Sila Pertama Pancasila: Perspektif Islam Aswaja

Sila Pertama Pancasila merupakan pengejewantahan sifat Esa Allah SWT

Republika/Thoudy Badai
Sila Pertama Pancasila merupakan pengejewantahan sifat Esa Allah SWT. Ilustrasi Pancasila dan Agama
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : KH Abdul Muiz Ali, Duta Pancasila BPIP RI Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat dan Pengurus Lembaga Dakwah PBNU.

REPUBLIKA.CO.ID, Kata esa adalah bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Sansekerta. Menurut Johannes Gijsbertus (JG) de Casparis, seorang filolog dari Belanda, dalam bukunya Sanskrit Loan Words in Indonesian (1997), kata esa bermakna satu.  

Dalam konsep teologi Islam, Allah itu Esa, tidak berbilang, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak pula ada yang menyamai-Nya. Sila pertama dalam Pancasila yang berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha- Esa", bagi keyakinan umat Islam: Allah (Tuhan) adalah Esa/Satu.   Keesaan Allah itu meliputi tiga hal yaitu 1) Dia Maha-Esa pada Dzat-Nya, 2) Dia Maha-Esa pada sifat-Nya, dan 3) Dia Maha-Esa pada perbuatan-Nya. 

Alquran menyebut secara jelas tentang Keesaan Allah dengan menggunakan kata ahad dan wâhid. Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa kata ahad artinya Wâhid (Maha-Esa) yang bermakna, tidak ada yang dapat menyerupai Allah, tidak ada yang dapat menyepadani dan menyetarai Allah, dan Allah tidak melahirkan (ataupun dilahirkan). 

Kata ahad dan Wâhid, keduanya merupakan nama-nama Allah yang sama-sama menunjukkan tentang keesaan-Nya. Menyebut keesaan Allah menggunakan redaksi Ahad terdapat dalam Alquran surat Al Ikhlas ayat 1:  قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ “Dan Katakanlah (wahai Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha-Esa."  

Sedangkan penggunaan kata Wâhid, terdapat dalam beberapa surat Alquran, antara lain

 اِنَّ اِلٰهَكُمْ لَوَاحِدٌ “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa (QS As Shaffat 4)

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ  “Dan Tuhanmu adalah Allah Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia Yang Mahapemurah dan Mahapenyayang.” (QS Al Baqarah 163)

Mengenai Keesaan Allah SWT juga terdapat dalam hadits, antara lain:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن لله تسعا وتسعين اسما، مائة إلا واحدا، إنه وتر يحب الوتر، من حفظها دخل الجنة، وهي: الله الواحد الاحد 

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa yang dapat menghafalnya, ia masuk surga. Dia Yang Mahaganjil mencintai yang ganjil. Sembilan sembilan nama Allah itu, yaitu Allah Yang Wâhid dan Ahad (Maha-Esa)...” (HR  Ibnu Majah)

Bagi umat Islam penganut Ahlussunah Waljamaah...

Baca Juga

Konsep Wahdâniyyah

Bagi umat Islam penganut Ahlussunah Waljamaah, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan lainnya, Pancasila tidak hanya dianggap final secara konseptual dan aplikatif, tetapi juga selaras dan senafas dengan substansi ajaran syariat Islam, baik dari aspek akidah (teologi), ibadah maupun akhlak. 

Penyebutan “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama erat kaitannya dengan konsep wahdâniyyah dalam kajian teologi Islam. Konsep wahdâniyyah (Keesaan) termasuk salah satu dari 20 sifat wajib yang dimiliki oleh Allah.  Arti dari keesaan Allah (wahdâniyyah) adalah Allah itu Esa. Keesaan Allah mencakup tiga hal yaitu sebagai berikut:

Pertama, Esa dalam Dzat-Nya. Dzat Allah itu Esa, tidak terdiri dari beberapa bagian. Berbeda dengan makhluk ciptaan Allah, seperti manusia, hewan, dan lainnya, di mana keberadaan dzatnya terdiri dari beberapa bagian (ajzâ`), seperti bagian kepala, bagian leher, bagian tangan, dan seterusnya. Karena Allah itu Esa dalam Dzat-Nya, maka pihak yang meyakini Allah berbentuk (tajsîm) atau Allah terdiri lebih dari satu dzat, maka keyakinan itu dianggap batil (sesat).

لَّقَدْ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوا إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٍ, وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ, وَإِن لَّمْ يَنتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS Al Maidah 73) 

Kedua, Esa dalam Sifat-Nya. Sifat Allah itu Esa (tidak ganda); Seperti sifat qudrah (kemampuan) Allah itu Esa/Satu, sifat  ilmu (mengetahui) Allah itu Esa/Satu, dan sifat-sifat Allah lainnya yang 20 semuanya Esa/Satu. Selain Allah tidak ada yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan keluhuran yang dimiliki oleh Allah; Tidak ada apapun atau siapapun yang menyetarai Allah. 

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS Asy Syura 11) 

Allah itu Esa dalam membuat...

Ketiga, Esa dalam perbuatan-Nya. Allah itu Esa dalam membuat, mengerjakan dan menciptakan sesuatu. Allah tidak butuh teman (syarîk/partner) dan alat untuk membuat, mengerjakan, menciptakan dan mengatur sesuatu. 

Jika Allah dianggap butuh teman dalam mengerjakan atau membuat sesuatu, maka hal tersebut "mengindikasikan" ada kekuatan lain selain kekuatan yang dimiliki Allah Yang Maha-Esa dalam Perbuatan-Nya.

Dan keyakinan seperti ini dinilai batil (sesat) menurut paham Ahlussunah Wal Jamaah. Allah berbuat, melakukan, menciptakan, dan mengatur sendiri dengan kekuatan Allah yang Esa sesuai dengan apa yang diinginkan Allah.

الَّذِى جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرٰشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِۦ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ, فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah 22)

Dalam ayat lain ditegaskan:  إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِير “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa (menciptakan) atas segala sesuatu.” (QS An Nur 45).

 

Alhasil, penerimaan umat Islam Indonesia terhadap sila pertama "Ketuhahan Yang Maha-Esa" tidak hanya disebabkan bahwa itu adalah hasil keputusan bersama para pendiri bangsa.

Lebih dari itu, Ketuhanan Yang Maha-Esa merupakan prinsip keyakinan yang benar, baik bersumber dari argumentasi naqliy (Alquran dan hadits), maupun argumentasi 'aqliy (nalar teologi) para ulama Ahlussunah Wal Jamaah.   

 
Berita Terpopuler