Siapa Pemenang dalam Serangan Israel ke Gaza?

Konflik Israel-Palestina adalah penjajahan, antara zalim dan mazlum.

Al Jazeera
Perempuan dan anaknya melintasi puing reruntuhan bangunan di Gaza yang hancur karena serangan bom Israel.
Red: Karta Raharja Ucu

Oleh : Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Siapa pemenang dalam serangan Israel ke Gaza? Di medan perang, tentu Israel unggul. Militer mereka dengan kekuatan penuh dan persenjataan canggih, terutama angkatan udaranya, hanya dalam 11 hari melumpuhkan Gaza, menimbulkan kerusakan luar biasa.

Hingga gencatan senjata Kamis (20/5), 248 warga Palestina syahid. Di antaranya, 100 lebih perempuan dan anak-anak. Menurut Komite Palang Merah Internasional, 100 ribu warga Palestina mengungsi dan sekitar 800 ribu lainnya tak punya akses air dan listrik.

Kementerian Perumahan Gaza mengatakan, 16.800 rumah rusak, 1.800 unit di antaranya tak layak huni, 1.000 unit hancur. Palestina hanya bisa menembakkan 4.000 roket sederhana dan jadul –dibandingkan persenjataan Israel— ke pedalaman Israel. Itu pun dengan mudah dihalau sistem pertahanan udara Israel, Iron Dome. Hanya beberapa roket lepas menurut Otoritas Israel, menewaskan 13 warganya. Kekuatan Israel dan Hamas, tak seimbang.

Namun, di tingkat politik, Hamas berhasil memenangkan pertarungan media dan simpati internasional. Yang perlu dicatat, serangan ke Gaza kali ini bukan perang Israel-Palestina, melainkan serangan Israel ke Hamas.

Hamas berkuasa di Jalur Gaza, wilayah Palestina lainnya, Tepi Barat, dikuasai Fatah. Jalur Gaza dan Tepi Barat, selama ini diblokade Zionis Israel dari segala arah. Jutaan warga Palestina lainnya tinggal di Yerusalem, yang juga diduduki Israel.

Sebelum serangan 11 hari Israel ke Gaza, warga Palestina di Yerusalem, terutama di kampung Sheikh Jarrah, berusaha diusir Israel, lalu menjadi kerusuhan. Lantas berlanjut dengan serangan Israel ke Jalur Gaza.

Di samping itu, masih ada jutaan warga Palestina menjadi imigran dan pengungsi di berbagai negara, terbanyak di Lebanon. Mereka tak bisa hidup layak di negerinya sendiri akibat penjajahan Zionis Israel.

Catatan ini penting dikemukakan karena kini ada semacam pembelokan fakta, konflik, atau perang antara Israel dan Palestina, antara dua negara sejajar, dua bangsa merdeka di atas wilayahnya masing-masing yang diakui internasional. Konflik Israel-Palestina adalah penjajahan, pendudukan. Antara bangsa penjajah dan yang dijajah, antara zalim dan mazlum. Ini yang kini dimenangkan Hamas dan Palestina, dalam pertarungan media dan simpati internasional, sebagai bangsa mazlum alias teraniaya.

Pemenang lainnya Mesir, terutama di bidang diplomatik. Mesir mengambil kembali peran bersejarahnya dalam mendukung perjuangan bangsa Palestina ketika Presiden Abdul Fattah Sisi mengatur gencatan senjata.

Mesir pun mengalokasikan bantuan 500 juta dolar AS untuk rekonstruksi Gaza. Peran besar Mesir ini juga diakui Presiden AS Joe Biden. Atas peran Mesir, dan tekanan Gedung Putih, Israel akhirnya menerima gencatan senjata di luar forum Dewan Keamanan PBB.

Gencatan senjata Israel-Hamas memungkinkan dibukanya kembali wacana solusi dua negara. Ini digarisbawahi Biden, "Satu-satunya solusi yang mungkin untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina adalah pembentukan negara Palestina merdeka yang hidup berdampingan dengan Israel".

'Solusi dua negara' sebenarnya selalu menjadi pilar kebijakan AS di Timur Tengah dari presiden satu ke presiden berikutnya. Namun, kebijakan Gedung Putih ini berubah pada era Presiden Donald Trump.

Pada Desember 2017, ia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, satu dan tidak dibagi-bagi. Ia lalu memerintahkan pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Ini wilayah Palestina yang diduduki Israel pada Perang 1967.

Bagi bangsa Palestina, Yerusalem Timur harga mati sebagai ibu kota negara mereka. Bukan hanya pengakuan terhadap Yerusalem, Trump menegaskan, Dataran Tinggi Golan bagian dari Israel. Dataran milik Suriah ini juga dianeksasi Israel pada Perang 1967.

Pengakuan terhadap Yerusalem dan Golan sebagai bagian dari Israel merupakan bagian dari rancangan Trump menciptakan perdamaian di Timur Tengah, yang ia sebut the Big Deal of the Century. Rancangan kontroversial ini mendorong Israel mencaplok semua permukiman Yahudi di Tepi Barat. Dalam rancangan juga dise butkan, negara Palestina pada masa depan beribu kota di luar Yerusalem, dengan kedau latan ter batas dan tanpa persenjataan/demi literisasi.

Rancangan Trump untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina ini disambut gembira negara Zionis, tetapi ditolak seluruh rakyat dan pemimpin Palestina, Fatah, ataupun Hamas, negara Arab dan Timur Tengah, dan masyarakat internasional. Perubahan kebijakan Gedung Putih yang diwakili Presiden Joe Biden, harus dibaca sebagai peluang bagi berbagai pihak untuk mendorong 'solusi dua negara'.

Namun, sebelum sampai ke sana, ada pekerjaan besar yang menanti di Gaza: rekonstruksi! Belum ada pihak yang bisa memperkirakan biaya sebenarnya sekarang ini. Juga dari mana dana akan tersedia. Namun, ada satu hal yang harus diketahui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mesin perangnya, mereka tidak bisa lagi 'mempermainkan' perpecahan negara Arab dan Islam (mayoritas berpenduduk Muslim). Juga masyarakat internasional. Gaza mempersatukan mereka. Gaza mempersatukan faksi- faksi Palestina. n

 
Berita Terpopuler