Bisakah Indonesia Belajar dari Efek Varian Delta di Inggris?

Sebanyak 90 persen pasien Covid-19 baru di Inggris terdeteksi dengan varian Delta.

EPA-EFE/ANDY RAIN
Pasien dibawa menuju RS Royal London, Inggris, Senin (14/6). PM Boris Johnson menunda pengumuman pelonggaran kebijakan lockdown hingga empat pekan lagi karena kenaikan kasus Covid-19 akibat varian Delta yang tinggi.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, Rizky Suryarandika, Sapto Andika Candra, Antara

Varian Delta yang pertama kali ditemukan di India bisa dibilang menjadi momok baru bagi upaya penanganan Covid-19. Tak hanya Indonesia yang mewaspadai varian Delta, Inggris juga dibuat ekstra waspada dalam berhadapan dengan varian Delta.

Sejauh ini varian Delta dinilai memiliki dampak besar pada efektivitas vaksin di Inggris. Dr Michael Head, peneliti senior di bidang kesehatan global di University of Southampton Inggris, mengatakan sementara laju pemberian vaksin Inggris sudah maju, namun masih ada seperempat dari populasi orang dewasa yang belum menerima suntikan vaksin Covid-19.

"Ini (vaksin) masih melindungi dengan sangat baik terhadap penyakit parah, terhadap rawat inap dan kematian, tetapi satu dosis vaksin hanya memberi Anda perlindungan sekitar 30 persen, dua dosis antara 60 hingga 80 persen. Jadi masuk akal untuk menahan kasus. Serendah-rendahnya sampai program vaksinasi itu jauh lebih maju,” kata Dr Head dilansir di Euronews, Selasa (15/6).

"Kami tidak ingin efektivitas vaksin berkurang lebih jauh," tambahnya.

Dia berbicara pada hari Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menunda pencabutan penuh pembatasan Covid-19 di Inggris karena meningkatnya kasus varian Delta. Lebih dari 90 persen kasus Covid-19 di Inggris adalah pasien varian Delta.
 
Di seluruh Eropa, belum ada cukup data untuk mengonfirmasi apakah varian Delta dominan di benua tersebut. Tetapi Dr Head mengatakan mengingat bagaimana varian lain telah menyebar begitu mudah di seluruh dunia, diperkirakan varian ini menjadi sangat umum di sebagian besar negara Eropa,  terutama ketika masyarakat mulai terbuka lagi dan orang-orang bercampur dengan lebih bebas.

Namun sejauh ini, dia memperingatkan, banyak negara yang menerapkan pembatasan perjalanan terlalu terlambat. "Kita dapat mengambil pelajaran dari pendekatan proaktif yang telah kita lihat di banyak Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru terhadap kontrol perbatasan dan pembatasan perjalanan." katanya.

Menurutnya, hal tersebut adalah kuncinya. Begitu sinyal pada grafik meningkat, maka mungkin sudah terlambat untuk menerapkan pembatasan itu, atau langkah tersebut hanya akan memiliki dampak yang lebih kecil. Jika tidak, akan ada peningkatan rawat inap, yang akan berdampak pada bidang kesehatan lainnya.

"Itu berarti pasien lain dengan kanker, kardiologi atau diabetes tidak dapat pergi ke rumah sakit," tambahnya.

Selain itu, ada juga long-covid, dengan sekitar 10 persen orang mengalami gejala covid yang lama selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan di luar infeksi awal mereka. "Konsekuensi Covid-19 secara lebih umum dan khusus dengan varian Delta ini sangat luas, jadi masuk akal untuk mengurangi kasus kita sebanyak mungkin." ujarnya.

Guru Besar FKUI, Tjandra Yoga Aditama, memantau perkembangan varian Delta Covid-19 di Inggris. Ia berharap perkembangan varian itu di Inggris dapat menjadi bahan antisipasi di Tanah Air.

Prof Tjandra menyebut di Inggris sudah ada 42.323 kasus varian Delta, naik 70 persen dari minggu sebelumnya, atau naik 29.892 kasus hanya dalam waktu satu minggu saja. Bahkan, data terakhir Inggris menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen kasus baru Covid-19 di negara itu kini adalah varian Delta. Posisi varian Delta menggantikan varian Alfa (B117) yang semula dominan di Inggris.

