BOR Jakarta Hampir Penuh, Pakar: Pemerintah Harus Serius

Epidemiolog meyakini bila BOR Jakarta dibiarkan maka situasinya semakin memburuk

ANTARA/M Risyal Hidayat
Seorang tenaga kesehatan berjalan di selasar Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Selasa (15/6/2021). Menurut Koordinator RSDC Wisma Atlet Kemayoran Mayjen TNI Tugas Ratmono, pihaknya menambah jumlah kapasitas tempat tidur menjadi 7.394 dari 5.994 akibat tingginya penularan COVID-19 di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Rep: Rr Laeny Sulistyawati Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus Covid-19 di Tanah Air melonjak akhir-akhir ini bahkan membuat keterisian tempat tidur (BOR) di rumah sakit (RS) sejumlah tempat, termasuk DKI Jakarta hampir penuh.  Pemerintah diharapkan serius dan tidak setengah-setengah dalam menangani kasus penularan virus ini.

"Tentunya kita pasti tidak ingin kalau pemerintah tidak melakukan upaya lebih serius. Kasus harian terakhir kan hampir menembus hampir 15 ribu, jadi kalau tidak ada upaya yang serius maka mungkin bisa lebih tinggi dari itu atau kasusnya terus bertambah," kata Pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Laura Navika Yamani saat dihubungi Republika, Selasa (22/6).

Artinya, Laura khawatir kondisinya bisa lebih terpuruk. Sebab, dia melanjutkan, dengan angka kasus saat ini, sudah banyak BOR yang kemudian mendekati angka maksimal dan tempat isolasi juga diisi banyak pasien.

Kemudian dampaknya adalah petugas permakaman juga kewalahan. Bahkan ia sempat melihat ada yang mengunggah foto membawa jenazah pasien Covid-19 yang tidak lagi digunakan ambulans, tetapi menggunakan truk karena banyak jenazah yang harus diantar.

"Ini yang sangat miris sebetulnya kalau melihat kondisi ini. Saya kira pemerintah harusnya lebih mengedepankan masalah kesehatan dibandingkan ekonomi," katanya.

 

Ia menyadari, pemerintah ingin membangkikan ekonomi, namun ia meminta pemerintah sadar kondisi saat ini masih belum memungkinkan. Meski seperti memakan buah simalakama, Laura meminta pemerintah harus memilih yang mana.

"Saya rasa dengan kondisi saat ini, harusnya kesehatan jadi pilihan utama," ujarnya.

Jadi, ia meminta kalau pemerintah melakukan pembatasan kegiatan masyarakat, harusnya ada pembatasan yang serius, jangan yang setengah-setengah. Kalau perlu, ia meminta pemerintah kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), terutama pada warga DKI Jakarta.

Sebab, Laura berkaca dari PSBB sebelumnya yang menunjukkan penurunan kasus. Harapannya kalau pemerintah berani mengeluarkan pengetatan mobilisasi masyarakat, ini bisa mengurangi kasus Covid-19.

Artinya, lebih fokus penanganan penyebaran Covid-19 yang sudah ada. Diharapkan dengan pengetatan mobilisasi ini, tentunya tidak terjadi transmisi virus yang masif. Kemudian, nantinya meringankan beban petugas tenaga kesehatan (nakes).

"Kuncinya adalah mobilisasi masyarakat, begitu ada peningkatan mobilisasi maka virusnya lebih mudah menyebar. Apalagi kita tidak tahu apakah ada varian baru virus yang tentunya dengan kondisi mobilisasi yang dikatakan normal padahal peningkatan kasusnya akan berlipat-lipat," katanya.

 

Jadi kesimpulannya ia meminta pemerintah harus lebih serius memperhatikan kesehatan dan jangan setengah-setengah. Salah satu bentuk keseriusan itu bisa dengan pengetatan mobilisasi.

Sebaliknya, kalau kondisi ini dibiarkan maka Laura khawatir situasinya semakin memburuk. Bahkan, ia mengutip pernyataan para tenaga kesehatan bahwa orang yang datang berobat ke rumah sakit padahal tempatnya sudah penuh dan tidak bisa menampung orang yang datang dengan kondisi kritis maka mereka terpaksa harus memilih yang kondisinya masih bisa diselamatkan. 

"Kemudian pasien lainnya yang kondisinya lebih kritis akan dibiarkan, nah ini kan ngeri kan. Padahal, seharusnya bisa mendapatkan penanganan yang maksimal," katanya.

 

Kemudian, dia melanjutkan, kondisi seperti saat ini berujung pada kematian yang juga memberi dampak lahan permakaman semakin penuh.

 
Berita Terpopuler