12 Anggota Ikhwanul Muslimin Hadapi Hukuman Mati

Para terdakwa tidak dapat mengajukan banding atas putusan tersebut.

tangkapan layar wikipedia.org
Logo Ikhwanul Muslimin
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nur Aini

IHRAM.CO.ID, KAIRO -- Pengadilan sipil tertinggi Mesir pada Senin (14/6) menegaskan hukuman mati untuk 12 anggota Ikhwanul Muslimin. Dalam kesimpulan persidangan, para terdakwa memiliki keterkaitan dengan pembunuhan massal pada 2013.

Baca Juga

Para terdakwa tidak dapat mengajukan banding atas putusan tersebut. Mereka menghadapi eksekusi sambil menunggu persetujuan dari Presiden Abdel Fattah el-Sisi. Di antara 12 orang terdakwa yaitu Abdul Rahman Al-Bar, yang biasa digambarkan sebagai mufti atau cendekiawan agama terkemuka, mantan anggota parlemen Mohamed El-Beltagi, dan mantan menteri Osama Yassin.

Banyak tokoh Ikhwanul Muslimin telah dijatuhi hukuman mati dalam sejumlah kasus yang terkait dengan kerusuhan setelah pencopotan presiden Ikhwanul Muslimin Mohamed Morsi pada 2013. Namun, Pengadilan Kasasi memerintahkan pengadilan ulang.

Menyusul penggulingan Morsi pada Juli 2013, para pendukung Ikhwanul Muslimin melakukan aksi besar-besaran di Lapangan Rabaa Al-Adawiya di Kairo timur. Bulan berikutnya, pasukan keamanan menyerbu Lapangan Rabaa Al-Adawiya dan membunuh sekitar 800 orang dalam satu hari. Itu menandai dimulainya tindakan keras terhadap oposisi di Mesir.

Pengadilan kasasi dalam putusannya mengatakan, 12 terdakwa yang dijatuhi hukuman mati pada Senin, dihukum karena mempersenjatai geng kriminal yang menyerang penduduk dan melawan polisi. Selain itu, mereka memiliki senjata api, amunisi, dan bahan pembuat bom.

Tuduhan lain termasuk membunuh polisi, melawan pihak berwenang dan pendudukan serta perusakan properti publik. Pengadilan juga mengurangi hukuman untuk 31 anggota Ikhwanul lainnya.

Pada 2018, pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman mati kepada 75 terdakwa dalam persidangan, termasuk hukuman 10 tahun penjara untuk putra Morsi, Osama. Ikhwanul Muslimin didirikan di Mesir pada 1928. Kelompok itu menyerukan agar Islam menjadi jantung kehidupan publik. 

Direktur Riset dan Advokasi Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Philip Luther, mengatakan hukuman mati membayangi seluruh sistem peradilan negara itu. “Hukuman mati yang kejam ini, yang dijatuhkan pada 2018 setelah persidangan massal yang sangat tidak adil, adalah noda pada reputasi pengadilan banding tertinggi Mesir dan memberikan bayangan gelap atas seluruh sistem peradilan negara itu,” katanya dalam sebuah pernyataan, dilansir Aljazirah, Selasa (15/6).

Luther mengatakan, Mesir telah menjadi algojo terbesar ketiga di dunia. Luther menambahkan sejauh ini setidaknya 51 pria dan wanita telah dieksekusi pada 2021. Dia mengatakan pihak berwenang Mesir harus menetapkan moratorium eksekusi.

“Para pengunjuk rasa yang dihukum karena melakukan kejahatan kekerasan harus diadili lagi dalam pengadilan yang adil dan tidak memihak tanpa menggunakan hukuman mati,” ujar Luther.

 

Seorang profesor ilmu politik di Institut Doha yang menulis sebuah buku tentang Ikhwanul Muslimin, Khalil al-Anani, mengatakan di Twitter bahwa, putusan hukuman mati itu adalah bagian dari balas dendam politik berkelanjutan terhadap lawan-lawan politiknya. Human Rights Watch telah menyebut pembubaran kekerasan dari aksi di Rabaa sebagai pembantaian, dan salah satu pembunuhan demonstran terbesar di dunia dalam sejarah.

Pada April, Mesir mengeksekusi sedikitnya sembilan orang atas penyerbuan kantor polisi tahun 2013 di mana 13 polisi tewas. Amnesty International telah mengecam lonjakan signifikan hukuman mati di Mesir. Pada 2019 Mesir mencatat 32 eksekusi dan pada 2020 meningkat menjadi 107.

“Pihak berwenang Mesir telah menunjukkan tekad yang kejam untuk bertahan dengan meningkatnya penggunaan hukuman mati,” kata Amnesty International pada April. 

 
Berita Terpopuler