KH Saleh Darat, Guru Pesantren-Pesantren (I)

KH Saleh Darat dijuluki sebagai guru pesantren-pesantren.

ANTARA/NOVRIAN ARBI
Ilustrasi Pondok Pesantren
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Muhammad Saleh bin Umar as-Samarani atau dikenal KH Saleh Darat, lahir di Desa Kedung Jumbleng, Jepara, Jawa Tengah, pada 1820. Nama belakangnya menandakan daerah tempatnya bermukim, yaitu Kampung Darat, sekitar pesisir Semarang. 

Baca Juga

Pesantren yang kelak didirikannya di sana juga mengambil nama yang sama. Pada Jumat, 18 Desember 1903, salik sekaligus pejuang anti-penjajahan ini wafat dalam usia 83 tahun. Saleh lahir dari keluarga yang memegang teguh tradisi pesantren. 

Ayahnya bernama Kiai Umar. Sewaktu Perang Diponegoro (1825-1830), dia merupakan salah satu pengikut setia sang pangeran asal Yogyakarta itu. Saleh memeroleh pendidikan dasar tentang agama Islam dari sang ayah. Beberapa bidang yang ditekuninya adalah tata bahasa Arab, akidah, akhlak, ilmu hadis, dan fiqih.

Saat beranjak remaja, ayahnya menyuruh Saleh untuk berguru pada beberapa kiai di Semarang. Di antaranya adalah KH Syahid Pati. Saleh belajar cukup banyak kitab fiqih kepada pemilik pesantren di Waturoyo itu.

 

 

Selanjutnya, Saleh mengembara ke Kudus untuk menemui KH M Saleh bin Asnawi untuk belajar Tafsir Jalalain. Usai dari sana, dia kembali ke Semarang untuk menuntut ilmu nahwu, sharaf, ilmu falak, dan karya-karya Imam Ghazali, kepada berturut-turut KH Ishak Damaran, KH Abu Abdillah, dan Sayyid Ahmad Bafaqih Ba'lawi.

Sebelum melanjutkan langkahnya, Saleh bertemu dengan Syekh Abdul Ghani Bi ma di Semarang untuk mengkaji kitab Ma sail al-Sittin karya Abu Abbas Ahmad al-Mishri. Akhirnya, dia tiba di Purworejo untuk menimba ilmu tasawuf dan tafsir Alquran dari Mbah Ahmad Alim.

Kesempatan besar tiba. Saleh dan ayahnya bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji. Mereka harus menghindari blo kade Belanda di perairan Nusantara. Apalagi, Kiai Umar merupakan simpatisan Pangeran Diponegoro sehingga besar kemungkinan pergerakannya telah diawasi intel.

Dari Jawa, bapak dan anak ini harus terlebih dahulu transit untuk waktu yang cukup lama di Singapura. Setelah situasi aman, baru kemudian mereka menuju Haramain pada 1835.

Perjalanan haji selanjutnya diarungi de ngan baik. Akan tetapi, Kiai Umar kemu dian meninggal dunia di Tanah Suci. Eng gan larut dalam kesedihan, Saleh memutuskan untuk tinggal sementara di Makkah. Niatnya untuk melanjutkan pelajaran ilmu-ilmu agama.

 

 

Masyhur di Tanah Suci

Abad ke-19, orang-orang Indonesia yang menuntut ilmu di Makkah telah membentuk komunitas Jawi. Saleh melanjutkan tradisi keilmuan yang telah berkembang di Tanah Suci. Ada sembilan orang guru terkemuka yang kepadanya Saleh belajar.

Pada Syekh Muhammad al-Muqri al- Mishri al-Makki, dia mengkaji kitab Umm al-Barahin karya Imam Sanusi yang terkait akidah. Saleh juga belajar pada Syekh Muham mad bin Sulaiman Hasballah tentang ilmu fiqih dengan kitab Fath al-Wahhab dan Syarah al-Khatib serta ilmu nahwu dengan buku Alfiyah Ibnu Malik. Atas kerja kerasnya, Saleh kemudian berhak mendapatkan ijazah sebagai tanda penerusan sanad dari gurunya ini.

Meneruskan pelajarannya tentang pemikiran Imam Ghazali, Saleh belajar pada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dan Sayyid Muhammad Sholih al-Zawawi al- Makki tentang Ihya ulumuddin. Sebagaimana yang dialaminya dengan Syekh Muhammad, dia juga memeroleh ijazah dari sini.

Rupanya, ketertarikan Saleh semakin me ningkat terhadap tasawuf. Dia lantas be lajar pada al-'Allamah Ahmad an-Nahawi al-Mishri al-Makki tentang kitab al- Hikam karya salik terkemuka, Ibnu Atha'illah as-Sakandari.

 

 

Fath al-Wahhab terus dikajinya dengan berguru pada Kiai Zaid dan Syekh Umar al-Syammi. Sementara, Saleh belajar kitab Syarah al-Tahrir karya Zakaria al-Anshari pada Syekh Yusuf al-Sunbulawi al-Mishri.

Syekh Jamal, seorang pengajar mazhab Imam Hanafi di Tanah Suci, juga menjadi guru bagi Saleh. Kelak, dia menulis satu buku tersendiri tentang pengalamannya menuntut ilmu-ilmu agama baik di Jawa maupun Haramain. Judulnya, Al-Mursyid al-Wajiz fi 'Ilmil Qur'an.

Selama di Makkah, kawan-kawannya banyak berasal dari komunitas Jawi. Mereka kelak masyhur sebagai ulama-ulama yang sangat terkemuka. Di antaranya adalah Syekh Nawawi al-Bantani, KH Cholil Bangkalan, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Syekh Mahfuzh at-Tirmasi yang belakangan menjadi menantu KH Saleh. 

Di pusat dunia Islam itu, kecerdasannya diakui di atas rata-rata. Bahkan, penguasa Haramain saat itu mengenal baik kepribadiannya. Karena itu, dia dipersilakan untuk ikut mengajar sejumlah murid di Masjid al- Haram, termasuk dari Indonesia.

 

 
Berita Terpopuler