22 Juni: Piagam Jakarta, Ulama dan Pancasila

Pertarungan dan kompromi ide besar antara Soekarno dan ulama.

Istimewa
Soekarno berpidato dalam sidang BPUPKI.
Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Setiap 1 Juni bangsa Indonesia merayakan Hari Lahir Pancasila. Pertanyaannya: benarkah rumusan Pancasila yang kita kenal sekarang sama dengan rumusan Pancasila seperti yang ada dalam Piagam Jakarta.

Rumusan Pancasila 1 Juni 1945 terdapat dalam apa yang disebut Piagam Jakarta. Pada 18 Agustus 1945 setelah Proklamasi 17 Agustus, Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD 45 dan rumusan Pancasila berubah, yaitu sila pertama. Dalam Piagam Jakarta sila pertama dari dasar negara berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Namun, pada rumusan 18 Agustus 1945 berubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Piagam Jakarta adalah nama yang diberikan Mr Muhammad Yamin atas sebuah kesepakatan yang berisi tentang teks tertulis yang isinya memuat rumusan dari hukum dasar negara Republik Indonesia. Piagam ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan (Panitia Kecil BPUPKI) pada 22 Juni 1945 di rumah Bung Karno (rumah itu telah dibongkar dan dijadikan kompleks Monumen Proklamasi yang berada di Jl Pegangsaan Timur Jakarta).

Piagam ini dibuat setelah melalui rapat maraton yang berlangsung selama sepekan, mulai 10-16 Juli 1945. Untuk mencapai kesepakatan, sidang berlangsung alot dan penuh adu argumen yang melibatkan dua kelompok kebangsaan yang saat itu sangat berpengaruh, yakni kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Dalam piagam ini tertuang arah dan tujuan bernegera serta memuat pula lima rumusan dasar negara (Pancasila).

Sedangkan, BPUPKI dibentuk pada 29 April 1945 sebagai pelaksanaan janji pemerintah pendudukan Jepang untuk memberi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dan, ketika ingin membahas dasar negara secara lebih serius, kemudian BPUPKI membentuk tim kecil yang berisi sembilan tokoh yang dianggap mewakili dua kelompok penting tersebut, yakni nasionalis sekuler dan nasionalis agama.

Mereka adalah Ir Sukarno, Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr Muhammad Yamin. Salah satu hasilnya adalah berhasil membuat naskah pembukaan undang-undang dasar dan rumusan dasar negara meski ada sedikit perbedaan, misalnya dengan apa yang dipidatokan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945.

 

 

 

 

Soekarno memang berpidato yang memukau pada 1 Juni 1945 di depan anggota BPUPKI. Soekarno saat itu menawarkan lima prinsip dasar negara yang disebutnya sebagai Pancasila, terdiri atas kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan (lihat Risalah Sidang BPUPKI Sekneg RI 1998).

Selain nama Pancasila, Soekarno juga menawarkan istilah Trisila (Socio-nasionalisme, socio-democratie, dan Ketuhanan yang menghormati satu sama lain). Bahkan, Soekarno pada pidato itu masih menenggang sikap anggota BPUPKI bila ada yang tak setuju dengan "bilangan lima dan tiga", maka dasar negara bisa hanya satu saja (Ekasila), yakni gotong royong.

"Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong royong," begitu kata Soekarno.

Dan, perlu diketahui pula, pidato Soekarno mengenai materi dasar negara ini adalah terjadi pada sidang BPUPKI pada hari ketiga, setelah M Yamin berpidato pada hari yang pertama 29 Mei 1945 dengan mengajukan saran dasar negara "Peri Kebangsaan, Peri Kemanusian, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat". Sedangkan, pada 31 Mei Ki Bagus Hadikusumo pun sudah berpidato terlebih dahulu dengan menyarankan Islam sebagai dasar negara dengan argumen: mengingat sebagian rakyat Indonesia beragama Islam.

Dan, setelah Ki Bagus berpidato, pada hari yang sama, yakni masiih pada tanggal 31 Mei, Prof Mr Dr Soepomo pun menyampaikan pemikirannya. Dia menyampaikan mengenai pilihan tiga teori negara yang disebutnya sebagai teori "perseorangan", teori "golongan" dan teori "integralistik". Dalam kesempatan itu Soepomo menyatakan, oleh karena pemimpin bersatu jiwa dengan rakyat, maka hak-hak warga negara tidak perlu diadakan jaminan hak-hak warga negara secara eksplisit dalam undang-undang dasar.

