Pemecatan Pegawai KPK, Bentuk Pengabaian Perintah Presiden?

Presiden didesak kembali bersikap soal pemecatan 51 pegawai KPK.

ANTARA/M Risyal Hidayat
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) berfoto bersama usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5/2021). Sebanyak 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK dipecat. Keputusan tersebut keluar setelah pimpinan KPK bertemu lembaga-lembaga terkait.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Dian Fath Risalah, Nawir Arsyad Akbar, Dessy Suciati Saputri

Polemik pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat akibat tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) berlanjut dengan pemecatan 51 pegawai. Apakah telah terjadi pengabaian terhadap instruksi Presiden untuk tidak serta-merta memecat pegawai yang tak lolos TWK?

Mantan ketua KPK, Bambang Widjojanto, pun meminta Presiden Joko Widodo bertanggung jawab atas nasib yang kini menimpa lembaga antirasuah tersebut. Dia mengatakan, upaya pemberantasan korupsi saat ini tengah mengalami kebangkrutan. "Jika Presiden tidak tegas mengambil upaya perlindungan hukum dan menyelesaikan secara tuntas problem di atas, Presiden Jokowi dapat dituding menjadi bagian tak terpisahkan dari pihak-pihak yang menghancurkan KPK," kata Bambang dalam keterangan, Kamis (27/5).

Dia melanjutkan, Presiden juga bisa dinilai ikut menyingkirkan pegawai terbaik KPK serta melegalisasi TWK. Dia mengatakan, presiden sebagai pejabat tertinggi aparatur sipil negara (ASN) harus mengambil tindakan terkait kondisi yang kini terjadi.

Dia menjelaskan, Presiden mempunyai otoritas mengambil alih persoalan TWK pegawai KPK sesuai Pasal 3 Ayat (7) PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen ASN. Untuk itu, dia menambahkan, Presiden diusulkan mendelegitimasi atau membatalkan keputusan ketua KPK yang didukung para pembantunya tersebut.

Bambang mengatakan, upaya pemberantasan korupsi tidak lagi sekadar mengalami penurunan. Namun, dia menambahkan, upaya perang terhadap kejahatan kemanusiaan itu tengah mengalami kebangkrutan akut karena "dipailitkan" bukan oleh rakyat sebagai pihak yang menjadi pemegang sahamnya.

"Aktor intelektual yang diduga menjadi eksekutor utama kebangkrutan dan kepailitan itu adalah kekuasaan, khususnya Ketua KPK beserta jajaran pimpinan," katanya.

Menurutnya, Ketua KPK Firli Bahuri dan pimpinan lembaga tinggi negara lain yang mendukungnya patut diduga telah berkolusi untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Hal itu dilakukan dengan cara melegalisasi hasil TWK yang kontroversial dan tidak akuntabel.

"Untuk itu, mereka harus dikualifikasi telah melakukan obstruction of justice karena dapat mengganggu dan menghalangi upaya pemberantasan korupsi," katanya.

Dia mengatakan, tindakan tersebut mempunyai indikasi kuat bukan hanya menantang pernyataan presiden, melainkan juga menista kepala negara. Dia melanjutkan, tindakan itu secara faktual juga dapat dinilai sebagai perbuatan kriminal karena melawan perintah atasan dari penegak hukum alias Presiden sesuai Pasal 160 KUHP.

Koalisi Masyarakat Sipil memandang Ketua KPK Firli Bahuri dan empat pimpinan lainnya jelas telah melawan perintah Presiden Joko Widodo yang akuntabel. Sebelumnya, Presiden telah menyatakan hasil TWK tidak serta-merta dapat digunakan untuk memberhentikan pegawai KPK.

Pernyataan Presiden tersebut harus menjadi pertimbangan utama setelah Revisi UU 30/2002 dengan UU 19/2019 karena KPK dimasukkan dalam rumpun eksekutif sehingga pengemban tanggung jawab tertinggi adalah Presiden. "Firli Bahuri dan pimpinan KPK lainnya jelas melakukan kejahatan konstitusional karena melakukan pembangkangan terhadap putusan MK. MK adalah penafsir Konstitusi sehingga jelas Firli Bahuri dengan keputusannya memberhentikan pegawai KPK, para pimpinan KPK telah melakukan tindakan inkonstitusional karena membangkang terhadap Undang-Undang Dasar 1945," ujar salah satu perwakilan Koalisi, M Isnur.

