Mengkritisi Rencana Tax Amnesty Jilid II di Tengah Pandemi

Tax amnesty jilid II tidak perlu karena sudah banyak insentif pajak selama pandemi.

Antara/Atika Fauziyyah
Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta. Pemerintah tengah berencana menggulirkan kebijakan Tax Amnesty Jilid II. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Novita Intan

Ekonom Senior Center Of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet belum melihat urgensi masuknya tax amnesty (TA) atau pengampunan pajak jilid II ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Untuk RUU KUP, pemerintah bisa fokus kepada reformasi perpajakan yang lebih esensial, seperti kenaikan tarif tertinggi dari pajak penghasilan (PPh) ataupun kepastian reformasi perpajakan untuk pajak pertambahan nilai (PPN)," ujar Yusuf di Jakarta, Senin (19/7).

Menurut Yusuf, kebijakan TA sering kali dipergunakan berbagai negara sebagai salah satu bentuk dari reformasi pajak, karena dari program tersebut pemerintah bisa memperbarui basis data perpajakan. Namun, pada umumnya TA dilakukan hanya satu kali saja, kalaupun lebih dari satu kali, dilakukan dalam rentang waktu yang panjang.

Dengan adanya wacana TA jilid II ini, Yusuf menilai hal tersebut tentu akan berbeda dengan pola umum selama ini karena baru lima tahun lalu pemerintah melaksanakan pengampunan pajak. Pada saat itu, ia menyebutkan, pemerintah dalam beberapa kampanye menyampaikan kebijakan TA tidak akan dilakukan lagi.

"Dengan demikian, wacana pengampunan pajak jilid II akan bertolak belakang dengan semangat TA jilid I kala itu," kata Yusuf.

Jika memang tujuan dari wacana TA jilid II adalah membantu proses pemulihan ekonomi, Yusuf menyarankan agar pemerintah bisa memberikan insentif pajak yang sebenarnya juga sudah dilakukan selama Covid-19 berlangsung. Sementara, jika ingin mendorong pemasukan negara, bisa dilakukan dengan menaikkan tarif tertinggi dari PPh atau pendekatan yang lebih ekstrem seperti penarikan pajak orang kaya.

Belajar dari pengalaman TA jilid I, ia menilai belum ada pengaruh signifikan ke penerimaan pajak, terutama dilihat dari rasio perpajakan atau tax ratio yang masih belum beranjak dari kisaran 10 atau 11 persen. Dari sisi keadilan, wacana TA jilid II, menurut Yusuf berpotensi mereduksi tujuan dari TA itu sendiri, sehingga wajib pajak (WP) bisa saja berpikir untuk tidak perlu disiplin dalam membayar atau melaporkan pajak karena akan ada TA jilid berikutnya.

Pengamat Pajak Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda juga menilai, rencana tax amnesty jilid II belum perlu dilakukan. Mengingat, saat ini bertabur pemberian insentif dari pemerintah.

"Masak sudah diberikan insentif, tetap saja yang tidak patuh pajak mau diampuni," kata Nailul di Jakarta, Senin.

Menurut Nailul, insentif yang diberikan pemerintah kepada para pengusaha sudah sangat banyak, pada saat pandemi melanda. Sehingga, rencana pemberian amnesti pajak yang masuk dalam RUU KUP tidak diperlukan.

Saat ini, pemberian insentif untuk dunia usaha terdampak Covid-19 yang masuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai Rp53,86 triliun. Perinciannya, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) Rp 5,78 triliun, pembebasan PPh 22 Impor Rp 13,08 triliun, pengurangan angsuran PPh 25 Rp 19,71 triliun, pajak penjualan barang mewah (PPnBM) DTP kendaraan bermotor Rp 2,99 triliun, serta insentif lainnya Rp12,3 triliun.

Terlebih lagi, sambung Nailul, pelaksanaan TA jilid I pun baru dilakukan beberapa tahun yang lalu dan masih sangat terlalu dekat jaraknya dengan rencana TA jilid II. Sehingga, akan menimbulkan persepsi WP untuk tidak usah membayar pajak karena nanti akan ada pengampunan kembali.

"Ini yang repot sebenarnya," ujar dia.

Nailul pun menduga masuknya pasal tax amnesty jilid II dalam RUU KUP merupakan saran dari beberapa pengusaha nakal yang sudah diberikan pengampunan pajak oleh pemerintah, namun masih melanggar. Terkait dengan penerimaan perpajakan, Nailul berpendapat TA jilid II tak akan terlalu berpengaruh besar.

