Road to Mecca dalam Pandangan Mualaf Yahudi

Jurnalis Yahudi Leopold Weiss meemluk Islam pada 1926.

saudigazette.com
Road to Mecca dalam Pandangan Mualaf Yahudi. Suasana Makkah di masa puncak musim haji tempo dulu
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Ani Nursalikah

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Lahir dari keluarga Yahudi tidak membuat Leopold Weiss membenci Islam. Bahkan dirinya memutuskan memeluk Islam pada 1926 setelah tinggal dan bekerja di Timur Tengah sebagai jurnalis. Semasa hidupnya, dia banyak menulis mengenai keislaman, termasuk menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Inggris.

Baca Juga

Usai memeluk Islam, dia diketahui mengganti namanya menjadi Muhammad Asad, salah satu nama yang dikenang hingga kini sebagai penulis The Road to Mecca (1952). Dalam setiap penulisannya, termasuk buku itu, dia membuat deskripsi jelas yang bisa menyentuh tentang haji dan para peziarahnya.

“Ini… adalah Ka’bah, tujuan kerinduan jutaan orang selama berabad-abad,’’ tulisnya dalam buku tersebut.

Namun demikian, Asad menuturkan, demi mencapai tujuan ini, banyak jamaah haji yang melakukan pengorbanan berat selama berabad-abad. Saat transportasi belum semaju sekarang, banyak di antara mereka yang meninggal di perjalanan karena kesulitan yang dihadapi.

Kabah sendiri, dijelaskannya, merupakan bangunan berbentuk kubus sempurna (sesuai dengan konotasi nama Arabnya) seluruhnya ditutupi dengan brokat hitam. Sebuah bangunan yang tidak berubah, sejak pertama kali dibangun di zaman Nabi Ibrahim

 

"Semua [keajaiban arsitektur] ini telah saya lihat—tetapi saya belum pernah merasakan yang begitu kuat seperti sekarang (Ka’bah), bahwa tangan pembangun telah begitu dekat dengan konsepsi keagamaannya" kata Asad.

Dikatakannya, dalam kesederhanaan yang ada, penolakan penuh dari semua keindahan garis dan bentuk berbicara dalam pemikiran yang ada. Sebab, keindahan apa pun yang diciptakan manusia dengan tangannya, hanyalah kesombongan untuk menganggapnya setara dengan sang pencipta.

"Oleh karena itu, hal paling sederhana yang dapat dipahami manusia adalah yang dapat ia lakukan untuk mengungkapkan kemuliaan Tuhan".

Jika ditilik lebih jauh, perasaan serupa memang bisa muncul dalam bangunan piramida Mesir. Meskipun, kenyataanya masih ada rasa sombong manusia yang dituangkan dalam dimensi bangunan tersebut, berbeda dengan Ka’bah yang dengan rendah hati membanggakan struktur kecil tiada tara.

Lebih jauh, menilik interior yang ada memang tidak ada arti khusus, karena kesucian Ka’bah berlaku untuk semua bangunan dan berupa kiblat umat Muslim. Namun demikian, Ka’bah menjadi simbol Keesaan Tuhan dan diwarnai dengan ratusan juta Muslim yang melakukan sujud di waktu yang sama ke arah tersebut.

 

Hajar Aswad

Meski bangunan Ka’bah hanya kubus biasa, terdapat keunggulan di dalamnya, selain dari isi bangunannya. Tertanam di sudut timur bangunan, batu hitam itu dibiarkan terbuka dengan dikelilingi oleh bingkai perak yang luas.

Hajar Aswad ini, yang telah dicium oleh banyak generasi peziarah, dan telah menjadi penyebab banyak kesalahpahaman di antara non-Muslim, yang percaya bahwa itu adalah jimat yang diambil alih oleh Nabi Muhammad (saw) sebagai konsesi kepada orang-orang kafir Makkah. Padahal, para peziarah, ketika mereka mencium Hajar Aswad, merasa mereka sedang memeluk Nabi dan semua Muslim lainnya yang telah berada di sini sebelum mereka, dan mereka yang akan datang setelah mereka.

Seorang petugas memberi wewangian untuk Hajar Aswad yang terletak di sudut timur Kabah di Makkah, Arab Saudi, Senin (27/7/2020). - (Saudi Ministry of Media via AP)

 
Berita Terpopuler