Tak hanya pembangkangan, Koalisi menilai adanya muslihat yang secara sistematis dilakukan menghancurkan lembaga KPK dan menyingkirkan 51 orang terbaiknya. Pada Selasa (25/5) kemarin, selain melakukan pengumuman rencana pemberhentian 51 pegawai KPK, Deputi Penindakan KPK, Karyoto, mengatakan akan meminta
penyidik dari instansi lain.

Bahkan, Deputi Penindakan Karyoto juga mengatakan, sebelum pemecatan sudah ada slot untuk penambahan penyidik. Kebutuhan penambahan penyidik ini sangat kontradiktif dengan rencana pemberhentian 51 pegawai KPK dengan alasan TWK tersebut sehingga sulit melihat logika yang jelas dari rentetan pernyataan ini.

"Fakta di atas juga menunjukkan ada muslihat yang secara sistematis dilakukan untuk menghancurkan lembaga KPK dan menyingkirkan 51 orang terbaiknya. Inilah sesungguhnya motif dari Firli Bahuri dkk, yaitu melakukan pembusukan dan
pelemahan KPK," ujar Isnur menegaskan.

Rangkaian tindakan pelemahan KPK dinilai sudah dimulai dari penghilangan independensi lembaga, meruntuhkan wibawa dan kehormatan KPK dan menyingkirkan, setidaknya 51 pegawai KPK. Koalisi memandang, seluruh perilaku absurd, naif, dan melawan hukum serta aktivasi dan silat lidah yang dipertontonkan ke publik tidak hanya menista akal sehat, tapi juga menghina nurani dan mendekonstruksi semangat pemberantasan korupsi.

Berdasarkan argumen tersebut, Koalisi meminta Presiden RI Joko Widodo agar seluruh kebangkrutan pemberantasan korupsi tidak menjadi warisannya, yaitu dengan cara menarik kembali delegasi wewenang pimpinan KPK mengenal peralihan status ASN karena telah nyata adanya pelanggaran sistem merit dan menjaga efektivitas penyelenggaran pemberantasan korupsi sesuai PP 17/2020 Manajemen ASN Pasal 3 Ayat (7). Dengan kata lain, Presiden menyatakan pemberhentian tidak sah dan alih status ASN berjalan secara otomatis dan administratif sesuai putusan MK.

"Jika tidak, kehancuran pemberantasan korupsi akan segera terjadi dan sejarah akan mencatat kejadian dimaksud terjadi pada era kepemimpinannya ketika menjadi presiden RI. Tes wawasan kebangsaan, alih-alih memastikan alih fungsi pegawai KPK menjadi individu berintegritas dalam menjalankan perannya, malah menjadi legalisasi kezaliman bagi sekelompok individu, " kata Isnur menegaskan.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, mengatakan pemecatan 51 pegawai KPK membuat imbauan Presiden Jokowi terkait polemik tersebut basa-basi semata. "Saya rasa imbauan Presiden soal 75 pegawai KPK yang gagal TWK itu hanya basa basi, lip service," ujar Benny kepada wartawan.

Menurutnya, Jokowi perlu membuktikan dia memang memperkuat KPK, bukan melemahkannya. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) yang menjadi dasar pemecatan.

"Presiden harus menerbitkan perppu untuk mengubah pasal UU yeng menjadi dasar yuridis Ketua KPK memecat 51 pegawainya," ujar Benny.

Di samping itu, Ketua KPK Firli Bahuri juga perlu membuktikan bahwa kepemimpinannya tak melemahkan lembaga antirasuah itu. Salah satunya dengan segera memeriksa dan menahan sejumlah tokoh yang sudah ketahuan terlibat dalam kasus korupsi.

"Kita menunggu langkah Presiden dan langkah Ketua KPK selanjutnya untuk membuktikan dugaan itu (pelemahan) tidak benar. Saya berharap dugaan itu tidak benar," ujar Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu.

Baca Juga





Upaya pelemahan lembaga antirasuah ini disebut-sebut bermula saat revisi UU KPK ada 2019 lalu. Saat itu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Surpres untuk melanjutkan revisi UU tersebut. Upaya pelemahan tersebut berlanjut dengan diadakannya TWK yang merupakan syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.