"Kalau pola ini juga akan terjadi di negara kita maka tentu bebannya akan berat jadinya," kata Prof Yoga dalam keterangan kepada wartawan, Selasa (15/6).

Prof Yoga mendapati varian Delta di Inggris ternyata 60 persen lebih mudah menular daripada varian Alfa. Waktu penggandaannya (“doubling time”) berkisar antara 4,5 sampai 11,5 hari.

"Akan baik kalau juga ada data tentang berapa besar (doubling time) dari varian Delta yang kini ada di negara kita, termasuk tentunya laporan terakhir dari Kudus ini," ujar Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara 2018-2020 itu.
 
Laporan dari Inggris pada 11 Juni 2021 juga menunjukkan varian Delta berpengaruh menurunkan efektivitas vaksin dibandingkan varian Alfa. Pada mereka yang baru dapat vaksin satu kali maka terjadi penurunan efektivitas perlindungan terhadap gejala sebesar 15 persen sampai 20 persen. Menurut Prof Tjandra, perlu diamati kemungkinan dampak seperti ini, apalagi program vaksinasi memang sedang terus digalakkan.

"Hanya saja tentu kita tidak akan membandingkan varian Delta dengan varian Alfa seperti yang Inggris lakukan, karena varian Alfa bukanlah varian yang dominan di negara kita sebelum ini," ucap Prof Tjandra.

Terakhir, Prof Tjandra mendapati Inggris menggunakan novel genotyping test untuk mendeteksi adanya varian Delta. Tes ini dapat memberi hasil dalam 48 jam saja.

"Hasilnya kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan whole genome sequencing dan ternyata hasilnya memang positif, oleh PHE disebut sebagai extremely accurate," ucap Prof Tjandra.








Baca Juga

Virus Corona Varian Delta dari India atau B1617.2 dipastikan sudah masuk ke Indonesia. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan varian itu ditemukan di Kudus, DKI Jakarta dan Bangkalan.

Ketua Kelompok Kerja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Gunadi, menyatakan varian Delta mampu menurunkan kemampuan respons sistem imun manusia. "Jadi, lebih mudah terpapar meskipun sudah divaksinasi atau sudah terinfeksi sebelumnya," kata Gunadi saat dihubungi di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia, kekebalan tubuh yang biasanya mampu merespons setiap infeksi virus, kemampuan responsnya menjadi menurun dengan masuknya varian Delta. "Respons (imun) terhadap infeksi Covid-19 yang timbul baik infeksi alamiah maupun karena vaksinasi itu berkurang," kata dia.

Selain menurunkan respons sistem imun, menurut dia, varian Delta juga terbukti lebih cepat menyebar dibandingkan varian lainnya seperti varian Alfa atau B117 dari Inggris. "Ternyata 50-60 persen lebih cepat menyebar dibandingkan dengan Alfa," kata dia.

Kecepatan penularan varian Delta itu, menurut dia, antara lain dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Kudus, Jawa Tengah. Merebaknya penularan varian Delta di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah telah dipastikan berdasarkan hasil pemeriksaan Whole Genome Sequencing (WGS) yang dilakukan oleh Pokja Genetik FKKMK UGM yang keluar pada 11 Juni 2021.

Ia menjelaskan dari 34 sampel yang diperiksa, 28 di antaranya terkonfirmasi sebagai varian Delta. Dari kasus yang terjadi di Kudus menunjukkan kemungkinan besar adanya transmisi lokal varian Delta.

"Sebelumnya sudah terdeteksi beberapa kasus, namun bersifat acak, dan sekarang sudah menjadi klaster di daerah Kudus. Artinya, kemungkinan besar sudah terjadi transmisi lokal di Indonesia, khususnya di Kudus. Tidak menutup kemungkinan transmisi lokal juga keluar dari Kudus," kata dia.

Gunadi mengatakan varian Delta telah ditetapkan WHO menjadi Variant of Concern (VoC) pada tanggal 31 Mei 2021 karena berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat secara global. Varian ini dimasukkan dalam kategori VoC karena memenuhi satu atau lebih dari tiga dampak yang ditimbulkan yakni daya transmisi, tingkat keparahan pasien, dan mempengaruhi sistem imun manusia.

