Syarat Aman Berolahraga untuk Pengidap Hipertensi

Pengidap hipertensi dapat berolahraga dengan aman.

Republika/Putra M. Akbar
Seorang warga bermain badminton di Rusun Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta, Kamis (19/11). Pengidap hipertensi dapat berolahraga dengan aman asalkan kondisinya terkontrol.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekhawatiran mengenai keamanan berolahraga untuk pengidap tekanan darah tinggi mencuat menyusul wafatnya legenda bulu tangkis nasional Markis Kido usai berlatih di GOR Petrolin, Tangerang, pada Senin (14/6). Orang dengan riwayat hipertensi sebetulnya aman melakukan olahraga bulu tangkis, namun ada syaratnya.

"Untuk hipertensi yang terkontrol sebenarnya tidak apa apa, artinya terkontrol itu stabil normal dengan obat," ujar dokter spesialis jantung dan pembuluh dr Vito A Damay kepada Antara melalui pesan elektroniknya, dikutip Kamis.

Baca Juga

Pebulutangkis Markis Kido meninggal dunia saat sedang bermain bulu tangkis di di GOR Petrolin, Tangerang, Senin (14/6). Atlet yang bersama Hendra Setiawan meraih emas Olimpiade 2008 di Beijing, China ini diketahui mengidap hipertensi.- (EPA)


Hanya saja, terkadang penyandang hipertensi tak sadar penyakitnya sudah menyebabkan komplikasi, seperti penebalan jantung atau pembengkakan jantung. Untuk itu, Vito mengingatkan pentingnya pemeriksaan di organ target komplikasi hipertensi seperti dengan Elektrokardiogram (EKG), foto x-ray atau echo, pengecekan laboratorium fungsi ginjal, kolesterol, serta gula darah, dan pemeriksaan saraf mata.

Selain itu, orang dengan hipertensi dan pada umumnya juga perlu menjaga detak jantung maksimal agar tahu olahraga yang dilakukan memenuhi tujuan atau tidak, terutama untuk meningkatkan kesehatan jantung. Cara menghitungnya, yakni 220 dikurangi usia lalu dikali 60-70 persen untuk mendapatkan kisaran target detak jantung intensitas sedang.

Menurut Vito, olahraga yang baik untuk kesehatan jantung adalah 60-70 persen dari detak jantung maksimal menurut usia. Amannya, paling tinggi 85 persen.

"Lain halnya kalau Anda seorang atlet atau ingin mencapai prestasi tertentu, karena itu perlu latihan bertahap dan dibawah pengawasan profesional," tutur Vito yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI).

Mengenai olahraga ekstrem yang berat dan jangka panjang berpotensi menyebabkan kerusakan otot jantung, menurut Vito, hal itu masih dalam penelitian. Sejauh ini, studi menemukan adanya kerusakan otot jantung dari MRI jantung pada sebagian kecil orang yang melakukan olahraga ekstrem berat jangka panjang.

Walau begitu, sebagian besar orang tidak melakukan olahraga seperti ini. Lagi pula, batasan olahraga ekstrim berat jangka panjang itu sangat sulit dicapai kebanyakan orang. Vito berpesan agar atlet, pegiat olahraga atau bukan keduanya, sebaiknya bijak dalam menentukan intensitas latihannya.

 
Berita Terpopuler