KH Abdul Manam, Ulama Besar dari Banyuwangi (I)

KH Abdul Manam mendirikan Pondok Pesantren Minhajut Thullab.

pxhere
(Ilustrasi)KH Abdul Manan pendiri Pondok Pesantren Minhajut Thullab.
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah Indonesia, ada begitu banyak ulama yang menjadi panutan umat. Mereka tidak hanya berfokus pada transmisi ilmu-ilmu agama, tetapi juga turut berjuang bersama masyarakat dalam melawan kebodohan, keterbelakangan, dan penjajahan. Pada era kolonialisme, kaum mubaligh termasuk yang paling depan dalam memimpin perjuangan.

Baca Juga

Di Banyuwangi, Jawa Timur, salah satu ulama legendaris setempat ialah KH Abdul Manan. Mbah Manan, demikian dirinya akrab disapa, aktif membimbing dan memandu kaum Muslimin hingga akhir hayatnya. Pada masa mudanya, dai yang lahir dari lingkungan pesantren ini dijuluki sebagai jago silat.

Kemampuannya dalam membela diri membuat kocar-kacir para berandalan dan perampok yang kerap meresahkan masyarakat. Berlanjut pada masa tuanya, karisma sang alim cenderung menonjol dari keahliannya dalam beragam disiplin ilmu agama.

Baik pada masa muda maupun tuanya, Mbah Manan selalu menjaga riadat (riyadhah). Kebiasaannya dalam melakukan amalan tersebut tidak lain karena dirinya ingin terus mendekatkan hati dan pikiran kepada Allah SWT.

Bagi para santri dan pengikutnya, sang kiai dikenal sebagai seorang yang makbul doa-doanya. Karena itu, tidak sedikit warga yang meminta didoakan kebaikan olehnya.

 

 

Meskipun terkenal di Banyuwangi, Mbah Manan adalah seorang putra daerah Kediri, Jawa Timur. Ia lahir pada 1870 sebagai putra kedua dari KH Moh Ilyas. Ayahnya itu merupakan seorang ulama dari Banten. Adapun ibundanya, Umi Kultsum, berasal dari Jatirejo, Kediri.

Saat berusia satu tahun, Manan kecil dibawa ayahnya ke daerah yang berjulukan Kota Tahu itu. Kiai Ilyas membangun sebuah pondok pesantren di sana, tepatnya di Desa Ngadirejo, Kecamatan Kan dangan. Alhasil, Manan memperoleh pendidikan agama pertamanya di lembaga tersebut, langsung di bawah arahan ayahnya.

Setelah dibekali dasar-dasar ilmu agama, ia kemudian menjadi santri kelana. Dari satu pesantren ke pesantren lainnya, Manan muda menuntut ilmu. Awalnya, langkah kakinya masih berkelana sebatas di Jawa Timur.

Saat berusia 12 tahun, dirinya mengaji kepada Mbah Nawawi di Pondok Pesantren Ringin Agung. Dengan sang guru, anak muda ini cukup dekat dan disukai lantaran kecerdasan dan perangainya yang sopan santun.

 

 

Setelah itu, Manan melanjutkan rihlah keilmuannya ke Pondok Pesantren Gerompol. Lembaga ini tidaklah asing baginya karena neneknya pernah belajar di sana.

Selama di Gerompol, Manan muda mempelajari banyak hal, termasuk ilmu hikmah dan seni bela diri. Dengan penuh disiplin, ia pun menjadi seorang santri yang dikenal alim sekaligus jago tarung. Bahkan, beberapa kali dirinya menghadapi sejumlah berandalan dan perampok yang kerap meresahkan warga. 

Dari Gerompol, perjalanannya untuk terus menuntut ilmu belumlah selesai. Manan pun meneruskan langkahnya ke sebuah pondok pesantren yang diasuh KH Abbas di daerah Wlingi Blitar. Selanjutnya, berturut-turut dirinya menjadi santri di Pesantren Siwalayan Panji Sidoarjo, Pesantren Gayam Jombang, dan Pesantren Tegalsari Ponorogo. Semua itu dilakoninya dengan penuh kesungguhan.

Selain itu, remaja yang gemar mengkhatamkan Alquran ini juga pernah belajar di pondok pesantren yang dikelola Syaikhona Kholil al-Bangkalani di Pulau Madura, Jawa Timur. Pesantren ini memang sangat legendaris. Kiai Kholil pun dikenal luas sebagai gurunya para ulama nusantara.

Maka dari itu, Manan selalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya tatkala belajar di sana. Madura ternyata menjadi persinggahan baginya sebelum bertolak ke luar negeri. Santri Syaikhona ini berkesempatan menunaikan ibadah haji.

 

 

Perjalanan ke Tanah Suci itu dilakukannya tidak hanya untuk berhaji, tetapi meneruskan rihlah keilmuan. Tidak hanya para syekh Makkah dan Madinah, guru-guru dari Nusantara pun menjadi tempatnya menuntut ilmu selama di dua kota suci. Di pusat keilmuan Islam ini, ia belajar kurang lebih selama sembilan tahun.

Setelah puas belajar di Tanah Suci, ia pun pulang ke kampung halamannya di Desa Jatirejo, Kandangan, Kediri. Dengan ilmu agama yang didapatkannya, ia pun membantu mengajar para santri yang diasuh oleh ayahnya, Kiai Ilyas.

Tak berapa lama kemudian, KH Manan masih menyempatkan untuk belajar lagi ke Pondok Pesantren Al Ashriyah di Dusun Jalen, Desa Setail, Kecamatan Genteng. Pesantren ini disebut-sebut sebagai pesantren tertua di seluruh Banyuwangi.

Lembaga tersebut didirikan oleh KH Abdul Basyar, seorang ulama yang juga pendekar asal Banten. Dengan semangat belajar dan akhlaknya, Manan pun dipercaya oleh Kiai Abdul Basyar untuk menjadi lurah Pesantren Al Ashriyah.

 

 

Saat nyantri di pesantren ini, usianya sudah tidak muda lagi. Tambahan pula, ilmu-ilmu agamanya pun diakui oleh kiainya sendiri. Karena itu, tak berselang lama, Kiai Abdul Basyar menikahkan santri kesayangannya tersebut dengan salah satu putrinya yang bernama Siti Amisyatun.

Dari penikahannya ini, Kiai Manan dikarunia 12 putra dan putri, yaitu Nyai Siti Robi'ah Askandar, Tabsyrul Anam, Ma'ariful Waro, Rofiqotuddar ri, Nuryatun, Ma'rifatun, Khosyi'atun, Kamalu din, Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, istri Kiai Manan wafat. Setelah beberapa waktu menduda, ia menikah lagi dengan seorang wanita bernama Hajjah Umtiyatun. Dari istri keduanya ini, dirinya dikaruniai sembilan orang anak. Mereka adalah Nyai Asliyatun, Moh Soleh, KH Fahruddin, Moh Dalhar, Nyai St Aisyah, Dewi, Dafi'ul Bala', Nyai Mariyati dan KH Toha Muntaha.

 

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler