Ustadz Adi Hidayat Bicara Vaksin Sinovac: Halal untuk Muslim

Ustadz Adi Hidayat menjelaskan hukum penggunaan vaksin Covid-19 Sinovac

AP/Tatan Syuflana
Ustadz Adi Hidayat menjelaskan hukum penggunaan vaksin Covid-19 Sinovac. Ilustrasi Sinovac
Rep: Andrian Saputra Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengajak umat untuk tidak ragu divaksin Covid-19 dengan jenis vaksin Sinovac. Sebab telah teruji baik dari sisi kehalalan, maupun efikasi dan keamanan vaksin pada tubuh manusia.

Baca Juga

Dalam akun YouTube resminya UAH kembali memaparkan tentang alasan mengapa vaksin Sinovac dapat digunakan umat Muslim sebagai vaksin yang sangat baik untuk membentengi diri agar terhindar dari terinfeksi virus Covid-19. 

UAH menjelaskan dalam kaidah dasar Islam segala sesuatu yang dikonsumsi, dimasukkan ke dalam tubuh, atau digunakan baik sandang, pangan, papan, maka secara umum konstruksi hukumnya harus memenuhi syarat halal dan tayib. Sebagaimana dijelaskan Alquran surat Al Baqarah ayat 168. 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu."

Halal berarti barang yang dikonsumsi atau digunakan tidak bermasalah secara syariat, suci baik dari materi asalnya atau pun dari cara memperoleh barang tersebut. Karena itu menurut UAH vaksin Covid-19 pun harus dipastikan kehalalannya khususnya dari sisi materi asal vaksin.  

Sementara tayib berarti barang yang dikonsumsi atau digunakan haruslah baik untuk dikonsumsi dan digunakan serta tidak menimbulkan dampak buruk bagi pengkonsumsinya.

Dalam hal vaksin Covid-19, maka tayib berarti adanya kesesuaian antara vaksin dengan kondisi tubuh. Artinya vaksin memiliki efikasi atau kemanjuran serta tubuh pun dipastikan dapat menerimanya sehingga tidak menimbulkan masalah kesehatan yang baru.  

Merujuk putusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 2 tahun 2021 tentang vaksin Covid-19 Sinovac, UAH memaparkan dalam fatwa tersebut MUI telah lengkap memaparkan mulai dari dasar hukum baik Alquran maupun hadits, kontruksi fiqih, rumusan tentang vaksin Sinovac.

Bahkan dalam fatwa itu juga memuat tinjauan ahli dalam hal ini laporan penjelasan hasil audit tim auditor LPPOM MUI bersama komisi fatwa ke Sinovac dan Biofarma tentang proses produksi dan bahan yang digunakan.

Dalam fatwa itu, dijelaskan bahwa vaksin vaksin diproduksi dengan platform virus yang dimatikan. Fasilitas produksi hanya digunakan untuk produksi vaksin Covid-19. Produksi vaksin mencakup tahapan penumbuhan vero cell (sel vero) sel inang bagi virus, penumbuhan virus, inaktivasi virus, pemurnian modifikasi, formulasi dan pengemasan.  

Sel vero merupakan sel diploid yang digunakan sebagai inang virus. Sel ini diperoleh dari sel ginjal kera hijau afrika dan terbukti aman untuk berfungsi sebagai inang virus dan telah disetujui who. Media pertumbuhan vero cell dibuat dari bahan kimia serum darah sapi dan produk mikrobial. 

Produk mikrobial yang digunakan berasal dari mikroba yang ditumbuhkan pada media yang terbuat dari bahan nabati, bahan kimia dan bahan mineral.  

Terdapat penggunaan tripsin dan enzim lainnya dalam tahap produksi dan pemurnian. Enzim yang digunakan ini merupakan produk mikrobial di mana mikroba ditumbuhkan pada media yang terbuat dari bahan nabati, bahan kimia, dan bahan mineral. 

