Keuangan DKI tak Baik Saat Kasus Covid Kembali Menanjak Naik

"Tidak bisa bohong faktanya sekarang kondisi keuangan DKI dalam kondisi tidak baik."

ANTARA/M Risyal Hidayat
Petugas memakamkan jenazah dengan protokol COVID-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (21/6/2021). Data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 per hari Senin (21/6) menyebutkan kasus positif COVID-19 bertambah 14.536 orang sehingga total menjadi 2.004.445 orang, sementara kasus pasien sembuh bertambah 9.233 orang menjadi 1.801.761 orang, dan kasus meninggal akibat COVID-19 bertambah 294 jiwa sehingga totalnya menjadi 54.956 jiwa.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Haura Hafizhah, Sapto Andika Candra, Antara

Di tengah gencarnya wacana mengkarantina atau lockdown Jakarta menyusul lonjakan kasus Covid-19, Pemprov DKI Jakarta mengakui kondisi keuangan pemerintahannya sedang tidak baik-baik saja. Sekretaris Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta Pilar Hendrani mengungkapkan, hal itu pada Senin (21/6).

"Kalau (anggaran) dibilang ada, ya ada. Tetapi tidak bisa bohong juga kalau faktanya sekarang kondisi keuangan DKI dalam kondisi yang tidak baik," kata Pilar.

Berdasarkan data Bapenda DKI per Senin (21/6), realisasi penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) mencapai Rp 1,77 Triliun atau 26,97 persen dari target sebesar Rp 6,6 Triliun. Kemudian, terdapat dua jenis pajak dengan realisasi penerimaan bergerak positif, yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) senilai Rp 3,94 Triliun dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) sebesar Rp 2,09 Trilun.

Baca Juga

Adapun total realisasi penerimaan pajak DKI Jakarta baru mencapai Rp 11,08 triliun atau 25,28 persen dari target perolehan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2021, yakni sebesar Rp 43,84 Triliun. Pilar menjelaskan, kondisi tersebut disebabkan sektor-sektor usaha yang menjadi obyek pajak daerah tidak dimungkinkan untuk ditarik secara maksimal, lantaran terdampak pandemi Covid-19.

Berdasarkan hitungan kasar, dana sebesar Rp 11,08 triliun yang didapatkan dari pendapatan pajak dan retribusi daerah hingga triwulan dua tahun 2021 tersebut, jikapun ditambah dana penanggulangan Covid-19 yang dimiliki DKI sekitar Rp 5 triliun, masih belum mencukupi untuk biaya makan selama sebulan untuk 10,56 juta penduduk DKI.

 

 

Karena untuk memenuhi kebutuhan makan penduduk Jakarta, dengan perkiraan satu kali makan sebesar Rp 20 ribu, membutuhkan biaya sekitar Rp 19 triliun. Itupun belum termasuk biaya penunjang lainnya untuk listrik dan air serta penduduk non KTP DKI yang berada di Ibu Kota.

"Uang ada, ya ada. Tetapi cukup atau tidak cukupnya saya tidak bisa komentar karena besaran kebutuhanya saya tidak tahu," ujar Pilar.

Meski demikian, Pilar menuturkan, tren penerimaan pajak tahun ini cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan tahun lalu. Salah satunya adalah dari BPHTB.

"BPHTB kontribusinya positif, walaupun enggak baik-baik amat. Kalau dibanding tahun lalu, kita sekarang lebih baik," ungkap dia.

Ihwal kondisi pandemi di DKI Jakarta, sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Widyastuti mengatakan, tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) di rumah sakit rujukan Covid-19 di Ibu Kota pada Senin (21/6) mencapai 90 persen. Sedangkan untuk ruang ICU, Widyastuti menyebut, saat ini sudah terisi 81 persen.

"Saat ini ada 90 persen keterpakaian tempat tidur isolasi di Jakarta, sedangkan ICU 81 persen. Ini kami total ada 106 RS di DKI Jakarta dengan 13-nya adalah dedicated full untuk Covid-19," kata Widyastuti di Balai Kota Jakarta, Senin.

Seperti diketahui, DKI Jakarta telah memecahkan rekor kasus harian Covid-19 dalam tiga hari beruntun. Rekor harian pertama terjadi pada Jumat (18/6) dengan jumlah 4.737 kasus baru. Sehari berselang, Sabtu (19/6), rekor itu disalip lagi dengan 4.895 kasus baru. Lalu, pada Ahad (20/6), kasus harian Jakarta memecahkan rekor tertingginya selama pandemi Covid-19, yakni sebesar 5.582 kasus baru.