Tes tersebut mengualifikasikan 75 pegawai KPK tidak memenuhi syarat (TMS) untuk menjadi ASN. Puluhan pegawai berintegritas semisal penyidik senior Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid tak lolos TWK.

Dalam perkembangannya, hasil koordinasi KPK, BKN, Kemenpan- RB, Kemenkumham, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyatakan bahwa 51 dari 75 pegawai itu dinyatakan tidak lulus, sementara 24 sisanya dapat dibina lebih lanjut sebelum diangkat menjadi ASN.

Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko, membantah kementerian dan lembaga terkait mengabaikan arahan Presiden mengenai polemik alih status pegawai KPK untuk menjadi ASN. Dalam arahannya, Presiden menekankan bahwa pegawai KPK yang tidak lulus TWK tidak serta-merta menjadi dasar pemberhentian dan terdapat peluang untuk perbaikan melalui pendidikan kedinasan, level individual maupun organisasi.

"Terhadap arahan Presiden Jokowi tersebut, Kantor Staf Presiden, kementerian dan lembaga terkait secara solid mendukung dan melaksanakannya. Tidak benar terjadi pengabaian arahan Presiden," ujar Moeldoko dikutip dari siaran resmi KSP yang diterima, Kamis (27/5).

Untuk menjalankan arahan Presiden, Menpan-RB, Menteri Hukum dan HAM, BKN, dan LAN telah melakukan koordinasi dengan Pimpinan KPK dan menyampaikan arahan Presiden tersebut dengan memberikan opsi pembinaan sebagai solusinya. Kemenpan-RB pun mengusulkan dilakukan individual development plan (IDP) untuk pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK.

Dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN, sebanyak 1.357 peserta diusulkan untuk mengikuti asesmen. Namun, yang hadir tercatat sebanyak 1.349 peserta dan yang tidak hadir 8 peserta. Dari hasil asesmen TWK, sebanyak 1.274 peserta dinyatakan memenuhi syarat dan 75 peserta lainnya dinyatakan tidak memenuhi syarat.

KPK pun telah melakukan asesmen terhadap 75 nama pegawai yang mengikuti TWK tersebut, dan hasilnya 24 peserta dinyatakan memenuhi syarat. "Dengan kata lain, pimpinan KPK kemudian mengambil kebijakan untuk memberhentikan 51 dari 75 pegawai KPK yang sebelumnya dinyatakan tidak lulus TWK," ujar dia.

Terkait keputusan tersebut, Moeldoko pun menegaskan hal itu merupakan kewenangan dan keputusan dari KPK. Karena itu, KPK-lah yang bertanggung jawab penuh atas semua implikasi yang ditimbulkan dari keputusan akhir terhadap status 75 pegawainya.

"Bahwa pimpinan KPK kemudian mengambil kebijakan lain tersendiri, hal tersebut merupakan kewenangan dan keputusan lembaga pengguna dalam hal ini KPK. Pemerintah memiliki kewenangan tertentu, tetapi tidak seluruhnya terhadap proses pembinaan internal di KPK," ujar Moeldoko menegaskan.

Kemarin, dalam keterangannya, Moeldoko meminta agar isu pemecatan pegawai KPK tak dibahas ke arah yang salah. Menurutnya, TWK yang diselenggarakan untuk mendapatkan garda terbaik pemberantasan korupsi dan berintegritas, serta berjiwa merah putih.

"Jadi, janganlah persoalan ini belum dipahami sepenuhnya oleh kita semuanya, tetapi justru digoreng kanan-kiri, akhirnya keluar dari substansi, tujuan yang hendak dicapai," ujar Moeldoko dalam keterangannya, Rabu (26/5). Ia mengatakan, proses alih status pegawai KPK menjadi ASN ini untuk menjaga agar KPK dapat bekerja secara maksimal dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Menurutnya, sejak awal Presiden ingin agar KPK memiliki SDM terbaik dan berkomitmen tinggi dalam hal pemberantasan korupsi. "Karena itulah, proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN membuat pemberantasan korupsi harus menjadi lebih sistematis," ucap dia.

 
Berita Terpopuler