Bagaimana Kita Bersikap terhadap Aliran Kepercayaan?

Aliran kepercayaan sebagai bentuk kepercayaan tak boleh didiskriminasi

Antara/Novrian Arbi
Aliran kepercayaan sebagai bentuk kepercayaan tak boleh didiskriminasi. Ilustrasi Sunda Wiwitan
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ali Mashar* 

Baca Juga

Filsuf Perancis, Henri Bergson, punya perkataan yang terkenal, “Di masa lalu, atau bahkan pada zaman ini, kita bisa jumpai ada masyarakat tanpa sains, tanpa seni, tanpa filsafat, tapi tidak pernah ada masyarakat tanpa agama.”  

Rudolf Otto, dalam bukunya, The Idea of the Holy, meyakini bahwa sejak dilahirkan, setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk “beragama”. Setiap manusia selalu merasa dirinya tidak sempurna dan tidak berkuasa. 

Perasaan inilah yang menyebabkan manusia memiliki apa yang disebutnya sebagai “creature-feeling” yakni suatu kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang diciptakan dan dikuasai kekuatan sempurna di luar dirinya.  

Ibnu Qoyim mengatakaan bahwa kecenderungan beragama dan meyakini keberadaan Tuhan adalah fitrah dari Allah untuk setiap manusia.  

Pew Research Center menyebutkan bahwa 16 persen populasi dunia yang tidak memeluk agama-agama besar seperti Islam, Hindu, Kristen, dan Buddha, tetap memiliki keyakinan keagamaan di dalam diri. Ada ribuan kepercayaan-agama di dunia yang dianut manusia hingga saat ini.  

Setidaknya ada 12 juta rakyat Indonesia yang memeluk aliran kepercayaan, di luar enam agama yang “diakui” sebagaimana umumnya kita ketahui. Para penganut kepercayaan ini juga memiliki kewajiban-kewajiban religius yang harus dilaksanakan sebagaimana penganut enam agama “resmi” lainnya.  

Sayangnya, selama puluhan tahun mereka ini dipaksa untuk menuliskan agama “resmi” yang bukan keyakinan mereka pada KTP mereka dan tidak mendapatkan perlakuan adil dari negara dalam kaitannya dengan ekspresi dan praktik ibadah. 

Duabelas juta orang ini adalah rakyat Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia. Tak ada prinsip keadilan apapun yang membenarkan perlakuan diskriminatif terhadap para penganut aliran kepercayaan di luar agama “resmi.”  

Di Indonesia, ada sekitar 187 kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Kebanyakan kepercayaan ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Bahkan di ataranya telah ada sebelum beberapa agama “resmi” yang kita ketahui, dianut rakyat Indonesia.  

Setiap orang yang menganut agama atau kepercayaan tertentu, meyakini bahwa agama atau kepercayaannya adalah jalan keselamatan, serta berharap orang lain juga meyakini apa yang diyakininya. Tetapi tidak ada manusia yang boleh memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinannya. Agama dan kepercayaan adalah perkara individu yang tidak boleh dipaksakan.  

Sepanjang sejarah peradaban yang bisa ditelusuri, tidak pernah ada satu agama atau kepercayaan yang dianut dan diyakini seluruh penduduk bumi. Manusia selalu berbeda kepercayaan dan keyakinan. Setiap usaha memaksakan keyakinan hanya akan melahirkan penindasan dan kekerasan.  

 

Alquran, kitab suci umat Islam bahkan secara tegas menyatakan bahwa “Tidak ada paksaan dalam beragama.” Artinya tidak boleh ada orang yang dipaksa memeluk agama Islam. Meskipun jika seseorang sudah menjadi Muslim, maka dia harus tunduk pada aturan-aturan agama Islam. Sebagai umat Islam, tentu kita percaya bahwa: 

قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ “Telah jelas mana jalan yang benar dan mana (daripada) jalan yang sesat.” (QS Al Baqarah 256). Kita tidak boleh memaksa orang untuk memeluk agama Islam, atau agama lainnya. Dalam menyikapi perbedaan keyakinan, kita diajari prinsip “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” 

Umat Islam juga dilarang berlaku tidak adil kepada siapapun. Melarang manusia untuk memeluk kepercayaan yang diyakininya serta perlakuan diskriminatif terhadap mereka yang berbeda keyakinan adalah bentuk ketidak-adilan. Padahal, perilaku adil adalah ciri orang-orang yang bertakwa.  