Seperti ditulis Saafroeddin Bahar dan Nannie Hudawati ketika memberikan kata pengantar pada buku edisi keempat Risalah Sidang BPUPKI, di sana ditegaskan: “Walaupun tidak--atau belum--diambil keputusan mengenai dasar negara, namun pidato Ir Soekarno tanggal 1 Juni mempunyai arti penting. Ini bukan saja dapat mengintegrasikan seluruh pandangan para anggota BPUPKI menjadi satu kesatuan utuh, tetapi juga disampaikan dengan retorika yang kuat.

Pidato Ir Soekarno tersebut memang mendapat sambutan secara aklamasi oleh seluruh anggota BPUPKI. Meskipun demikian, Saafroeddin Bahar dan Nannie Hudawatie menambahkan, suasana di dalam sidang pertama ini masih terus ditandai perbedaan paham tentang dasar negara, antara dua golongan anggota yang kemudian diberi nama sebagai "golongan Islam" dan "golongan kebangsaan".

 

 

Bila membaca kembali risalah sidang BPUPKI, memang terasa ada tarik-menarik antara keinginan mendirikan negara berdasarkan Pancasila dan negara berasaskan agama Islam. Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi terus berkeras atas pendapat mendirikan negara berasaskan ajaran Islam. Sikap anggota BPUPKI yang berasa dari golongan Islam pun bersikap senada. Situasi ini terlihat jelas dalam risalah sidang BPUPKI.

Namun, bila risalah itu lebih dicermati lagi, sikap ngotot Ki Bagus dan Kiai Sanusi bukan tanpa kompromi. Ini dibuktikan pada sikap keduanya pada rapat lanjutan BPUPKI yang berlangsung pada 14 dan 15 Juli 1945. Pada saat itu, Ki Bagus dan Kiai Sanusi yang pada awalnya menyarankan agar agama Islam dijadikan dasar negara, namun karena menyadari risiko terpecahnya negara bangsa jika usul itu dilaksanakan, maka keduanya pun mencabut kembali usulannya. Perubahan sikap ini terjadi karena tidak jelasnya arti anak kalimat yang kemudian tercantum dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 tanggal 22 Juni 1945, yaitu: "... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Menyadari ketidakjelasan arti itu, maka Ki Bagus dan Kiai Sanusi kemudian dengan gigih menuntut agar anak kalimat tersebut dicoret saja. Mereka berpendirian bahwa jika BPUPKI tidak menyetujui negara berdasar agama (agama Islam--Red), maka negara bersikap netral saja terhadap masalah agama ini.

Namun kemudian, menurut  Saafroeddin dan Nannie Hudawatie, sungguh menjadi mengherankan bila usul Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Sanusi itu justru ditolak dengan keras oleh Ketua BPUPKI DR Radjiman Wedyodingrat dan Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar Ir Soekarno.

"Keterangan yang kami peroleh dalam membaca risalah ini hanyalah bahwa sikap Radjiman dan Soekarno tersebut didasarkan pada argumen yang amat formal dan legalistik. Kedua, beliau ini berpendapat bahwa rumusan tersebut merupakan kompromi yang dicapai dengan susah payah antara apa yang dinamakan 'golongan Islam' dan 'golongan kebangsaan'. Pencoretan tujuh kata tersebut dikhawatirkan akan mementahkan kembali masalah yang sudah diselesaikan," tulis Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawatie.

Bila dilihat dari kacamata yang lain, misalnya dari sisi kepentingan politik praktis kekuasaan, Radjiman dan Soekarno sadar sepenuhnya bila keinginan kekuatan golongan Islam tidak diakomodasi, maka kekuatan negara akan melemah. Umat Islam menjadi tidak punya rasa memiliki atas bangsa yang hendak berdiri merdeka itu. Para ulama dan kaum Muslim jadi punya argumen bahwa mencintai Tanah Air adalah bukan menjadi kewajibannya karena negara Indonesia tidak mau mengakomodasi kepentingan mereka.

Pilihan sikap itu pada kemudian hari tepat adanya. Menjelang peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945, keluarlah Fatwa (Resolusi) Jihad dari KH Hasyim Asy’ari bahwa mencintai Tanah Air (Indonesia) adalah bagian dari iman mereka yang berperang dan kemudian mati dalam pertempuran adalah mati syahid.

Terkait dengan soal debat dasar negara, Staf Pribadi M Natsir yang menulis buku Muhammadiyah untuk Indonesia mengatakan, Ki Bagus Hadikusumo dan para tokoh Islam yang menjadi anggota BPUPKI memang berkeras agar Islam dijadikan dasar negara. Sikap ini terus terjadi dalam rapat-rapat BPUPKI hingga menjelang disepakatinya kesepakatan 22 Juni 1945, atau terbentuknya Piagam Jakarta.

