Filipina: ICC Selidiki Kampanye Narkoba Bukan Masalah Besar

Pemberitaan media yang dijadikan dasar investigasi jaksa dinilai tidak akan berlaku

Filipina menilai langkah penuntut Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk melanjutkan investigasi terkait perang narkoba Filipina bukan masalah besar.
Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Filipina menilai langkah penuntut Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk melanjutkan investigasi terkait perang narkoba Filipina bukan masalah besar.

Baca Juga

Sebab, menurut Istana Kepresidenan Filipina, pemberitaan media yang dijadikan dasar investigasi jaksa penuntut dinilai tidak akan berlaku di pengadilan.

Juru Bicara Kepresidenan Harry Roque mengungkapkan Presiden Rodrigo Duterte langsung mempertanyakan mengapa jaksa penuntut ICC menggunakan pemberitaan media sebagai dasar laporannya.

“Karena membutuhkan otorisasi yudisial untuk melanjutkan investigasi, pengacara tahu bahwa Anda tidak dapat memulai proses apapun berdasarkan bukti desas-desus,” kata Roque, dikutip dari Philstar, Jumat (18/6).

Maka dari itu, Roque menyatakan Filipina merasa percaya diri. Meskipun investigasi berlanjut, menurut Roque, pemberitaan media yang dijadikan sumber tidak akan lolos tahap konfirmasi dakwaan di ICC atau pra-pengadilan.

“Setelah kita melihat keputusan setebal 52 halaman, mengetahui mereka mengutip Rappler dan ABS-CBN dan Inquirer, kami entah bagaimana merasa lega karena dalam hukum, semua surat kabar ini hanyalah desas-desus,” ucap Roque.

Pada 14 Juni 2021, Jaksa Utama ICC Fatou Bensouda mengumumkan pemeriksaan pendahuluan terhadap situasi di Filipina sudah selesai dan telah meminta izin pengadilan untuk melanjutkan investigasi.

Fatou mengumumkan hal itu sehari sebelum dia pensiun dari ICC.

 

Selama tahap pemeriksaan pendahuluan, Kantor Kejaksaan menentukan di mana ada cukup bukti yang akan berada dalam yurisdiksi ICC, kemudian berlanjut ke tahap investigasi.

Fatou meyakini ada dasar yang masuk akal bahwa terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan yakni pembunuhan di Filipina antara 1 Juli 2016-16 Maret 2019 dalam konteks kampanye “war on drugs” pemerintah Filipina.

Meskipun Filipina telah keluar dari ICC pada 17 Maret 2019, menurut Fatou, pengadilan tetap memiliki kewenangan atas kejahatan yang diduga terjadi di sebuah negara ketika negara itu masih menjadi negara anggota Statuta Roma, perjanjian yang menciptakan ICC.

Pemerintah Filipina mencatat sekitar 6.600 orang telah tewas oleh polisi dalam tembak-menembak dengan tersangka pengedar narkoba sejak Presiden Filipina Rodrigo Duterte terpilih pada 2016.

Perang narkoba selama tiga tahun telah menimbulkan pertumpahan darah di Filipina, dengan laporan pembunuhan para tersangka oleh polisi dan pria bersenjata bertopeng hampir setiap malam.

 

 
Berita Terpopuler