In Picture: Kasus Covid-19 di Jawa Barat Naik, Hari Ini Capai 344.568

Sejumlah petugas mengenakan alat pelindung diri (APD) memakamkan jenazah dengan protokol Covid-19 di TPU Cikadut, Jalan Cikadut, Mandalajati, Kota Bandung, Senin (21/6). Berdasarkan hasil data yang dihimpun dari situs pikobar.jabarprov.go.id hingga (21/6) pukul 17.30 WIB tercatat kasus terkonfirmasi Covid-19 di Jawa Barat sudah mencapai 344.568 kasus dan angka kematian akibat Covid-19 sebanyak 4.609 orang sementara jumlah pasien yang dinyatakan sembuh mencapai 311.203 kasus. Foto: Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

 

Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban mengatakan pemerintah harus menetapkan lockdown selama dua pekan untuk memperlambat penyebaran virus Covid-19. Ia juga mengingatkan, positivity rate di Indonesia sudah hampir 40 persen.

"Saran saya. Lebih bijaksana bagi Indonesia untuk terapkan lockdown selama dua minggu. Untuk apa? Memperlambat penyebaran, meratakan kurva, menyelamatkan fasilitas kesehatan, dan yang pamungkas menahan situasi pandemi jadi ekstrem yang akan membahayakan lebih banyak nyawa," katanya dalam cuitan di akun Twitter miliknya, Senin (21/6).

Kemudian, ia melanjutkan setiap hari terdapat orang-orang yang bertaruh nyawa di rumah sakit. Masyarakat harus sadar dan merenungkan hal ini agar tetap laksanakan protokol kesehatan (prokes).

"Masih saja ada yang menggelar pesta nikah atau sunat putranya ketika positivity rate hampir mendekati 40 persen, yang notabene tinggi juga. Sedangkan banyak orang yang bertaruh nyawa di rumah sakit. Mari kami renungkan," kata dia.

Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono juga merekomendasikan untuk dilakukannya lockdown wilayah untuk menghentikan penyebaran virus Corona penyebab Covid-19 khususnya varian baru seperti varian Delta.

"Ada upaya-upaya pencegahan penyebaran varian baru harusnya dilakukan penguncian atau lockdown untuk penyebaran varian baru ini baik itu di Kudus, Bangkalan, Madura, Jakarta, dan sebagainya," kata Yunis, Senin.

Yunis menerangkan, varian virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 yang pertama kali muncul menularkan hanya ke dua orang, namun varian baru sekarang ini bisa menularkan ke empat atau delapan orang. Sehingga, potensi penularannya di tengah masyarakat makin tinggi dan berdampak pada peningkatan kasus.

"Oleh karena itu, harus dilakukan lockdown," tuturnya.

 

 

Yunis mengatakan, lockdown tersebut bukan hanya untuk menurunkan kasus Covid-19 semata. Tetapi, agar penyebaran varian baru yang sangat menular bisa dicegah meluas.

"Kalau ada ditemukan kasus baru dengan varian baru yang banyak kayak di Kudus maka harus dilakukan lockdown, di Bangkalan harus lakukan lockdown kabupaten, terus Jakarta apakah kota madya atau provinsi harus lihat sebarannya," ujarnya.

Ketika ditemukan banyak muncul kasus dengan varian baru, Yunis menuturkan harus secepatnya dilakukan penguncian untuk menghentikan penyebaran varian baru tersebut di kota, kabupaten, provinsi. Jangan sampai varian tersebut lebih dulu menyebar ke kota, kabupaten atau provinsi lain.

"Lockdown-nya lihat sebarannya kalau sudah banyak (kasus) kecamatannya maka lockdown-nya kabupaten," tuturnya.

Merespons desakan lockdown, pemerintah menegaskan masih belum mengambil opsi tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, kebijakan pengendalian Covid-19 yang dilakukan pemerintah adalah penguatan PPKM mikro.

"Yang kita lakukan adalah penguatan PPKM mikro yang mengatur berbagai kegiatan. Di mana kegiatan itu dilakukan dalam zonasi yang sudah ditentukan. Jadi itu mengatur kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan kedisiplinan masyarakat," kata Airlangga dalam keterangan pers usai rapat terbatas dengan Presiden Jokowi, Senin (21/6).

Penguatan PPKM mikro, ujar Airlangga, sudah terbukti cukup ampuh menekan angka penularan di Kudus, Jawa Tengah dan Bangkalan, Jawa Timur. Penguatan PPKM mikro sendiri dilakukan dalam waktu dua pekan, dimulai 22 Juni hingga 5 Juli 2021.

Infografis angka kesembuhan menurun namun kasus positif melonjak - (Republika)

 
Berita Terpopuler