Lonjakan Kasus Kudus Tolok Ukur Kemunculan Varian Baru Covid

Karakteristik kasus Covid Kudus menyerupai varian asal India dan Inggris.

ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Petugas menyemprotkan disinfektan ke pengemudi kendaraan pengangkut pasien orang tanpa gejala (OTG) COVID-19 saat masuk di Asrama Haji Donohudan, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (7/6/2021). Pemindahan pasien orang tanpa gejala (OTG) COVID-19 dari Kudus terus dilakukan secara bertahap agar dapat penanganan lebih cepat dan mudah terpantau.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Wahyu Suryana

Lonjakan kasus Covid-19 secara cepat dan masif di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dipandang sebagai tolok ukur kemunculan varian baru virus corona. Kudus tercatat mengalami kenaikan kasus hingga mencapai 7.594 persen. Bahkan keterisian rumah sakit pasien Covid-19 Kudus sudah di angka 90,2 persen.

"Model-model penularan yang terjadi secara masif dan cepat itu juga bisa merupakan salah satu tolak ukur yang memperlihatkan adanya suatu varian baru," kata Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, dalam acara virtual Dialog Kabar Kamis di Media Center KPCPEN, Kamis (10/6).

Lonjakan kasus Covid-19 di Kabupaten Kudus saat ini hampir mencapai 2.000 kasus. Angka tersebut meleset dari perkiraan awal pemerintah setempat yang berkisar 200 kasus usai Idul Fitri 1442 Hijriah.

Dante mengatakan hal yang perlu diwaspadai mutasi dari SARS-CoV-2 yang terjadi dari Kudus, sebab memiliki karakteristik sama dengan mutasi virus dari India dan Inggris yang menular cepat serta masif. "Ada kecenderungan lebih cepat melakukan akselerasi penularan seperti mutasi dari India dan Inggris itu lebih cepat untuk memberikan tingkat penalaran yang lebih dramatis dibandingkan dengan mutan yang normal," ujarnya.

Diamengatakan saat ini sudah ada 17 laboratorium di seluruh Indonesia yang mampu melakukan pemeriksaan genom sequencing untuk mendeteksi varian-varian baru tersebut. Upaya yang saat ini dilakukan pemerintah, kata Dante, uji sampel secara acak dengan kriteria khusus kemudian data tersebut dikompilasi dan di analisa.

"Masing-masing daerah mengirim lima sampel setiap pekan," katanya.

Diamenambahkan sejauh ini sudah terdapat 65 kasus mutasi serta varian baru SARS-CoV-2 yang terdeteksi di Indonesia berdasarkan hasil pemeriksaan oleh 17 laboratorium. Sampel genom yang dianalisa tidak hanya berasal dari pasien di bawah usia 30 tahun, namun semua kasus diuji termasuk yang di atas 30 tahun.

"Tetapi memang kecepatan dari uji whole genom sequencing (WGS) ini terbatas dibutuhkan beberapa waktu untuk melakukan maksimalisasi secara teknis pengujian tersebut dan pengujian membutuhkan waktu satu sampai dua pekan sehingga keseluruhan kira-kira 2.000 (WGS) yang kita uji secara acak," katanya.

Dante mengemukakan lonjakan kasus Covid-19 Kudus dan Bangkalan terjadi akibat perilaku abai masyarakat terhadap protokol kesehatan. "Berbagai macam contoh kejadian yang terjadi di Kudus dan di Bangkalan yang kita tidak inginkan bersama-sama ini merupakan salah satu contoh bagaimana kalau kita abai dalam kegiatan protokol kesehatan yang benar," katanya.

Laju kasus Covid-19 di daerah, katanya, tergantung dari tingkat mobilisasi penduduk, khususnya usai libur Lebaran. Bukan tidak mungkin kondisi serupa juga terjadi di tempat-tempat lain.

Pemerintah sejak awal telah memiliki permodelan bahwa tingkat kasus yang terjadi di daerah akan meningkat sekitar enam sampai tujuh pekan dari mobilisasi penduduk. "Apa yang terjadi di Kudus dan Bangkalan bukan cuma tanggung jawab dari daerah tersebut, tetapi tanggung jawab secara nasional dari pemerintah dengan masyarakat yang akan melakukan sinergi bersama supaya kegiatan ini bisa memberikan hasil yang maksimal," katanya.

Dante mengatakan daerah yang sudah mengalami kondisi ekstrem peningkatan kasus memperoleh bantuan tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, obat-obatan yang cukup serta melakukan mitigasi dan melakukan evaluasi serta memberikan bantuan manajemen kesehatan.

Bupati Kudus, M Hartopo, mengatakan lonjakan kasus Covid-19 saat ini hampir mencapai 2.000 kasus. Angka tersebut meleset dari perkiraan awal berkisar 200 kasus.

"Prediksi saya kemarin setelah masyarakat divaksinasi ada titik terendah sampai 60 kasus itupun gejala ringan dan sedang. Setelah Idul Fitri, perkiraan saya paling banyak 200-an, ternyata sekarang hampir 2.000 kasus," katanya.

Ia mengatakan angka kasus Covid-19 saat ini melebihi angka kasus yang terjadi pada periode yang sama tahun 2020 yang mencapai 185 kasus. Lonjakan kasus tersebut, kata Hartopo, dipicu sejumlah faktor, salah satunya vaksinasi yang menjadikan persepsi masyarakat Kudus menjadi merasa kebal virus.