''Bahkan, sebelum ada tim kecil yang jumlahnya 9 orang, sebetulnya telah dulu ada tim 8 yang tugasnya merangkum pemikiran apa saja yang berkembang dalam soal pembahasan dasar negara. Di situ sudah mulai ada kesepakatan awal bahwa Ketuhanan merupakan sila pertama. Tapi, ini berbeda dengan rumusan sila Soekarno yang menyatakan Ketuhanan yang berkebudayaan,'' kata Lukman.

 

Pada sidang BPUPKI sebenarnya saat itu ada tujuh usulan dasar negara yang diiventarisasi oleh Panitia 8 BPUPKI, yakni kebangsaan dan ketuhanan, kebangsaan dan kerakyatan, kebangsaan, kerakyatakan, dan ketuhanan, kebangsaan, kerakyatan, dan kekeluargaan, kemakmuran hidup bersama berpegangan teguh pada tuntutan Tuhan yang Maha esa agama negara adalah Islam, kebangsaan kerakyatan dan Islam, Jiwa Asia Timur Raya. Dan, inilah kemudian menyebabkan dalam rapat Panitia 9 (Tim Kecil BPUPKI) kemudian disepakati bila Ketuhanan ditempatkan sebagai sila pertama karena ini merupakan aspirasi terbesar yeng berkembang di rapat BPUPKI.

Meski begitu, Ki Bagus dan para tokoh Islam saat itu belum menyepakati usulan tersebut. Dalam forum sidang kedua "rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945' Ki Bagus berkeras pada rumusan sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam. Usulan ini terus ditolak oleh 'golongan kebangsaan'.

Maka, rapat berjalan dengan debat yang panas. Saking panasnya KH Abul Kahar Muzakir--karena keinginan kelompok Islam selalu ditolak--mengusulkan sebuah pendapat 'esktrem'  bahwa  semua yang berbau Islam seperti penyebutan Allah atau Istilah agama Islam lainnya dicoret saja dalam undang-undang dasar. Muzakir mengatakan hal ini sembari emosi dengan memukul meja (Ki Bagus pada kesempatan lain ikut pula menjadi emosi dengan memulai pembicaraan seraya mengucap kalimat tawa'ud: Aku berlindung kepada Allah terhadap godaan setan yang terkutuk).

''... Kami sekalian yang dinamakan wakil-wakil Islam mohon dengan hormat, supaya dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu,'' kata Muzakir sembari mengusulkan kata 'rahmat-Nya', 'berkat-Nya', 'pertolongan-Nya' ikut juga dicoret saja.

Usulan 'ekstrem' ini kemudian ditolak langsung Soekarno (Ketua Panitia Kecil BPUKI). ''Tuan Ketua kami tidak mufakat atas usul Tuan Muzakir itu. Terima kasih,'' kata Soekarno.

Melihat memanasnya situasi, maka Kiai Sanusi mengambil inisiatif agar sidang ditunda supaya bisa berpikir tenang. Usulan disetujui ketua sidang, Radjiman Wedyodingrat.

''Nah, selesai sidang, maka Bung Karno selama semalam penuh melakukan lobi kepada para tokoh Islam. Ketika sidang dibuka ,Bung Karno langsung meminta agar usulan kelompok Islam diakomodasi, seperti Negara Berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Hasil lobi Soekarno yang dilakukan selama semalaman ini kemudian disepakati dan dimuat dalam Piagam Jakarta. Jadi, jasa Bung Karno dalam Piagam Jakarta sangatlah besar,'' kata Lukman.

Bukan hanya itu, Lukman menambahkan, sikap Soekarno atas rumusan Piagam Jakarta yang memuat 'tujuh kata' itu tak tergoyahkan ketika ada lobi dari tokoh Indonesia Timur yang beragama Nasrani dengan dibantu Hatta, agar tujuh kata terebut dihilangkan. Soekarno tetap tidak mau mengubah pendiriannya karena itu merupakan hasil kesepakatan bersama.

''Maka, Hatta-lah yang kemudian maju melobi kelompok Islam. Saat itu kebetulan hanya Ki Bagus yang ada di Jakarta, anggota lainnya sedang pulang ke daerah. Pelobi itu adalah juga tokoh Islam teman dekat Ki Bagus Hadikusumo, yakni Kasman Singodimedjo. Pendek kata, Ki Bagus luluh hatinya meski kemudian meminta agar rumusan Pancasila memakai kalimat seperti yang ada sekarang, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Di situlah bukti tak terbantahkan dari kelapangan atau toleransi dari para tokoh Islam kepada kelompok lain demi mencapai Indonesia merdeka ini,'' kata Lukman Hakiem.

 

 

 
Berita Terpopuler