Menanti Win-Win Solution Bagi 75 Pegawai KPK

Pegawai KPK yang berprestasi harus didorong tetap dipertahankan.

Antara/Aprillio Akbar
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengenakan topeng berwajah Ketua KPK Firli Bahuri saat aksi unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (7/5/2021). Presiden Joko Widodo sudah mendesak pimpinan KPK mencari solusi bagi 75 pegawai yang tidak lolos tes pengalihan status sebagai ASN.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Febrianto Adi Saputro, Rizkyan Adiyudha

Penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan hingga kini belum mencapai titik terang. Faktanya, sebanyak 75 pegawai KPK tersebut sudah diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan langsung.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Pangeran Khairul Saleh menyarankan agar pegawai berprestasi KPK tetap dipertahankan walau tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Pernyataan Pangeran menanggapi sikap Presiden Joko Widodo yang tak ingin pegawai KPK tak lolos TWK diberhentikan.

Pangeran berharap ada solusi terkait nasib 75 pegawai KPK yang gagal lolos TWK. Ia mendukung agar ke-75 pegawai itu tetap mendapat tempat di lembaga anti rasuah tersebut.

"Kami berharap agar ada win-win solution dan langkah-langkah yang bijaksana agar pegawai KPK yang memiliki integritas, selama ini berprestasi dan menunjukkan komitmen terhadap pemberantasan korupsi haruslah tetap dipertahankan," kata Pangeran dalam keterangan kepada Republika, Selasa (18/5).

Pangeran menyoroti putusan MK yang seharusnya menjadi rujukan pimpinan KPK. "Pertimbangan MK dalam putusan pengujian UU nomor 19 tahun 2019  menekankan agar pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh mengurangi hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN," lanjut Pangeran.

Pangeran optimis ke-75 pegawai KPK tak lolos TWK sebenarnya dibutuhkan dalam kinerja KPK. Mereka menduduki jabatan penting guna memberantas korupsi hingga ke akarnya. "Ini agar tupoksi KPK dapat berjalan lebih baik, sebagaimana harapan Presiden dan harapan kita semua," ujar Pangeran.

Selain itu, Pangeran mengajak semua pihak untuk bersabar menunggu keputusan akhir dari pimpinan KPK terkait nasib ke-75 pegawainya. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada pimpinan KPK sebagai lembaga antirasuah yang independen.

"Kami juga berharap ada keputusan yang tepat dan cepat agar pemberantasan korupsi di tanah air dapat berjalan dengan lebih baik lagi untuk menuju Indonesia yang lebih maju," ucap Pangeran.

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, juga meminta pimpinan KPK dan 75 pegawai KPK berhenti bersikap saling menuruti kemauan menurut sudut pandang masing-masing. "Jadi sudahilah sikap 'gagah-gagahan' yang ada, dan mari mencari solusi yang baik agar KPK tetap dapat melaksanakan mandatnya baik dalam penindakan, pencegahan maupun pendidikan antikorupsi," kata Arsul.

Arsul meminta kedua belah pihak untuk sama-sama mengembangkan sikap bijak dan melihat kepentingan pemberantasan korupsi kedepan. Menurutnya yang disampaikan oleh Presiden Jokowi itu sudah sesuai dengan komitmen pembentuk UU yakni DPR dan Pemerintah.

"Sebagai anggota DPR periode lalu yang menjadi anggota Panja RUU Perubahan UU KPK, saya tahu dan memahami bahwa komitmen kedua rumpun kekuasaan pembentukan UU itu ketika membahas dan menyepakati revisi UU KPK itu menjadi UU adalah tidak menggunakan UU yang dihasilkan yakni UU nomor 19 Tahun 2019 untuk memberhentikan atau mengurangi pegawai KPK," jelasnya.

Politikus PPP itu menambahkan, kalaupun ada pengurangan pegawai maka itu terjadi karena ada pegawai yang mundur karena yang bersangkutan tidak mau menjadi ASN. "Bukan 'dimundurkan' dengan memanfaatkan persyaratan perundang-undangan yang kebetulan tidak bisa terpenuhi," ucapnya.

Arsul menjelaskan, semangat pembentuk UU tersebut adalah jika dalam proses alih status ada pegawai yang dinilai tidak memenuhi persyaratan tertentu, maka diberi kesempatan terlebih dahulu agar bisa memenuhi persyaratan tersebut, dan bukan langsung diberhentikan. Arsul menilai hal tersebut tampaknya tidak dipahami dengan baik oleh para pengambil keputusan di KPK.

Selain itu, Arsul juga mengimbau agar pegawai KPK tidak terus-terusan mengembangkan paradigma bahwa dengan menjadi ASN maka  independensinya sebagai penegak hukum akan hilang. Menurutnya ada lembaga-lembaga lain yang undang-undangnya menjamin independensi  pegawainya tetap terjaga dengan baik meski berstatus ASN.

"BPK itu lembaga dengan auditor yang berstatus ASN, tapi tidak pernah mereka menyampaikan bhw independensinya terganggu dalam melakukan audit karena status ASN. Para penyelidik dan penyidik Ditjen Penegakan Hukum di Kementerian LHK juga tidak menjadi tidak bisa independen dalam melaksanakan tugas gakum karena status ASN mereka," terangnya.

Baca Juga

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sujanarko (kiri) didampingi penyedik senior KPK Novel Baswedan (kanan) bersama pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mendatangi Gedung KPK Lama, Jalan Kuningan, Jakarta, Senin (17/5). Sebanyak 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) melaporkan dugaan pelanggaran etik anggota Dewan Pengawas KPK Indrianto Seno Adji terlibat dalam proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN dengan ikut hadir saat konferensi pers pengumuman hasil tes TWK pada 5 Mei 2021 lalu. - (Republika/Thoudy Badai)








Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengungkapkan beberapa fakta terkait tidak lolosnya tes pengalihan status sebagai ASN oleh 75 pegawai KPK. Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, Kurnia Ramadhana, Selasa (18/5), mengatakan puluhan pegawai tersebut pernah beririsan dengan Ketua KPK, Firli Bahuri.

"(Mereka) pernah memeriksa pelanggaran etik Firli Bahuri tatkala yang bersangkutan diketahui bertemu dan menjalin komunikasi dengan seorang kepala daerah di Nusa Tenggara Barat," kata Kurnia Ramadhana, dalam keterangan.

Dia melanjutkan, para pegawai TMS berdasarkan tes wawasan kebangsaan (TWK) itu juga pernah menandatangani petisi menolak Firli Bahuri menjadi Ketua KPK. Dia menjelaskan, penolakan dilakukan karena sejumlah hal atau memiliki rekam jejak bermasalah.

Kurnia mengatakan, di antara puluhan pegawai itu pernah melakukan advokasi saat proses pemilihan Pimpinan KPK. Dia menjelaskan, saat itu sejumlah pegawai mendesak agar pansel pimpinan KPK tidak meloloskan capim yang tidak taat melaporkan LHKPN dan sempat melanggar kode etik.

"Mereka juga pernah melakukan aksi damai menolak calon pimpinan pelanggar etik," kata Kurnia lagi.

Dia mengatakan, narasi itu jelas memperlihatkan bahwa TWK hanya dijadikan dalih untuk menutupi motivasi kepentingan pribadi Firli Bahuri. Koalisi sipil mendesak Dewan Pengawas (Dewas) KPK segera mengambil langkah konkret dengan memanggil, memeriksa dan menjatuhkan pelanggaran etik berat kepada Firli Bahuri.

"Seluruh pimpinan KPK mematuhi perintah Presiden Joko Widodo dengan menganulir keputusan memberhentikan 75 pegawai KPK," katanya.

Seperti diketahui, TWK pegawai KPK menuai polemik lantaran membuat soal yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Diantara pertanyaan yang muncul yakni pandangan pegawai seputar FPI, Muhammad Rizieq Shihab, HTI, alasan belum menikah, kesediaan menjadi istri kedua, doa qunut dalam sholat hingga LGBT.

TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu sukses menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior, Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan TMS berdasarkan tes tersebut.

KPK kemudian menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan. Surat tertanda Ketua KPK Firli Bahuri dan salinannya ditandatangani Plh Kepala Biro SDM Yonathan Demme Tangdilintin itu memerintahkan pegawai yang tidak lolos untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan langsung.

Belakangan, Presiden Joko Widodo menegaskan agar TWK tidak boleh serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai KPK yang dinyatakan TMS. Dia mengatakan, KPK harus memiliki SDM terbaik dan berkomitmen tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi.

Mantan Wali Kota Solo ini melanjutkan, pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN harus menjadi bagian dari upaya untuk pemberantasan korupsi yang lebih sistematis. Jokowi berpendapat bahwa hasil TWK seharusnya menjadi masukan untuk langkah perbaikan KPK.

"Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK, baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK, dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes," kata Jokowi.

Direktur Eksekutif Voxpol Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menganggap pernyataan Presiden Jokowi sudah menyerap aspirasi masyarakat. Pangi menilai pernyataan Jokowi mestinya mempengaruhi pimpinan KPK saat mengambil kebijakan mengenai nasib pegawai tak lolos TWK. Ia tak ingin para pegawai yang terkenal berintegritas justru dipecat dari KPK.

"Jelas sikap Presiden dibutuhkan agar KPK bisa lebih bijak terkait dengan dasar pemberhentian 75 pegawainya yang tak lolos TWK," kata Pangi kepada wartawan, Selasa (18/5).

Menurut Pangi, pernyataan Jokowi yang meminta TWK tak menjadi standar pemberhentian pegawai sudah tepat guna menuntaskan polemik di KPK. Pasalnya, kebijakan tersebut menjadi sasaran kritik masyarakat selama ini.

"Pesan Presiden jangan sampai pemberhentian hanya berdasarkan TWK. Tidak bisa hanya alasan itu saja yang digunakan untuk pemberhentian pegawai, mesti ada pertimbangan lain," ujar Pangi.

Pangi menyebut publik sudah menantikan sikap Presiden Jokowi itu guna menyudahi polemik yang ditimbulkan TWK. "Apa yang disampaikan Presiden ini yang sebenarnya ditunggu publik, statement Presiden saya pikir sudah tepat," lanjut Pangi.

Pangi menduga sikap Presiden Jokowi terkait TWK akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Menurutnya, Jokowi bisa saja dipercaya lagi sebagai pemimpin negara yang mendukung upaya pemberantasan korupsi.

"Presiden telah mengambil sikap yang tepat. Sehingga trust pemerintah Jokowi terhadap agenda pemberantasan korupsi bisa menjadi jelas," ucap Pangi.

Pangi mengkhawatirkan kalau Presiden Jokowi terus mengabaikan polemik TWK. Kondisi tersebut malah makin meningkatkan anggapan pemerintahan Jokowi kian melemahkan KPK.

"Kalau Presiden diam maka stigma bahwa seolah-olah Presiden tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi dan memperlemah KPK kian menjadi fakta," pungkas Pangi.

 
Berita Terpopuler