"Padahal vaksin hanya untuk antibodi saja agar tidak ada gejala berat," katanya. Selain itu, budaya silaturahimselama libur Lebaran membuat masyarakat abai pada penggunaan masker, khususnya saat menikmati santapan Lebaran.

"Saat Lebaran ada silaturahmi ke saudara. Mereka lepas masker dan menikmati sajian yang ada. Ini potensi yang luar biasa," katanya.






Baca Juga

Upaya menekan laju penyebaran kasus juga terus dilakukan di Bangkalan, Jawa Timur. Salah satunya dengan menyekat Jembatan Suramadu. Selain Kudus, pemerintah juga fokus menekan kasus Covid-19 di Bangkalan.

Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) Jawa Timur menilai penyekatan di Jembatan Suramadu sisi Kota Surabaya sejak Ahad (6/6), efektif menekan laju penyebaran Covid-19.

Pembina Persakmi Jawa Timur, Estiningtyas Nugraheni, mengatakan keputusan yang dilakukan Satgas Covid-19 Surabaya dengan menerapkan penyekatan di Jembatan Suramadu sangat tepat.

"Itu cukup efektif menapis (skrining) orang yang masuk ke Surabaya," kata Estiningtyas. Apalagi, terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di Kabupaten Bangkalan dapat berpengaruh terhadap kondisi di Kota Surabaya.

Pengaruh itu bisa dilihat dari keterisian Bed Occupancy Rate (BOR) di beberapa rumah sakit atau ruang isolasi di Surabaya. "Jumlah positif naik dari data yang terpublikasi sudah ketahuan. Penghuninya Asrama Haji, Rumah Sakit Lapangan itu kan naik," kata Esti.

Berdasarkan pengamatannya, dua pekan pasca-Lebaran, kasus Covid-19 di Surabaya ada kenaikan. Tapi, persentase kenaikan ini dinilainya masih di bawah 30 persen.

 Namun, pascaterjadi peningkatan kasus di Bangkalan, kenaikan di Surabaya cukup signifikan. "Saat minggu ketiga (pasca-Lebaran) adanya kasus di tetangga (Bangkalan), naiknya (Surabaya) sampai di atas 50. Berarti kan secara kasat mata saja sudah signifikan," ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, faktor lain yang mempengaruhi adanya penambahan kasus ini, karena tingginya mobilitas masyarakat di Kota Pahlawan, seperti warga luar daerah yang setiap harinya bekerja di Surabaya. "Penyakit ini berkaitan dengan pertemuan antarorang, menularnya dari orang ke orang. Ada intersection atau irisan-irisan kegiatan manusia. Dia domisili di mana, bekerjanya di mana, atau dia pada waktu akhir pekan pergi ke mana, nanti balik lagi ke Surabaya," ujarnya.

Oleh sebab itu, ia setuju ketika Satgas Covid-19 Surabaya mulai menerapkan skrining di kaki Jembatan Suramadu maupun di Dermaga Ujung, Tanjung Perak. Sebab, tidak mungkin akses masuk ke Surabaya ditutup total untuk mencegah laju penyebaran Covid-19.

"Surabaya kalau ditutup banget (total) tidak bisa, karena banyak pegawai yang dari luar Surabaya. Karena itu, masuk Surabaya harus pakai swab," katanya.

Epidemiolog UGM, Dr Riris Andono, mengatakan, lonjakan kasus positif bisa disebabkan klaster mudik karena mobilitas warga saat Lebaran meningkat. Dengan dan tanpa mudik bila mobilitas meningkat ketika sudah ada transmisi lokal penularan juga meningkat.

Ia mengingatkan, untuk mengetahui penyebab naiknya kasus di Kudus harus ada data secara riil soal seberapa besar kunjungan masyarakat ke makam. Kemudian, dilihat kembali seberapa jauh kedisiplinan masyarakat ketika ke makam dan faktor lain.

"Kalau tidak ada data riil ya tidak bisa ditarik kesimpulan yang mana secara pasti. Yang bisa diberikan adalah penjelasan kemungkinan baik mobilitas, maupun kepatuhan kepada protokol atau keduanya berkontribusi kepada peningkatan kasus," kata Doni, Kamis (10/6).

Doni menjelaskan, untuk membedakan kemungkinan-kemungkinan tersebut juga tidak terlalu relevan. Sebab, strategi pengendalian penularan itu memerlukan kombinasi antara melakukan restriksi dan meningkatkan kepatuhan masyarakat kepada prokes.

"Saya tidak bisa membuat kesimpulan pasti, tapi yang terlihat di masyarakat banyak ketidakpercayaan adanya covid. Bisa disebabkan ketidaktahuan tentang covid, disinformasi terkait covid maupun mungkin kejenuhan terhadap situasi tidak menentu secara berkepanjangan," ujar Doni.

Menurut Doni, salah satu langkah pemerintah dan satgas penanganan covid untuk saat ini tidak lain menekan laju mobilitas warga. Sebab, ia mengingatkan, bila transmisi di komunitas kembali meningkat tinggi, maka risiko penularan juga akan meningkat.

Larangan mudik Lebaran. - (Republika)





 
Berita Terpopuler