Jihad Pendidikan Ormas-Ormas Islam

Agama menjadi pegangan Muhammadiyah, NU, hingga Persis berjihad di bidang pendidikan.

Daan Yahya/Republika
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Kalender masehi menunjukkan tanggal 1 Desember 1911, ketika KH Ahmad Dahlan mengubah ruang tamu rumahnya yang berukuran sekitar 2,5 x 6 meter di Kampung Kauman, Yogyakarta, menjadi ruang kelas. Meja, kursi, dan papan tulis disusun selaras dengan jumlah muridnya yang saat itu tak lebih dari 10 orang. Dari ruang tamu itu, Kiai Dahlan membangun pondasi sekolah modern yang kelak melahirkan organisasi Muhammadiyah yang berjihad lewat dunia pendidikan hingga menggurita seperti sekarang.

Kisah berdirinya sekolah pertama Kiai Dahlan direkam sempurna dan dirawikan oleh salah satu muridnya, KH Muhammad Syoedja dalam buku Cerita Tentang Kiyai Ahmad Dahlan, catatan Haji Muhammad Syoedja. Kiai Syoedja menulis, "ruang kelas" itu memiliki tiga meja dan tiga bangku sekolah yang terbuat dari kayu jati putih dari luar negeri, dan papan tulis berbahan kayu suren.

“Murid-murid terdiri sembilan orang anak pada permulaannya. Kalau sudah tambah tiga orang murid, baru ditambah satu meja dan satu bangku sekolah lagi," tulis Kiai Syoedja.

Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah itu lahir berkat hasrat dan semangat besarnya Kiai Dahlan. Awalnya memang berjalan lambat, baru ketika menginjak bulan keenam murid Kiai Dahlan mencapai 20-an orang.

"Mulai bulan ketujuh sekolahan itu dapat sumbangan guru umum dari Boedi Oetomo, terdiri dari pada aspiran guru tamatan Kweekschool yang belum menerima penetapan dari Gouvernement,” kata Syoedja’. Kiai Dahlan mengelola sekolah itu secara modern dengan metode dan kurikulum baru dengan mengadopsi ilmu pengetahuan yang berkembang pada awal abad 20 yang dikolaborasi dengan pengetahuan agama.

Setelah satu abad berlalu, seperti dilansir muhammadiyah.or.id, setidaknya terdapat 5.758 sekolah mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi milik Muhammadiyah. Tepatnya 2.604 SD/MI, 1.772 (SMP/MTs), 1.143 (SMA/MA/SMK), 67 Pondok Pesantren, serta 172 perguruan tinggi.



Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam di Indonesia yang berjihad lewat pendidikan. Selain Muhammadiyah, dalam risalah bangsa sejumlah ormas Islam ikut berjuang mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, di antaranya Nahdatul Ulama (NU) dengan kultur pesantrennya, dan Persatuan Islam (Persis), hingga Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang disebut menjadi salah satu peletak dasar pendidikan Islam modern di Indonesia.

"Kunci sukses lembaga pendidikan yang masih bertahan di Muhammadiyah, NU, dan di Persis adalah keikhlasan," kata sejarawan dari Universitas Indonesia, Ustadz Dr Tiar Anwar Bachtiar saat berbincang dengan Republika.co.id via sambungan telepon.

Menurut Dr Tiar, para penyelenggara pendidikan dari ormas Islam bukan semata-mata ingin mendapatkan keuntungan dunawi, tetapi mereka berusaha lewat lembaga pendidikan untuk berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta'ala sebagai wujud amaliyahnya dalam meraih ridho-Nya. "Kata kuncinya kan pasti itu (jihad lewat pendidikan). Tidak akan ada orang lain menyumbang, misalnya untuk membangun gedung-gedung pendidikan, untuk membiayai guru-guru, dan sebagainya. Jadi ini keikhlasan luar biasa," kata Dr Tiar.

"Artinya," kata sejarawan yang aktif di Persis itu melanjutkan, "ikhlas itu yang diharapkan tidak ada yang lain kecuali pahala dari Allah subhanahu wa ta'ala itu kunci utamanya."

Dr Tiar menjelaskan, Muhammadiyah dan Persis, memilih jalur pendidikan sebagai jalan jihad, karena latar belakang gagasan pembaharuan yang diterima Muhammadiyah dan Persis berasal dari pokok yang sama, dari gagasan ulama asal Mesir Syekh Muhammad Abduh, seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Gagasan Syekh Abduh adalah reformasi pendidikan Islam, sehingga ia mencoba memperbaiki situasi pendidikan di Mesir, terutama di Al-Azhar. Ia, kata Dr Tiar, berusaha menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk melakukan perubahan.

