Diklat Pegawai tak Lulus TWK KPK yang Tetap Digelar

Diklat pegawai tak lulus TWK KPK mengabaikan kesimpulan maladministrasi Ombudsman.

Republika/Thoudy Badai
Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) menggunakan topeng dengan wajah Ketua KPK Firli Bahuri saat menggelar Aksi Selamatkan KPK di area Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (16/7). Aksi tersebut sebagai buntut polemik dari Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) saat proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara yang diduga sebagai upaya pelemahan lembaga antirasuah. Republika/Thoudy Badai
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Antara

Kemarin, Ombudsman Republik Indonesia sudah mengeluarkan kesimpulan dari proses pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terkait peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Ombudsman menemukan terdapat maladministrasi dalam seluruh proses TWK. Ombudsman menemukan adanya penyimpangan prosedur dalam pelaksanaan tes.

Hari ini, Ketua KPK, Firli Bahuri, seakan mengabaikan temuan Ombudsman. Firli pun resmi membuka diklat bela negara dan wawasan kebangsaan bagi 18 pegawai yang tidak lulus TWK di Universitas Pertahanan di kawasan Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Diklat dimulai pada 22 Juli sampai 30 Agustus 2021 di Kampus Universitas Pertahanan.

"Hari ini, saya membuka secara resmi pendidikan dan latihan bela negara serta wawasan kebangsaan di Universitas Pertahanan Sentul, Bogor, Jawa Barat," ucap dia, dalam keterangan yang diterima.

Ia mengapresiasi pegawai yang bersedia mengikuti diklat itu. "Hari ini jadi hari besar dengan jiwa ksatria di mana insan pegawai KPK bersedia mengabdi, cinta dan setia untuk negara sesuai cita-cita yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar," katanya.

Diketahui, 24 dari 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK masih dimungkinkan untuk dibina sebelum diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara. Dari 24 pegawai yang diberi kesempatan untuk mengikuti diklat, tercatat 18 pegawai telah bersedia dengan menandatangani formulir kesediaan untuk mengikuti diklat.

Sebanyak 18 pegawai yang bersedia mengikuti diklat, 16 pegawai akan mengikutinya secara langsung. Sedangkan dua pegawai yang masih menjalani isolasi mandiri akibat terpapar Covid-19 akan mengikutinya secara daring.

Adapun materi diklat meliputi studi dasar, inti, dan pendukung.Studi dasar mencakup wawasan kebangsaan (empat konsensus dasar negara), Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta, kepemimpinan berwawasan bela negara serta pencegahan dan penanggulangan terorisme/radikalisme dan konflik sosial. Studi inti, yaitu mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan dasar bela negara. Sedangkan studi pendukung antara lain pelaksanaan upacara pembukaan dan penutupan, muatan lokal (KPK) serta bimbingan dan pengasuhan.

Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar, menilai seharusnya KPK menangguhkan pelaksanaan pendidikan dan latihan. Alasannya, ada temuan kecacatan dalam proses TWK.

"Mengacu pada perjanjian yang cacat maka seharusnya (Diklat) seharusnya ditunda," kata Abdul Fickar Hadjar, Kamis (22/7).

Dia mengatakan, kalaupun ingin dilanjutkan maka harus dilakukan dengan aturan tertentu. Dia melanjutkan, harus juga ada kesepakatan antara semua pihak terkait agar program tersebut dapat terus berlanjut.

Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih dalam konferensi pers, Rabu (21/7), menjelaskan, hasil pemeriksaan terkait pengayaan TWK berfokus pada tiga isu utama. Pertama, berkaitan dengan rangkaian proses pembentukan kebijakan peralihan pegawai KPK menjadi ASN.

Pemeriksaan kedua, berkaitan dengan proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN. Pemeriksaan ketiga adalah pada tahap penetapan hasil asasemen TWK. "Tiga hal inilah yang oleh Ombudsman ditemukan maladministrasi," katanya.

Dia mengatakan, temuan ini akan diteruskan kepada pimpinan KPK, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Presiden Joko Widodo. Dia berharap temuan ini dapat ditindaklanjuti guan mengambil langkah lanjutan terkait proses TWK tersebut.

Dia menegaskan, hasil koreksi Ombudsman ini mengikat secara hukum mengingat hasil pemeriksaan merupakan produk hukum. Sebagai negara hukum maka KPK wajib mematuhi hukum dan apabila tidak memenuhi rekomendasi itu artinya tidak patuh terhadap hukum.

"Jika tidak patuh hukum berarti pejabat negara itu melanggar sumpah jabatan sehingga ada dampak hukumnya bagi mereka," katanya.