Karena keyakinan keagamaan dan kepercayaan merupakan sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, maka negara-negara di dunia menyepakati deklarasi universal tentang hak asasi manusia, yang juga mengakui kebebasan manusia untuk memliki agama dan keyakinan. Deklarasi ini juga mengakui kebebasan setiap orang untuk mempraktikkan dan mengekspresikan keyakinan agama dan kepercayaannya baik secara individu maupun kelompok (artikel 18).  

Tentu saja kebebasan berkeyakinan dan mengekspresikan keyakinan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengekspresikan kebencian dan penghinaan terhadap keyakinan orang lain.

Sebaliknya, kesepakatan untuk mengakui kebebasan berkeyakinan ini bertujuan agar manusia saling menghargai dan menghormati dalam beragama dan berkeyakinan.   

Orang Katolik atau orang Islam misalnya, boleh saja menganggap ajaran Kejawen, Bahai, Sikh, Ahmadiyah, atau agama Hindu dan lainnya adalah ajaran yang salah. Tetapi orang Katolik maupun orang Islam tidak boleh menghina ajaran agama dan kepercayaan mereka, apalagi melarang mereka untuk mempraktikkan ajaran agama dan kepercayaan mereka.  

Di Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat 1 dan 2, serta Pasal 29 ayat 2, UUD 1945 menegaskan jaminan bagi setiap orang untuk memeluk agama atau kepercayaan, serta beribadah menurut agama atau kepercayaannya masing-masing. Jaminan ini juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, pasal 22, tentang Hak Asasi Manusia.  

Beberapa peraturan perundang-undangan lain juga memberikan jaminan atas hak asasi setiap individu, termasuk hak untuk memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum, serta mendapatkan pelayanan publik tanpa diskriminasi berdasarkan identitas tertentu, termasuk agama dan kepercayaan. 

Lebih lanjut, keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 140/PUU-VII/2009, menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1/pnps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama tidak membatasi pengakuan atau perlindungan hanya terhadap enam agama, akan tetapi mengakui semua agama yang dianut rakyat Indonesia. 

Meskipun dalam praktiknya, pada sektor pendidikan dan administrasi kependudukan, para penganut kepercayaan di luar “agama resmi” masih sering mendapat perlakuan diskriminatif.  

Sebelum 2006, ada jutaan rakyat Indonesia yang terpaksa menuliskan nama agama tertentu pada kolom agama di KTP. Padahal agama tersebut bukan agama atau kepercayaan yang dianutnya. Alasannya, karena kepercayaan yang dianut, dianggap tidak diakui negara. 

Setelah 2006, ada kebijakan yang mengizinkan pemegang KTP untuk mengosongkan keterangan pada kolom agama pada KTP. Baru pada 2019, tepatnya pada 12 Februari, ada berita bahwa seorang pria bernama Bonie Nugraha Permana, berserta keluarganya bisa menuliskan kepercayaan kepada tuhan, pada kolom agama di KTP.  

Tidak adanya pengakuan atas agama dan kepercayaan tertentu serta perlindungan terhadap pemeluknya, menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap sebagian rakyat Indonesia yang dianggap tidak memeluk agama “resmi”.  Di antara mereka bahkan ada yang menerima kekerasan ketika melaksanakan peribadatan.   

Padahal istilah “agama resmi” atau “agama yang diakui” ini juga tidak jelas definisinya. Pembedaan antara agama serta kepercayaan yang “diakui” dan “tidak diakui” ini bahkan bisa dikatakan bertentangan dengan konstitusi.  

Sejak 1978, ada lima agama yang “diakui” di Indonesia. Lalu ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, ada tambahan satu lagi agama yang “diakui.” Pertanyaannya, siapa yang berhak menentukan agama dan  kepercayaan apa yang diakui dan tidak diakui negara? 

Pemerintah sebagai penanggungjawab kesejahteraan dan keamanan rakyat, harus tegas memberikan jaminan kebebasan berkeyakinan serta jaminan perlindungan atas semua penganut agama dan kepercayaan di Indonesia. 

Para pejabat negara, khususnya yang berkaitan dengan urusan keagamaan, kesejahteraan, dan kemanan, tidak boleh menganak-tirikan para pemeluk kepercayaan tertentu. Karena negara ini didirikan untuk semua rakyat Indonesia. Bukan untuk beberapa golongan tertentu saja. 

* Sekretaris PP MDS Rijalul Ansor, Pengamat sosial-keagamaan.  

 

 
Berita Terpopuler