Tidak ada penggunaan bahan turunan babi dan bahan yang berasal dari bagian tubuh manusia pada seluruh tahapan produksi. Selain itu dalam penyiapan media untuk produksi pada skala 1200 liter ditambahkan air murni sebanyak 1076 liter, selain itu pada tahapan formulasi juga ditambahkan air murni Sebanyak 930 liter sampai 940 liter per 1.000  liter hasil formulasi vaksin. Sedang kemasan primer produk yang digunakan terbuat dari kaca dan karet.  

Rapat komisi fatwa 8 Januari 2021 telah menyimpulkan bahwa vaksin Covid-19 Sinovac dalam proses produksinya tidak memanfaatkan bahan yang tercemar babi dan turunannya. Tidak memanfaatkan bagian tubuh manusia. 

(Prosesnya) bersentuhan dengan barang najis mutawasitah sehingga dihukumi mutanajis tetapi telah dilakukan pencucian yang sudah memenuhi ketentuan pensucian secara syar'i.

(Proses pembuatan) Menggunakan fasilitas produksi yang suci dan hanya digunakan untuk produksi produk vaksin Covid-19. Peralatan dalam proses produksi vaksin dipandang telah memenuhi ketentuan pensucian secara syari.

Keputusan BPOM RI telah memberikan persetujuan penggunaan pada masa darurat dan jaminan keamanan serta kemanjuran efikasi  yang menjadi salah satu indikator vaksin tersebut memenuhi kualifikasi tayib. MUI pun telah memutuskan vaksin Covid-19 Sinovac hukumnya suci dan halal.  

"Jadi dari faktor kehalalan aman, ya ingat ya. Jadi ketika ditanya kehalalannya MUI sudah meneliti suci dan halal dengan segala konstruksi hukum tadi," kata Ustadz Adi Hidayat. 

 

Sebab itu dia menjelaskan vaksin Covid-19 Sinovac boleh digunakan untuk umat Islam sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel yang kompeten.  

"Jadi kehalalan tadi pun tidak serta merta menjadikan misalnya  silakan, fatwanya diikat pada bagian yang kedua, sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten. Artinya apa, walaupun itu akan divaksinasi kan kepada umat Islam khsusnya maka harus ada jaminan dari vaksinator kepada vaksinated , yang memvaksin kepada yang divaksin, bahwa ini aman, ini baik," katanya. 

Sebab itu menurut Ustadz Adi Hidayat sebelum proses vaksinasi dilakukan vaksinator harus terbuka menjelaskan tentang kehalalan dan keamanan vaksin kepada orang yang divaksin. Sementara masyarakat pun harus terbuka tentang kondisi tubuhnya sehingga dapat diketahui sesuai tidaknya vaksin untuk diberikan kepada orang tersebut. 

Hal ini menurut UAH untuk mencapai thayyib yakni agar vaksin dapat memberi manfaat dan tidak menimbulkan kemudharatan terutama bagi kesehatan tubuh.  

"Jadi disini jelas untuk Sinovac kehalalan sudah dipastikan dari penelitian MUI ini tidak ada masalah. Tapi ketayiban, hati hati, ini sesuai dengan kondisi tubuh. Artinya di sini penting bersinergi, bekerjasama dalam program vaksinasi ini, " katanya.  

Sebab itu UAH mengusulkan agar dalam tahap proses vaksinasi pemerintah melibatkan tenaga kesehatan, satuan tugas, hingga ulama atau ustadz untuk menjelaskan berbagai aspek terkait vaksin kepada masyarakat.

Pada sisi lain, masyarakat pun harus terbuka tentang keadaan kondisi tubuhnya sehingga tidak terjadi hal yang diinginkan setelah divaksin. Menurut UAH adanya temuan kasus warga yang meninggal setelah di vaksin juga harus menjadi bahan evaluasi bersama.   

"Ini pelajaran untuk mencapai tayib. Yang penting semua jujur, yang memvaksinasi yang divaksinasi. Semua sinergi, kita sepakat Covid-19 nya ada, dirasakan, banyak yang menjadi korban, walaupun ada perbedaan pendapat tentang dari mana datangnya, apa sebabnya mengatasinya bagaimana. Tapi ini harus kita tangani, makanya saya mengajak semua bersinergi," katanya.     

 
Berita Terpopuler