Baca Juga

Pimpinan KPK, KemenpanRB dan BKN memutuskan memecat 51 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) - (Republika.co.id.)











Selain rekomendasi Ombudsman yang sudah keluar, masih ada satu lagi kajian terkait TWK KPK. Yaitu oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI.

Komnas HAM menargetkan rekomendasi kasus TWK KPK keluar atau selesai pada akhir Juli 2021. "Komnas HAM berharap seluruh data, fakta, dan informasi tersebut segera dirampungkan pada akhir Juli 2021, mengacu pada situasi dan kondisi pandemi Covid-19," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, Kamis (22/7).

Ia mengatakan hari ini Tim Pemantauan dan Penyelidikan kasus TWK pegawai KPK telah melakukan pendalaman keterangan ahli. Upaya tersebut merupakan ketiga kalinya dilakukan terkait penggalian dari ahli.

Ahli yang dimintai keterangan oleh Komnas HAM yakni ahli hukum tata negara yang dilakukan secara virtual. Pendalaman keterangan ahli guna memperkuat konsep, hukum dan konsekuensi kewenangan, hirarki kelembagaan dan kepatuhan terhadap hukum.

"Hal ini merupakan bagian dari tata kelola suatu negara hukum," ujar dia.

Sementara itu, Tim Advokasi Save KPK menduga adanya upaya menghalangi penyidikan atau obstruction of justice oleh pimpinan lembaga antirasuah. Hal tersebut menyusul ditemukannya kecacatan administrasi dalam pelaksanaan TWK.

"Kami mendesak presiden memberhentikan Firli Bahuri dan kawan-kawan atau setidaknya menunjuk Plt (pelaksana tugas) agar indikasi Obstruction of Justice bisa diproses," kata Anggota Tim Advokasi Save KPK, Kurnia Ramadhana, dalam keterangan, Kamis (22/7).

TWK memang telah menyingkirkan beberapa penyelidik dan penyidik yang diketahui tengah menangani perkara-perkara besar semisal bantuan sosial (bansos) Covid-19, suap lobster hingga skandal pajak. Tes tersebut telah menyingkirkan tujuh kepala satuan tugas yang memimpin beberapa kasus penyidikan perkara korupsi.

Kurnia mengatakan, dugaan upaya menghalangi penyidikan juga muncul setelah ditemukan pemalsuan keterangan dan tanggal surat perjanjian kerjasama yang mundur (back dated). Dia melanjutkan, temuan itu menunjukkan adanya kesengajaan dari pimpinan KPK untuk mencapai tujuan tertentu.

"Kepolisian RI, khususnya Kabareskrim melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan-dugaan tindak pidana," katanya.

Lebih lanjut, Kurnia mengatakan, Surat Keputusan (SK) nomor 652 terkait penonaktifan pegawai KPK berstatus TMS seharusnya juga sudah tidak berlaku. Dia melanjutkan, hal tersebut juga berpaku setelah ditemukannya maladministrasi TWK oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI).

Koalisi meminta KPK segera membatalkan semua keputusan terkait TWK dan mengaktifkan kembali, memulihkan serta mengembalikan posisi dan hak-hak pegawai yang dinyatakan TMS. Termasuk tugas-tugas mereka sebelumnya dalam penanganan perkara.

Koalisi meminta presiden untuk memimpin langsung pelaksanaan laporan akhir hasil pemeriksaan Ombudsman. Kepala negara juga diminta untuk mengawasi tindakan korektif yang harus dilakukan oleh KPK dan BKN.

"Serta mengambil alih proses dengan melaksanakan rekomendasi jika pimpinan KPK dan BKN tidak melaksanakan tindakan korektif sebagaimana hasil Laporan hasil akhir ORI," katanya.

Di saat yang bersamaan, Dewas juga diminta segera menindaklanjuti laporan pegawai KPK dan koalisi masyarakat tentang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri dan kawan-kawan. Kurnia mengatakan, KPK membuktikan dirinya independen dengan meneruskan indikasi Obstruction of Justice dalam Laporan Ombudsman.

"Koalisi masyarakat telah pula melaporkan Firli Bahuri dan kawan-kawan kepada Dewan Pengawas KPK karena itu temuan dalam Laporan ORI ini telah cukup sebagai bukti untuk memproses, menyidangkan dan menghukum Firli Bahuri dan rekan-rekan," katanya.

Seperti diketahui, TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu sukses menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior, Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan tidak memenuhi syarat berdasarkan tes tersebut.

Puluhan pegawai TMS kemudian melaporkan pelaksanaan TWK ke Komnas HAM, Ombudsman hingga Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai ada pelanggaran HAM, maladministrasi serta bertentangan dengan putusan MK dalam tes tersebut.





 
Berita Terpopuler