"Semakin penanganan pandemi berlarut-larut, maka semakin lama pula penerimaan pajak kembali ke jalur normal," tegas Nailul.

 

Pada akhir Juni, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, tingkat kepatuhan wajib pajak mengalami kenaikan sebesar 78 persen sepanjang 2020. Adapun, realisasi ini secara konsisten meningkat dari 52 persen pada 2012.

Baca Juga

Sri Mulyani mengeklaim, meningkatnya kepatuhan wajib pajak didorong kesuksesan program pengampunan pajak atau tax amnesty yang diselenggarakan pada 2016 sampai 2017.

“Berbagai upaya seperti tax amnesty waktu itu meningkatkan secara cukup drastis 61 persen ke 73 persen,” ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi XI mengenai RUU KUP secara virtual, Senin (28/6).

Pada periode setelah tax amnesty, Sri Mulyani menjelaskan, terjadi peningkatan kepatuhan penyampaian SPT Tahunan dengan rasio kepatuhan wajib pajak peserta tax amnesty lebih tinggi dibandingkan rasio kepatuhan nasional.

Selain itu, pada periode setelah tax amnesty, PPh Tahunan orang pribadi peserta tax amnesty melonjak signifikan, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan non-peserta tax amnesty pada tahun yang sama. Adapun program tax amnesty, menurutnya, menjadi catatan bersejarah bagi Direktorat Jenderal Pajak.

“Hal ini karena termasuk sebagai program pengampunan pajak yang berhasil di seluruh dunia, dengan jumlah deklarasi mencapai Rp 4.884 triliun atau mencapai 39,3 persen,” ungkapnya.

"Bayangkan, 40 persen dari GDP kita yang tadinya tidak dideklarasikan kemudian dideklarasikan di dalam tax amnesty. Total uang tebusan mencapai Rp 114,54 triliun atau sekitar 0,92 persen dari GDP. Ini merupakan total terbesar di antara berbagai negara yang pernah melaksanakan tax amnesty," ucapnya.

Negara lain yang melakukan pengampunan pajak antara lain Jerman yang tebusannya sebesar 0,04 persen dari PDB mereka, Belgia 0,15 persen, Italia 0,20 persen, Chili 0,62 persen, India 0,58 persen, Afrika Selatan 0,17 persen, Spanyol 0,12 persen, dan Australia 0,04 persen.

Di samping itu, lanjut Sri Mulyani, fasilitas libur pajak atau tax holiday pada 2018 telah mendatangkan rencana investasi cukup besar bagi Indonesia. Adapun fasilitas tax holiday sebelumnya, yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130 Tahun 2011, hanya berhasil mendatangkan rencana investasi sebesar Rp 32,25 triliun sepanjang 2012 hingga 2015.

Sedangkan, tax holiday melalui PMK nomor 35 tahun 2018 berhasil mendatangkan rencana investasi senilai Rp 1.287 triliun dalam kurun 2018 hingga 2021.

"2018 kami mengubah skema tax holiday dengan mempermudah untuk mendapatkannya dan dari sisi enforcement-nya, dan dari 2018 telah menciptakan rencana investasi yang cukup besar yaitu Rp1.278 triliun rencana investasi," ucapnya.

Sri Mulyani melanjutkan dari total rencana investasi tersebut sekitar Rp 25,13 triliun di antaranya sudah terealisasi. Adapun rinciannya, Rp 1,48 triliun pada 2018, Rp 22,03 triliun pada 2019, dan Rp 1,6 triliun pada tahun lalu.

"Tentu kami berharap akan menghasilkan tidak hanya pertumbuhan tetapi juga penciptaan kesempatan lapangan kerja dan nilai tambah di dalam perekonomian kita," ucapnya.

Tak hanya tax holiday, fasilitas tax allowance yang dipermudah juga berdampak pada peningkatan rencana investasi ke Indonesia. Tercatat, sejak aturan fasilitas insentif pajak dalam PMK 78 Tahun 2019 diubah menjadi PMK 96 tahun 2020, ada Rp26,67 triliun rencana investasi yang masuk ke Indonesia.

Perinciannya, Rp 22 triliun pada 2020 dan Rp 4,66 triliun pada 2021. Meski demikian baru sekitar Rp 542 miliar investasi yang telah terealisasi.

"Tax allowance yang kami lakukan perubahan penyempurnaan dan kemudahan telah meningkatkan jumlah dari investornya, sebanyak 166 bidang usaha di berbagai lokasi investasi di Indonesia telah menikmati tax allowance," ucapnya.

 

Rasio pajak Indonesia rendah dan penerimaan pajak turun - (Tim Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler