Menelusi Jejak Dakwah KH Muhammad Isa Anshari (I)

KH Muhammad Isa Anshari merupakan tokoh yang piawai berpidato di hadapan publik.

blogspot.com
Dakwah islamiyah (ilustrasi).
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, KH Muhammad Isa Anshari merupakan tokoh yang piawai berpidato di hadapan publik, sehingga para pendengarnya terpengaruh dengan kata-katanya. Atas kepiawaiannya dalam berpidato, dia pun mendapatkan julukan Singa Podium.

Baca Juga

Kiai Isa, panggilannya, adalah alim sekaligus politisi asal Sumatra Barat. Selain piawai dalam berpidato, ulama ini juga sangat jago menulis. Karya-karyanya sekuat pidato-pidato yang ia sampaikan di atas podium, sehingga membuat Presiden Sukarno saat itu menjadi gerah.

Dalam bukunya yang berjudul Mujahid Dakwah, Kiai Isa mengatakan bahwa pidato dan pena harus bergerak serempak. Dalam berdakwah sebaiknya lisan dan tulisan berjalan seiring.

Dia mengatakan, dengan kekuatan yang dimilikinya, para orator akan menegakkan kembali kepala bangsanya yang sudah terbenam dalam lumpur kehinaan dan kerendahan. Menurut dia, para nabi dan rasul pada umumnya juga merupakan seorang ahli pidato yang patut dicontoh. Para nabi dan rasul yang di kirim ke dunia pada umumnya adalah ahli pidato yang ulung, juru dakwah yang bijak, mubaligh yang tangkas.

Sementara, tulisan dan jejak pena seorang pengarang akan menjadi pelopor dari suatu pemikiran, pandangan, keyakinan, ide, dan cita. Menurut dia, revolusi-revolusi besar di dunia juga selalu di dahului oleh jejak pena dari seorang pengarang.

 

 

Dalam dunia jusnalistik, Kiai Isa pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Aliran Muda dan Laskar Islam. Dia juga pernah menjadi pembantu tetap Pelita Andalas Medan dan beberapa penerbitan di Bandung.

Di antara karya yang ditulis Kiai Isa adalah Islam dan Demokrasi (1938), Tuntunan Puasa (1940), Islam dan Kolektivisme (1941), Pegangan Melawan Fasisme Jepang (1942), Barat dan Timur (1948), Falsafah Perjuangan Islam (1949), dan banyak lagi karya lainnya.

Dalam buku 50 Pendakwah Pengubah Sejarah, M Anwar Djaelani menjelaskan, dengan kekuatan lisan dan tulisan yang dimilikinya, Kiai Isa dapat menunaikan amanat Allah, yaitu menyampaikan hikmah dan pelajaran.

Lewat lisan dan tulisannya, Kiai Isa secara tegas menyuarakan kebenaran, sehingga para pendengar dan pembacanya dapat membedakan antara yang haq dan yang batil. Dunia dan manusia jangan dibiarkan hanya mendengarkan kebohongan dan kepalsuan.

 

 

Masa Kecil Kiai Isa KH Muhammad Isa Anshari lahir di Maninjau, Agam, Sumatra Barat, pada 1 Juli 1916. Sejak kecil, dia dikenal sebagai pribadi dengan jiwa pejuang dan dibekali dengan pendidikan agama. Ia besar di lingkungan yang religius, sehingga banyak menguasai isu keislaman.

Namun, di samping mempelajari agama dari kedua orang tuanya, Kiai Isa juga menimba ilmu di surau. Ketika remaja, dia sudah aktif di berbagai organisasi keislaman, seperti di Muhammadiyah, Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia, dan Indonesia Berparlemen.

Menginjak usia 16 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di madrasah Islam, ia kemudian merantau ke Kota Bandung untuk mengenyam pendidikan lebih dalam dengan mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan umum.

Di Bandung inilah semangat pergerakannya kembali ia kembangkan. Di sana dia bergabung dengan organisasi Persatuan Islam (Persis), sehingga cakrawala keislamannya semakin luas. Pada 1953 hingga 1960, Kiai Isa pun diamanatkan menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Persis. Namanya mulai terdengar di kancah perpolitikan nasional.

Dia sukses menggantikan para pendahulunya di Persis, seperti KH Zamzam, KH Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Mohammad Natsir. Kiai Isa banyak menorehkan torehan penting dalam sejarah perjalanan Persis. Di antaranya yaitu melakukan reorganisasi.

 

 
Berita Terpopuler