Mengingat dampak yang ditimbulkan varian delta cukup serius, Gunadi meminta masyarakat untuk tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan (prokes) pencegahan Covid-19 baik yang sudah maupun belum mendapatkan vaksin.

Untuk bisa mendeteksi lebih cepat varian baru Covid-19, pemerintah mempercepat proses WGS, sebagai cara untuk mendapatkan cetak biru genetik dari virus Covid-19. WGS juga dilakukan untuk mendapat informasi dan identifikasi mutasi baru serta melacak asal muasal virus, serta mencegah penularan yang lebih luas.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan, pelaksanaan WGS dipercepat menjadi sepekan, dari sebelumnya dua pekan. Percepatan ini diharapkan bisa membantu pengendalian Covid-19 yang lebih efektif.

"Pemerintah mendorong percepatan pelaksanaan pengecekan genome sequencing, yang selama ini dua minggu akan ditekan menjadi satu minggu," kata Airlangga dalam keterangan pers, Senin (14/6).

Mutasi varian Covid-19 India - (Republika)

Pemerintah masih belum terbuka mengenai sebaran mutasi Covid-19 terbaru. Pakar epidemiologi menduga, ledakan kasus di beberapa daerah seperti Kudus dan Bangkalan, terjadi akibat mutasi Covid-19 yang terlanjur menular.

Untuk merespons lonjakan kasus ini, pemerintah pun memperpanjang pelaksanaan PPKM mikro, periode 15-28 Juni 2021. PPKM mikro ini menjadi yang kesepuluh dilakukan pemerintah.

Para pakar mendukung pemerintah memperketat kebijakan penanganan pandemi Covid-19 untuk mengatasi lonjakan kasus di beberapa daerah, terutama di DKI Jakarta. "Harus ada kebijakan PSBB. Kembalikan ke model semula dengan upaya cakupan lebih luas, tidak berdasarkan kelurahan tapi wilayah kabupaten atau regional," kata pakar kesehatan masyarakat, dr Hermawan Saputra.

Menurut dia, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas tracing, testing, dan treatment (telusur, tes, dan tindakan) tiga kali lipat, karena disinyalir terjadi potensi kenaikan kasus hingga tiga kali lipat dari data yang ada. Hermawan mengatakan banyak rumah sakit kelebihan kapasitas akibat kenaikan kasus Covid-19 beberapa pekan terakhir ini sehingga penyediaan ruang rawat atau fasilitas-fasilitas isolasi perlu ditambah.

"Belum lagi adanya kemungkinan banyak data yang tidak terlapor atau tidak terdeteksi, jadi massive transmission di mana-mana," kata dia.

Ia menilai pemerintah perlu segera menyebar dan memperkuat laboratorium-laboratorium uji kultur, terutama untuk mendeteksi varian-varian baru. Contoh, di beberapa daerah wilayah Jakarta tengah terjadi episentrum baru.

Dia berpendapat penyebab kenaikan kasus Covid-19 belakangan ini karena perpaduan beberapa masalah, salah satunya mudik Lebaran 2021. "Dulu waktu orang mudik, dampaknya pasti ada kenaikan kasus. Kemudian, aspek varian barudimungkinkan adanya mutasi genetik yang mempercepat penularan," ujarnya.

Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman, meminta pemerintah pusat mengubah strategi. "Yang terjadi di Jakarta adalah representasi dari yang terjadi di Jawa, bahkan ada yang jauh lebih buruk potensinya," kata Dicky.

Padahal, kata dia, hasil evaluasi WHO bahwa DKI Jakarta merupakan wilayah dengan kapasitas testing yang sudah memenuhi standar global. Menurut dia, saat ini merupakan situasi yang serius sehinggajika hanya beberapa daerah yang melakukan pengetatan kebijakan maka tidak akan menyelesaikan masalah.

Menurut dia, varian virus dari India lebih cepat menular dan berdampak lebih parah. Varian Delta juga menyiasati sistem imunitas. Ia mengatakan orang yang sudah divaksin dan penyintas bisa tetap terkena sehingga harus siap dengan skenario terburuk, yaitu PSBB Jawa-Bali dan daerah besar lain.


 
Berita Terpopuler