Serangan Israel Tinggalkan Trauma Mendalam Bagi Anak Gaza

Sekitar 60 persen anak di Gaza menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

AP / John Minchillo
Serangan Israel Tinggalkan Trauma Mendalam Bagi Anak Gaza . Anak-anak berkumpul di samping kawah tempat rumah Ramez al-Masri dihancurkan oleh serangan udara sebelum gencatan senjata tercapai setelah perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel, Minggu, 23 Mei 2021, di Beit Hanoun. , Jalur Gaza utara.
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Serangan-serangan zionis Israel selama hampir dua pekan di akhir Mei, meninggalkan trauma yang mendalam bagi anak-anak Gaza.

Baca Juga

Serangan selama 11 hari itu telah membuat 66 anak meninggal dunia dan 450 anak luka-luka. Sebanyak 11 anak yang meninggal dalam serangan bom juga sempat menjalani kesehatan mental akibat trauma dari perang sebelumnya.

Save the Children mengatakan anak-anak di Gaza menderita ketakutan dan kecemasan, kurang tidur, dan menunjukkan tanda-tanda kesusahan yang mengkhawatirkan, termasuk gemetar terus-menerus, dan mengompol.

Serangan bom beberapa waktu lalu, menurut warga Palestina, adalah yang terburuk yang pernah mereka lihat. Serangan itu juga lebih berdampak buruk pada anak-anak dan keluarga mereka untuk generasi mendatang.

Setidaknya 90 persen penduduk Palestina membutuhkan dukungan dan perawatan kesehatan mental sebagai akibat dari serangan militer Israel yang berulang dan kondisi kemanusiaan yang mengerikan di Gaza. Seorang psikiater Palestina dari wilayah yang terkepung Khaled Yousef Melad mengatakan Gaza mengalami apa yang disebut perang psikologis.

“Perang psikologis memiliki lebih banyak efek jangka panjang daripada kehancuran yang meluas. Faktanya, disabilitas psikologis lebih berbahaya daripada disabilitas fisik,” kata Melad dilansir di Al Araby, Jumat (4/6).

 

 

Studi terbaru menunjukkan dalam populasi sekitar satu juta anak, di mana lebih dari 40 persen berusia di bawah 14 tahun, sekitar 60 persen menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Lebih dari 55 persen anak-anak menderita kecemasan.

“Dalam 20 tahun terakhir, anak-anak di Gaza telah menjadi sasaran perang berulang, kekerasan dan agresi oleh tentara Israel. Paparan perang ini telah mengakibatkan gangguan bencana pada anak-anak termasuk depresi, kecemasan, gangguan stres akut dan PTSD,” kata Melad.

Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal ilmiah Swiss Frontiers in Psychiatry tahun lalu, sekitar 90 persen anak-anak dan remaja Palestina di Jalur Gaza pernah mengalami trauma pribadi. Lebih dari 80 persen menyaksikan trauma orang lain.

Anak-anak yang mengalami trauma langsung akibat perang di Gaza, menunjukkan gangguan perilaku seperti kecemasan ekstrem, ketakutan yang tidak diketahui, rasa tidak aman, isolasi, mengompol, dan perilaku agresif lainnya. “Anak-anak yang menghadapi gejala psikosomatik, masalah psikologis, masalah sosial dan masalah fungsional akan mundur kembali ke tahap perkembangan awal mereka,” kata Melad.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Save the Children setelah perang 2014 menemukan setelah satu tahun, tujuh dari sepuluh anak di daerah yang paling parah dilanda perang di Gaza terus menderita mimpi buruk dan 75 persen masih mengompol. Penelitian pada 2019 menemukan 63 persen anak-anak secara teratur mengalami mimpi buruk, bahkan 42 persen anak-anak kehilangan kemampuan berbicara.

Anak-anak berkumpul di samping kawah tempat rumah Ramez al-Masri dihancurkan oleh serangan udara sebelum gencatan senjata tercapai setelah perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel, Minggu, 23 Mei 2021, di Beit Hanoun. , Jalur Gaza utara. - ( AP / John Minchillo)

 

“Definisi PTSD tidak berlaku untuk warga Palestina di Gaza. Kami mengalami stres dan trauma terus-menerus sepanjang waktu sehingga tidak sempat untuk mengalami pasca,” kata Melad.

“Apa yang kita saksikan di Gaza adalah apa yang kita sebut PTSD kompleks yang merupakan bentuk PTSD yang didiagnosis pada orang dewasa atau anak-anak yang berulang kali mengalami peristiwa traumatis,” tambahnya.

Maled menuturkan, perang yang terjadi secara terus menerus dan trauma yang belum terselesaikan dari perang sebelumnya menyebabkan banyak gejala seperti kesulitan dalam berkonsentrasi, masalah dengan persepsi diri seperti perasaan malu, bersalah, ketidakberdayaan, stigma dan rasa yang sama sekali berbeda dengan manusia lain. 

Nadine Abdel-Latif, yang video emosionalnya selama perang dibagikan secara luas di media sosial, adalah salah satunya. “Saya baru berusia 10 tahun, dan saya telah melalui tiga perang. Saya masih merasa takut dan takut mereka akan mulai mengebom kami lagi,” katanya.

“Saya masih mendengar suara bom dan serangan udara di kepala saya. Kadang bahkan tidak bisa tidur. Saya bangun di pagi hari bertanya-tanya apakah saya hidup atau mati," ungkapnya.

Sejumlah anak Palestina mengendarai kendaraan terbuka melewati reruntuhan gedung Al Jalaa yang hancur oleh serangan udara Israel, Gaza, Jumat (21/5) waktu setempat. Sejumlah media internasional menempati gedung Al-Jalaa termasuk kantor berita Associated Press yang telah berkantor disana selama 15 tahun. - ( AP/John Minchillo)

 

“Sebagai seorang anak, saya seharusnya tidak memikirkan kematian tetapi karena apa yang kami alami dan apa yang masih kami alami, kami anak-anak tidak memiliki pilihan selain memikirkan kematian dan kehilangan orang yang kami cintai,” kata Abdel-Latif.

Bermain adalah dunia anak-anak dan penting untuk perkembangan dan kesejahteraan anak-anak dalam hal apa pun. Tetapi kurangnya tempat yang aman untuk anak-anak bermain, akan menghambat interaksi emosional sosial mereka dengan teman sebaya, sehingga mengarah ke dampak yang merugikan pada mental dan kesejahteraan fisik mereka.

Sebagaimana pengakuan Nadine Abdel-Latif, meski ada gencatan senjata, dia dan teman-temannya terus mengalami ketakutan dan tidak bisa menikmati masa kanak-kanak secara normal.

“Teman-teman saya dan saya tidak ingin meninggalkan rumah kami. Kami takut untuk meninggalkan rumah bahkan sekarang. Saya takut bermain di luar, dan saya takut tinggal di dalam dan bermain,” kata Abdel-Latif.

Kesulitan dan trauma bukan hanya dirasakan oleh anak-anak, tetapi juga oleh janin yang masih di dalam kandungan. Menurut Melad, peperangan dapat membuat kondisi janin stress dan menyebabkan gangguan psikologis seperti autisme, cacat intelektual dan gangguan keterikatan.

“Beberapa bulan ke depan akan terjadi peningkatan gangguan psikologis pada bayi baru lahir dan ini akan berdampak serius pada perkembangan mereka," kata Melad.

https://english.alaraby.co.uk/analysis/i-still-hear-bombs-gazas-traumatised-children

 
Berita Terpopuler