"Umat Islam pada saat yang sama sedang mengalami penjajahan kolonialisme. Di antara upaya meanghapuskan kolonialisme itu adalah meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan," ujar Dr Tiar.

Mengapa umat Islam terjajah, karena SDM-nya lemah. Karena itu menurut Dr Tiar, Muhammadiyah dan Peris yang menginduk pada gagasan Muhammad Abduh memilih mengurusi pendidikan. Namun, bukan hanya Muhammadiyah dan Persis, pesantren-pesantren dari NU seperti Pesantren Gontor dan yang didirikan sezaman pada masa itu juga mengurusi masalah pendidikan.

"Semua merasakan Belanda itu diskriminasi, jadi umat Islam tidak boleh belajar ilmu-ilmu (umum), terutama ilmu yang didapatkan orang-orang Eropa seperti membaca dan sebagainya. Dari sanalah mengapa ormas Islam pada awal abad 20 itu lebih memilih bidang pendidikan," imbuh dia.

NU yang lahir dari rahim pesantren-pesantren yang dibina para kiai sejak puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya. Atas dasar itulah menurut Dr Tiar...

NU yang lahir dari rahim pesantren-pesantren yang dibina para kiai sejak puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya. Atas dasar itulah menurut Dr Tiar mengapa NU memilih jalur pendidikan. "Jadi NU itu lahir dari pesantren, bukan pesantren lahir dari NU. Pesantren itu identik dengan NU," ucap dia.

Pendapat serupa disampaikan Pengamat Pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah yang percaya para ulama sangat sadar bahwa membangun bangsa dan masyarakat itu medianya adalah pendidikan. Ia berpendapat, masyarakat yang cerdas akan melahirkan bangsa yang kuat dan merdeka.

"Hal ini didasarkan pada nilai-nilai Islam atau Alquran dan hadits. Tentu saja sejarah kebudayaan Islam. Pembangunan pendidikan juga secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat," kata Jejen dalam pesan singkatnya via WhatsApp.



Jejen meyakini kunci sukses para ulama pendiri ormas-ormas Islam di Indonesia menjaga peradaban pendidikan di Indonesia adalah keikhlasan, bukan sekadar mencari keuntungan. Para ulama, kata Jejen, juga mencintai santri dan siswanya dengan tulus, hingga lembaga-lembaga pendidikan Islam memiliki manajemen yang transparan disertai ibadah dan doa para pendiri.

"Tanpa keikhlasan dan doa tidak akan bertahan suatu lembaga pendidikan. Terakhir, adalah kerja keras. Mereka bekerja keras mempertahankan idealisme dan menjaga mutu lembaga," ucap dia.

Pendidikan model pesantren yang dikembangkan ormas-ormas Islam di mata pengamat sosial budaya dari UIN Walisongo, Dr Ahwan Fanani, sudah menjadi bagian dari khazanah pendidikan Islam di Indonesia sejak dulu. “Model pendidikan pesantren ini sudah ada jauh sebelum republik ini berdiri. Bahkan jauh sebelum ormas-ormas Islam lahir,” kata Ahwan menerangkan.

Ia berkata, berkembangnya pesantren di Indonesia dari masa ke masa, tidak lepas dari cara pandang masyarakat mengenai belajar. Belajar zaman dulu, kata dia, disebut "mbeguru" atau berguru.

Berguru, kata dia, sebenarnya fenomena umum karena dalam sistem pendidikan klasik kunci pendidikan adalah guru. Dalam tradisi Islam, China maupun India, sentra pendidikan ada pada sosok guru, sehingga orang belajar dengan mencari guru seraya melayani guru. "Inilah yang kemudian menjadi ciri khas pesantren tradisional,” kata dia menjelaskan.

Falsafah Pendidikan Islam
Muhammadiyah, NU, Persis, Al Irsyad secara prinsip berbasis pada satu landasan yang sama, pengembangan pendidikan menggunakan pelajaran agama. Dr Tiar menjelaskan, NU yang kuat dengan kultur pesantrennya menitikberatkan kepada pengkajian masalah-masalah agama. Sehingga nantinya NU melahirkan para guru agama, para mubaligh, para ustadz, para kiai, yang kemudian akan mendirikan pesantren-pesantren di berbagai daerah, seperti di Tebuireng atau di Jombang.

