sedendring, Padalia dan Fammana.

Dengan menggunakan sampan, mereka melanjutkan perjalanan sepanjang sungai sampai mereka tiba dengan selamat di Bone. Di sini, Raja Bone meminta mereka untuk menyiapkan suatu buku panduan untuk administrasi kerajaan dan Sayyid Mustafa Rumi melaporkan mereka telah menulisnya sejalan dengan ajaran-ajaran Bahá’i. Karena batas kunjungan empat bulan yang secara tegas diberikan oleh Gubernur Belanda di Makassar, mereka meninggalkan Sulawesi menuju ke Surabaya dan kemudian kembali ke Batavia.

Cara ibadah

Dilansir Bahai.id, Kamis (29/7), pengikut Baha’i berdoa dalam kegiatan ibadah mereka. Doa adalah percakapan rohani antara jiwa dengan Penciptanya tanpa perantara. Mereka mengucapkan doa dengan hati yang ikhlas dan murni yang kondusif untuk perenungan  dan meditasi sehingga akal manusia dapat diterangi olehnya. Doa seperti itu akan memperkuat daya tembus dari Firman Ilahi, mengubah kecenderungan duniawi menjadi sifat-sifat surgawi, dan mengilhami orang untuk mengabdi tanpa pamrih kepada umat manusia.

 

Mereka berdoa di rumah ibadah yang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Rumah ibadah Baha’i merupakan sumbangan masyarakat Bahá’í bagi seluruh umat manusia termasuk semua pemeluk agama yang berbeda-beda. Rumah ibadah tersebut merupakan tempat untuk berdoa dan bermeditasi dan tidak dibatasi hanya untuk umat Baha’i saja. Bahá’u’lláh mengajarkan doa dan sembahyang merupakan percakapan antara manusia dan penciptanya yang bersifat rohani dan tidak harus dilaksanakan di rumah ibadah khusus.

Baca Juga

 
Berita Terpopuler