Sosok: Abdul Abdul Karim Oei (Bagian Kedua)

Nama Haji Abdul Karim menjadi figur penting dalam dakwah Islam di Indonesia.

REPUBLIKA
Jamaah Masjid Lautze 2 Bandung menjalankan ibadah shalat Jumat di masjid, Jl Tamblong, Bandung, Jumat (16/10). Setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar pertama di Kota Bandung dibuka kembali masjid ini kembali melayani shalat Jumat dengan menerapkan protokol kesehatan.Selain ibadah rutin, masjid ini memberikan bimbingan rutin kepada mualaf yang kebanyakan berasal dari etnis tionghoa.
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/Hasanul Rizqa Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum merantau, Haji Abdul Karim Oei mendapatkan didikan agama Khonghucu ataupun Kristen. Namun, ia merasa masih ingin melakukan pencarian spiritual.

Baca Juga

Karena itu, ia membaca banyak buku dan majalah tentang Islam. Agama ini dianut mayoritas kawannya sehingga menarik perhatiannya.

Sewaktu di Padang, dirinya sudah mendengar banyak stigma tentang Islam dan para pemeluknya. Umat Islam disebut-sebut sebagai orang-orang yang terbelakang dan pemalas.

Akan tetapi, adanya stereotip demikian malah membangkitkan rasa ingin tahunya untuk benar-benar mengenal agama ini. Pada 1926 atau ketika usianya 20 tahun, Oei memutuskan untuk menjadi Muslim. Kala itu, amat jarang terjadi seorang Tionghoa memeluk Islam.

Pada mulanya, ia sempat cemas kalau sampai ayah dan saudara-saudaranya mengeta hui kabar keislamannya. Namun, pikirannya mulai tenang ketika seorang ustaz bernama Abdul Kadir mengajarkan kepadanya hakikat keberagaman, seperti termaktub dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 13.

 

Akhirnya bapaknya mendengar kabar ini. Oei pun ditanya, mengapa mengikuti agama orang Melayu, padahal mereka dikenal terbelakang daripada Tionghoa. Namun, pemuda ini tetap pada pendiriannya.

Dengan lemah lembut, ayahnya diberi tahu tentang kesetaraan dalam pandangan Islam. Belakangan, sikap dan kiprah Oei di jalan dakwah dan pergerakan mengetuk hati ayahnya, yang akhirnya ikut memeluk Islam.

Selain Ustaz Abdul Kadir, tokoh lain yang menjadi tempatnya belajar Islam ialah Ustaz Fikir Daud. Alumnus Sekolah Thawalib Padang Panjang ini juga memperkenalkannya pada tokoh-tokoh Muslim nusantara kala itu, seperti AM Sangadji, Syekh Ahmad Syurkati, dan A Hassan. Dalam autobiografinya, Oei menyebut, dua nama yang tersebut pertama menempati posisi khusus di hatinya. 

Di Minangkabau, Ustaz Fikir adalah seorang tokoh Muhammadiyah. Bersama dengannya, Oei turut menyokong berdirinya cabang Muhammadiyah di Bengkulu. Mulai saat itu, dirinya memantapkan hati untuk berjuang di medan dakwah. Terbukti, umpamanya, ketika seseorang ingin memberikan zakat kepadanya selaku mualaf.

Dia pun menjawab bahwa dirinya bukan lagi mualaf, melainkan dai, Seorang mualaf masih harus diyakinkan. Lebih baik memberikan zakat kepada seseorang yang memiliki hak lebih besar, orang miskin salah satunya.

Oei berdakwah dari kampung ke kampung di daerah Bintuhan dan Kaur. Inilah salah satu jasanya dalam mengembangkan Muhammadiyah hingga ke pelosok Bengkulu.

 

Nasionalis pejuang

Waktu itu, Oei mulai berguru pada Haji Rasul atau Syekh Abdul Karim Amrullah. Dari ayahanda Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) tersebut, dirinya mendapatkan nama baru, Abdul Karim. Nama lengkapnya menjadi Abdul Karim Oei Tjeng Hien. Masa-masa di Bengkulu membentuk Oei menjadi pribadi yang cinta Tanah Air dan antipenjajahan.

Pada 1938, Sukarno diasingkan Belanda ke Bengkulu. Periode pengasingan sang penyambung lidah rakyat Indonesia itu menjadi berkah tersendiri untuk kaum nasionalis di daerah tersebut.

Sebab, mereka kian meningkatkan soliditas pergerakan sejak itu. Abdul Karim Oei pun bersahabat baik dengan pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) itu, sebagaimana persahabatannya dengan Buya Hamka. 

Semasa Bung Karno diasingkan ke Bengkulu, Oei pernah diusulkan menggantikan konsul Muhammadiyah Kota Bengkulu. Saran itu datang dari mertua Bung Karno, Hassan Din.

Sebab, konsul sebelumnya sedang sakit parah. Oei sempat menolak tawaran ini karena enggan meninggalkan warga Muhammadiyah di Bintuhan. Namun, Bung Karno kemudian meyakinkannya sembari mengajak bekerja sama.

 

Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan di Jakarta, 17 Agustus 1945. Kaum nasionalis di berbagai daerah menyambut gembira momen itu dan siap sedia mempertahankan kedaulatan. Belanda masih ingin menjajah kembali Tanah Air.

Menjelang Agresi Militer Belanda, Oei sudah menjadi Ketua Partai Masyumi di Bengkulu. Pasca-Agresi Militer II, dirinya menjadi buronan tentara kolonial. Bersama dengan kawan-kawan seperjuangan, semisal Residen Mr Hazairin, Letkol Barlian, dan Affan, ia pun melarikan diri ke pedalaman Bengkulu dengan kendaraan.

Sementara, Belanda terus menjatuhkan bom dari udara. Pasukannya juga melacak di darat. Oei dan kawan-kawan beserta laskar perjuangan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Di Muara Aman, sempat terjadi aksi boikot masyarakat setempat. Mereka enggan menjual makanan. Tidak mau persoalan ini kian membesar, Letkol Barlian mengusulkan Oei menjadi penengah.

Muslim Tionghoa ini dipandang sebagai tokoh Muhammadiyah yang disegani di Bengkulu. Dengan kemampuan Oei dalam bernegosiasi dan komunikasi, penduduk akhirnya insaf. Mereka menyadari keengganannya itu seolah-olah menjadikannya kaki tangan Belanda, padahal tidak demikian. Mereka pun bersedia membantu kaum pergerakan.

Bersambung.. 

 
Berita Terpopuler