Hal ini penting karena menurut Dr Tiar, masyarakat membutuhkan pembimbing di tengah kehidupannya. Pola ini kemudian ditiru Persis dengan mendirikan lembaga pendidikan yakni pesantren. "Tujuannya juga sama, yakni melahirkan para mubaligh pendidikan umat dalam bidang agama," ujar Dr Tiar menjelaskan.

Namun, yang dilakukan Muhammadiyah sedikit berbeda. Muhammadiyah berkeinginan melahirkan para teknokrat, pada ahli dalam bidang non-agama tetapi memiliki kekampuan dan pemahaman agama yang baik. Itulah yang dilakukan oleh Muhammadiyah.

"Tetapi tentu saja basisnya di dalam pendidikannya adalah menekankan bagaimana agama itu menjadi pegangan, aqidah menjadi landasan, syariat menjadi tuntunan, dalam kehidupannya," ucap Dr Tiar.

Sehingga nanti, kata Dr Tiar melanjutkan, baik NU, Muhammadiyah, Persis, dan ormas Islam lainnya, yang menjadi landasan di dalam amal tetap agama. "Apa pun nanti kiprahnya secara fardhu kifayah, apakah dia nanti akan menjadi mubaligh, kiai, atau menjadi teknokrat, menjadi pebisnis dan sebagainya."



Ia pun meyakini jika pola pendidikan yang digunakan ormas-ormas Islam masih layak digunakan di era modern. Bahkan menurut dia bisa diterapkan secara bersisian dengan pola pendidikan karakter yang digaungkan pemerintah saat ini.

"Apakah ini relevan, masih sangat relevan dan bahkan sampai kapan pun itu karena memang agama sebagai basis untuk pendidikan itu adalah sesuatu yang mutlak di dalam Islam," ucap dia.

Di tengah kemunduran akhlak dan moralitas bangsa ini, pemerintah dan pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan pun disarankan menerapkan model kurikulum seperti madrasah atau pesantren. "Ya sudah sepantasnya kurikulum agama itu bukan hanya sekedar menjadi lip service saja, tetapi dia betul-betul dijadikan sebagai landasan untuk membangun karakter anak-anak didik," ujar Dr Tiar.

Dukungan juga datang dari Jejen Musfah terkait pendidikan pesantren, madrasah, atau diniyah takmiliyah yang dinilainya masih sangat relevan diterapkan di era modern seperti sekarang. Sistem pendidikan Islam menurut dia merupakan yang paling tepat dalam mengembangkan karakter.

Ia berkata, karakter tidak hanya diajarkan, tetapi dipraktikan dalam pembiasaan di lingkungan lembaga pendidikan. Menurut Jejen, kegagalan pendidikan karakter di sekolah karena sering apa yang diajarkan tidak dilakukan dalam aktivitas sehari-hari. "Apalagi saat siswa berada di luar sekolah," ucap dia.

Sekjen Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ini pun berpendapat, dunia pendidikan Indonesia tidak hanya sekadar alih kurikulum dalam menerapkan pola pendidikan pesantren. Hal utama dalam pendidikan karakter menurut dia adalah teladan dari kepala sekolah, guru, dan staf.

"Jika siswa melihat warga sekolah atau pendidik baik, maka mereka akan terpengaruh. Tentu saja diperlukan kedisiplinan dalam menegakkan tata tertib. Hukuman bagi pelanggar harus ditegakkan," ujar Jejen.

Pesantren sendiri, dalam pandangan Dr Ahwan, terus mengalami evolusi. Awalnya, banyak pesantren berkembang dari pengajaran di masjid. Karena banyaknya pelajar dari daerah lain, maka dibuatkanlah tempat tinggal bagi santri.

Namun sejalan dengan perkembangan zaman pesantren juga terus menyesuaikan diri. "Sehingga muncul pesantren salaf, pesantren semi modern dan pesantren modern yang menyediakan pendidikan formal hingga jenjang dasar sampai perguruan tinggi,” ujar Dr Ahwan.

Fenomena menarik saat ini, kata Ahwan, adalah terjadinya passing over, dalam dunia pendidikan Islam. Organisasi pembaharu semacam Muhammadiyah dan Persis yang sebelumnya  menekankan pendidikan sekolah umum juga mengembangkan pendidikan agama yang lebih fokus sebagaimana pesantren.

Sebaliknya, ormas seperti NU, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Wathan, dan Perti yang dulunya fokus pada pesantren secara berangsur juga mengadopsi sistem sekolah. “Ini perkembangan yang bagus sekali. Masing-masing ormas berkembang saling melengkapi dan memajukan khasanah pendidikan Islam di negeri ini,” ujar Ahwan.

 
Berita Terpopuler